Liputan6.com, Hong Kong - Aktivis Hong Kong akan menggabungkan protes anti-kebijakan pemerintah dengan perayaan lentera yang menandai Festival Pertengahan Musim Gugur (Mid-Autumn Festival) atau Moon Festival pada pekan ini.
Hal ini dilakukan setelah adanya jeda singkat dalam demonstrasi keras pada kota yang dikuasai China sejak Juni tahun 2019 tersebut. Kota Hong Kong dilanda gelombang demonstrasi, hingga kekerasan sebagai upaya bentuk protes masyarakat atas RUU Ekstradisi, seperti dilansir channelnewsasia.com.
Aksi protes termasuk "stress test" pada bandara di kota tersebut, yaitu memblokir jalan umum, melakukan pembakaran di jalanan, hingga merusak stasiun kereta bawah tanah (MTR) yang paling dekat dengan lokasi pusat unjuk rasa di Hong Kong.
Advertisement
Para pengunjuk rasa merencanakan aksi membuat rantai manusia yang membawa lentera, kemudian menduduki stasiun MTR, pusat perbelanjaan setempat serta di daerah Victoria Peak dan Lion Rock.
Mengenali Festival Pertengahan Musim Gugur
Festival Pertengahan Musim Gugur atau Moon Festival adalah peryaan panen di seluruh dunia yang menggunakan bahasa China, terlebih wilayah Asia Timur dan Tenggara.
Ciri khas pada festival tersebut adalah dengan hadirnya hidangan kue bulan, kemudian memandangi bulan purnama yang bergulir, serta menampilkan berbagai lentera berwarna-warni yang telah disiapkan sebelumnya.
Berdasarkan perhitungan kalender lunar, festival tersebut diadakan pada hari ke 15 dari bulan ke-8. Untuk tahun 2019, festival tersebut akan jatuh pada hari Jumat (13/9) ini pada waktu setempat seperti dilansir cnn.com.
Advertisement
Unjuk Rasa Lanjutan
Polisi telah menanggapi berbagai kekerasan yang terjadi seputar unjuk rasa di Hong Kong dengan gas air mata, semprotan lada, peluru karet, meriam air, serta tongkat pentung.
Sempat terjadi bentrokan singkat pada Kamis (12/9), ada aksi saling dorong dan menjambak rambut antara pendukung pro-pemerintah Beijing (China) dan anti-Hong Kong di International Finance Center Mall (IFC). Beberapa toko bermerek di sekitar wilayah tersebut terlihat tutup akibat adanya bentrokan.
Sementara itu, polisi menolak izin Front Hak Asasi Manusia Sipil (CHRF) untuk pawai di pusat kota pada hari Minggu (22/9). “Dalam pawai-pawai sebelumnya yang diajukan CHRF, para peserta, wartawan, serta polisi menderita cedera serius,” kata polisi dalam surat penolakan mereka untuk kelompok CHRF.
“Beberapa pengujuk rasa bertindak keras dan memblokir jalan utama, bahkan menggunakan bom bensin (molotov), batu bata, hingga jeruji besi untuk merusak fasilitas umum dan perdamaian sosial,” tambah polisi dalam keterangannya.
Para pengunjuk rasa berencana untuk berkumpul di luar konsulat Inggris pada hari Minggu (22/9) untuk memastikan Cina menghormati Deklarasi Bersama Tiongkok-Inggris yang ditandatangani pada tahun 1984. Hal tersebut untuk memastikan masa depan negara bekas koloni Inggris tersebut.
Intervensi China
China mengatakan Hong Kong saat ini adalah urusan internalnya. Namun, Inggris mengatakan memiliki tanggung jawab hukum untuk memastikan China mematuhi kewajibannya berdasarkan Deklarasi Bersama.
Negara bekas koloni Inggris, Hong Kong, kembali ke China pada tahun 1997 di bawah formula "satu negara, dua sistem” yang menjamin kebebasan yang tidak dinikmati di daratan. Hal tersebut termasuk sistem hukum independen.
Kerusuhan dipicu RUU Ekstradisi, tetapi justru bertambah keruh dengan meluasnya seruan untuk demokrasi dan otonom dan bagi penguasa Partai Komunis di Beijing untuk meninggalkan kota Hong Kong sendirian, untuk menghindari intervensi mereka.
China membantah ikut campur dan menuduh Amerika Serikat, Inggris, dan yang lainnya mengobarkan kerusuhan yang terjadi hingga berminggu-minggu di Hong Kong.
Reporter: Hugo Dimas.
Advertisement