Pria AS Konsumsi Makanan Kedaluwarsa Selama Setahun, Ini yang Terjadi...

Meski nekat, aktivis lingkungan di AS ini makan makanan kedaluwarsa selama setahun. Begini efekya...

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 01 Jul 2019, 20:10 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2019, 20:10 WIB
Ilustrasi Makanan Cepat Saji
Ilustrasi makanan cepat saji (dok. Pixabay.com/Putu Elmira)

Liputan6.com, Maryland - Seorang aktivis lingkungan dan pemilik toko waralaba produk organik asal Maryland, Amerika Serikat memakan makanan kedaluwarsa selama satu tahun penuh dan menceritakan pengalaman serta efeknya kepada khalayak.

Tindakan itu, yang mungkin dinilai nekat bagi sebagian orang, merupakan cara Scott Nash untuk meningkatkan kesadaran publik di Amerika Serikat mengenai ambiguitas tanggal kedaluwarsa yang tertera pada produk pangan atau produk keperluan sehari-hari, serta menguji apakah hal tersebut merupakan aturan yang saklek --dalam konteks di Amerika Serikat.

Lewat percobaan itu, sang pemilik MOM’s Organic Market di Washington DC juga mengangkat isu mengenai fenomena limbah makanan, yang dinilai oleh sejumlah pemerhati lingkungan telah semakin tak terkendali setiap harinya.

Nash mendapat ide untuk eksperimennya yang tak biasa pada tiga tahun lalu, ketika dia memakan yoghurt dengan enam bulan lewat tanggal kedaluwarsa. Ia kemudian mengklaim bahwa produk olahan susu fermentasi itu masih terasa sama seperti yang belum kedaluwarsa dan tubuhnya tidak merasakan efek negatif apapun.

Dari pengalaman tersebut, Nash kemudian berpikir tentang "bagaimana produsen makanan menetapkan tanggal kedaluwarsa pada produknya?", apakah itu merupakan sebuah "standar baku yang harus dipatuhi konsumen demi terhindar dari masalah kesehatan?", serta berbagai "aspek, konsep atau bahasa pemasaran yang membingungkan terkait kedaluwarsa" pada makanan atau produk rumah tangga lain.

Demi menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Nash dan keluarganya melakukan percobaan selama setahun dengan memakan atau menggunakan sesuatu yang telah kedaluwarsa, mulai dari: keripik lewat setahun, yoghurt lewat tujuh bulan, daging lewat beberapa pekan, dan krim (heavy cream) yang lewat beberapa hari --dari tanggal kedaluwarsa.

Pada satu titik, Nash juga mengonsumsi mentega yang telah berjamur usai berbulan-bulan dalam lemari es, dengan cara membuang bagian yang berjamur dan menggunakan yang 'masih bersih' untuk memasak.

"Semua orang (keluarganya) baik-baik saja," klaim Nash seperti dikutip dari Odditycentral, Senin (1/7/2019).

Berikut video kisah pengalaman Scott Nash seperti yang diberitakan oleh the Washington Post:

 

*disclaimer editorial: Liputan6.com tetap menganjurkan pembaca untuk mematuhi segala ketentuan konsumsi pangan atau penggunaan produk obat berdasarkan regulasi yang berlaku di Indonesia, serta sebagaimana yang diatur oleh BPOM RI dan otoritas terkait.

Tapi...

makanan sisa
Ilustrasi./Copyright unsplash.com/simon migaj

Tapi, Scott Nash memang mengakui bahwa beberapa makanan yang telah memburuk dari segi citra, aroma, dan rasa harus dibuang.

Namun, ia menyatakan bahwa "tanggal kedaluwarsa" tak semata-mata cukup dijadikan standar saklek dalam menentukan apakah makanan tersebut tak layak lagi untuk dikonsumsi --terlebih, menentukan apakah itu bisa menyebabkan konsumen sakit atau mengalami efek kesehatan negatif lainnya.

"Jika sesuatu terlihat, berbau, atau rasanya lucu, Anda mungkin tidak boleh memakannya," kata Nash.

"Tetapi kebanyakan orang menderita sesuatu yang disebut sebagai 'kecemasan konsumen' yang membuat mereka membuang produk yang sejatinya masih baik dan laik, hanya karena terpengaruh 'tanggal kedaluwarsa yang ditetapkan tanpa indikator yang jelas serta membingungkan'."

Di blog-nya, Nash memberikan contoh "prinsip tanggal kedaluwarsa yang paradoks" pada produk-produk rumah tangga mendasar.

Garam yang dimiliki Nash dipasangi tanggal kedaluwarsa pada 2020. Padahal, menurut Nash, garam sejatinya bisa bertahan selama 250 juta tahun, ditambah fakta bahwa garam merupakan salah satu bahan tradisional untuk pengawetan makanan.

"Makanan kaleng dan botolan yang seharusnya benar-benar baik selama beberapa dekade, atau lebih, memiliki tanggal kedaluwarsa pendek yang mencurigakan. Tisu bayi, pasta gigi, dan lain-lain juga begitu."

'Keusangan Terencana'

makanan
ilustrasi resep/Photo by SenuScape from Pexels

Nash juga memperingatkan para pembaca blog-nya tentang "Keusangan Terencana", sebuah strategi yang digunakan produsen pangan untuk mendorong konsumen membuang produk yang sejatinya masih baik, sehingga mereka membeli yang baru.

"Itu membuat saya bertanya-tanya tentang integritas produsen. Mereka akan menetapkan secara asal mengenai tanggal kedaluwarsa. "Keusangan terencana" oleh perusahaan dan seluruh industri adalah nyata. Ketika kami membuang produk, korporasi mendapat untung," tulisnya.

Percobaan Nash terjadi ketika Otoritas Pangan dan Obat-obatan AS (FDA) serta pengawas manufaktur makanan mendorong produsen untuk menerapkan prinsip transparansi perihal label makanan yang mereka buat, termasuk berkenaan penetapan tanggal kedaluwarsa dan indikator apa yang mereka gunakan.

Hal itu, menurut FDA dan pengawas, dapat membantu mengurangi fenomena limbah makanan yang makin mengkhawatirkan setiap tahunnya.

Namun, upaya pemerintah untuk memperketat kontrol atas usulan itu masih lemah, karena belum ada undang-undang di AS yang meregulasi ketentuan tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya