Menang Pemilu, Tsai Ing-wen Minta China Hargai Demokrasi Taiwan

Presiden terpilih Tsai Ing-wen meminta China menghargai adanya demokrasi di Taiwan.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 15 Jan 2020, 13:01 WIB
Diterbitkan 15 Jan 2020, 13:01 WIB
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen (AFP)

Liputan6.com, Taipei - Tsai Ing-wen terpilih kembali untuk masa jabatan kedua sebagai Presiden Taiwan. Ia menang dengan telak setelah kampanye yang ia lakukan terus berfokus pada meningkatnya ancaman dari Beijing.

Partai Komunis Tiongkok telah lama mengklaim kedaulatan atas Taiwan dan hak untuk mengambilnya dengan paksa jika perlu.

Dilansir dari BBC, Rabu (15/1/2020), Tsai menegaskan bahwa kedaulatan pulau yang mengatur diri sendiri itu tidak diragukan atau untuk dinegosiasikan.

"Kami tidak perlu menyatakan diri sebagai negara merdeka," kata presiden berusia 63 tahun itu kepada BBC.

"Kami sudah menjadi negara merdeka dan menyebut diri kami Republik China, Taiwan."

Pernyataan seperti itu membuat Beijing marah, yang menginginkan kembalinya prinsip "One China" yang disukai oleh saingan utamanya yang ia singkirkan dalam pemilihan presiden, Han Kuo-yu dari partai Kuomintang.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Konsep One China

Perayaan Hari Ulang Tahun Taiwan ke-108
Presiden Tsai Ing-wen menyampaikan pesan mendalam selama pidato pembukaan di Istana Presiden, Taipei, Taiwan, Kamis (10/10/2019). (Official Photo by Wang Yu Ching / Office of the President)

Dalam beberapa tahun terakhir, konsep One China telah membuktikan kompromi yang bermanfaat, menurut pendapat pendukung Taiwan.

China menegaskan bahwa terpilihnya ia menjadi presiden adalah sebagai prasyarat untuk membangun hubungan ekonomi dengan Taiwan, justru karena hal itu merupakan penolakan eksplisit keberadaannya sebagai negara kepulauan de facto.

Tetapi jelas bahwa Tsai percaya kemenangannya adalah bukti betapa sedikitnya minat atas konsep One China dan ambiguitas yang dibolehkan atas status nyata Taiwan.

"Situasinya telah berubah," katanya. "Ambiguitas tidak bisa lagi memenuhi tujuan yang seharusnya dilayaninya."

Dan yang benar-benar telah berubah, katanya, adalah China.

"Karena [selama lebih dari] tiga tahun kami melihat China telah mengintensifkan ancamannya ... mereka memiliki kapal militer dan pesawat terbang di sekitar pulau itu," katanya.

"Dan juga, hal-hal yang terjadi di Hong Kong, orang-orang mendapatkan perasaan nyata bahwa ancaman ini nyata dan semakin serius."

Kepentingan Taiwan, dia percaya, bukan yang terbaik dilayani oleh semantik tetapi dengan menghadapi kenyataan, khususnya aspirasi pemuda Taiwan yang berbondong-bondong ke tujuannya.

"Kami memiliki identitas terpisah dan kami adalah negara kami sendiri. Jadi, jika ada sesuatu yang bertentangan dengan gagasan ini, mereka akan berdiri dan mengatakan itu tidak dapat diterima oleh kami.

"Kami adalah demokrasi yang sukses, kami memiliki ekonomi yang cukup layak, kami layak mendapat respek dari China."

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya