Liputan6.com, Jakarta - Sekitar 13 miliar tahun yang lalu, ketika alam semesta masih 'bayi', kosmos menghasilkan Lubang Hitam Supermasif ke kiri, kanan dan tengah.
Para astronom masih bisa mengintip relik-relik dari jagat raya awal ini, ketika mereka melihat quasar (benda-benda berukuran amat besar dan cemerlang yang diduga ditenagai oleh Lubang Hitam tua, miliaran kali lebih masif dari matahari Bumi).
Baca Juga
Namun, keberadaan benda-benda kuno itu menimbulkan masalah. Banyak quasar tampaknya berasal dari 800 juta tahun pertama alam semesta, jauh sebelum bintang dapat tumbuh besar atau cukup tua untuk runtuh di bawah massanya sendiri, meledak dalam supernova, dan membentuk Lubang Hitam.
Advertisement
Jadi, dari mana datangnya lubang-lubang tersebut dalam jalinan ruang-waktu ini? Menurut satu teori populer, mungkin yang diperlukan hanyalah gas.
Dalam sebuah studi baru, yang diterbitkan pada 28 Juni di The Astrophysical Journal Letters, para peneliti menjalankan model komputer untuk menunjukkan bahwa Lubang Hitam Supermasif tertentu di jagat raya awal, bisa terbentuk dengan hanya mengakumulasi sejumlah gas yang menjadi sebuah awan yang terikat secara gravitasi.
Para peneliti mengklaim, dalam beberapa ratus juta tahun lalu, awan yang cukup besar seperti itu dapat runtuh di bawah massanya sendiri dan menciptakan Lubang Hitam kecil, tidak perlu supernova.
Objek teoretis ini dikenal sebagai Direct Collapse Black Holes atau Lubang Hitam Langsung Runtuh (DCBH).
Menurut pengamat Lubang Hitam, Shantanu Basu, penulis utama studi baru ini dan astrofisikawan di Western University di London, Ontario, salah satu fitur yang menentukan dari DCBH adalah bahwa mereka harus terbentuk dengan sangat cepat dalam periode waktu yang amat singkat di alam semesta awal.
"Lubang Hitam terbentuk selama hanya sekitar 150 juta tahun dan tumbuh pesat selama waktu ini," kata Basu kepada Live Science dalam email, seperti dikutip pada Jumat (5/7/2019). "Yang terbentuk di awal periode waktu 150 juta tahun dapat meningkatkan massa mereka dengan faktor 10 ribu."
Bagaimana Awan Gas Menjadi Lubang Hitam?
Menurut sebuah studi tahun 2017, transformasi semacam itu membutuhkan dua galaksi dengan kepribadian yang sangat berbeda: satu di antaranya adalah pencapaian kosmik yang membentuk banyak bintang 'bayi' dan yang lainnya adalah tumpukan rendah gas tanpa bintang.
Saat bintang-bintang baru terbentuk di galaksi yang sibuk, mereka mengeluarkan aliran radiasi panas yang konstan, yang menghantui galaksi tetangga, mencegah gas di sana menyatu menjadi bintang-bintangnya sendiri.
Dalam beberapa ratus juta tahun lalu, awan gas tanpa bintang itu dapat menghasilkan begitu banyak hal, sehingga bisa runtuh karena bobot badannya sendiri, membentuk Lubang Hitam tanpa pernah menghasilkan bintang.
Lubang Hitam "mentah" ini bisa terus mencapai status supermasif, yang dengan cepat melahap materi dari nebula terdekat --mungkin melahirkan quasar raksasa yang bisa kita lihat hari ini.
Menurut Basu, tindakan kosmik tersebut hanya mungkin dilakukan dalam waktu singkat, dalam 800 juta tahun pertama kehidupan alam semesta, sebelum ruang angkasa dipenuhi dengan bintang dan Lubang Hitam lainnya.
"Kami berasumsi tidak ada produksi baru Lubang Hitam (supermasif) setelah periode 150 juta tahun ini," ucap Basu. "Ini menjelaskan mengapa ada penurunan tajam dalam jumlah Lubang Hitam di atas massa dan luminositas (total energi yang dipancarkan oleh bintang, galaksi, dan benda langit lain per satuan waktu) tertentu di alam semesta."
Advertisement
Ada 10.000 Lubang Hitam 'Bersembunyi' di Galaksi Bima Sakti
Sementara itu, pada tahun lalu para ilmuwan mengumumkan tentang penemuan sekitar 10.000 Lubang Hitam berukuran raksasa, yang letaknya tersembunyi di galaksi Bimasakti.
Para ilmuwan telah lama menduga bahwa mungkin ada sejumlah lubang hitam kecil yang mengelilingi satu supermasif, yang berlokasi di pusat galaksi kita.
Akan tetapi, menurut para peneliti, pada hakikatnya puluhan ribu Lubang Hitam tersebut sulit untuk dilihat, dan karenanya teori tersebut belum terbukti.
"Hal ini dapat membantu memprediksi lebih baik tentang berapa banyak peristiwa gelombang gravitasi, yang mungkin terkait dengan mereka (lubang hitam)," jelas laporan studi tersebut, sebagaimana dikutip dari Independent.co.uk pada Kamis, 5 April 2018.
"Semua informasi yang dibutuhkan astrofisikawan berada di pusat galaksi," lanjut laporan tersebut menjelaskan.
Lubang Hitam berukuran masif yang terletak di jantung Bima Sakti, dikenal sebagai Sagittarius A(Sgr A), dan diketahui memiliki sekitar empat juta kali massa matahari, serta berjarak 26.000 tahun cahaya dari Bumi.
Lingkup gas dan debu di sekitar Sgr A dianggap menyediakan tempat tumbuh sempurna, untuk bintang-bintang besar yang jatuh ke lubang hitam ketika mereka mati.
Menurut peneliti, lubang hitam ini, dan yang lain dari luar lingkaran, tertarik ke arah Sgr A, untuk kemudian 'disekap' di sekitarnya.
Temuan ini dimuat dalam edisi terbaru jurnal Nature.