Liputan6.com, Moskow - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan mitranya dari Rusia Vladimir Putin telah mengumumkan gencatan senjata militer di Idlib, setelah mengadakan pertemuan di Moskow yang berlangsung selama enam jam.
Idlib, kubu pemberontak terakhir di Suriah, telah menjadi saksi sekaligus korban terkait adanya peningkatan kekerasan dan pertumpahan darah sejak Desember lalu. Waktu itu menjadi awal dari serangan Suriah yang didukung Rusia untuk mendapatkan kembali kendali atas wilayah tersebut. Demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Jumat (6/3/2020).
"Pada 00.01 malam ini, seperti pada, dari tengah malam, gencatan senjata akan diberlakukan," kata Erdogan kepada wartawan, Kamis di ibukota Rusia.
Advertisement
Erdogan menambahkan bahwa Turki, yang telah mengirim ribuan tentara ke Idlib untuk mengusir tentara Suriah, tidak akan "diam" jika pasukan pemerintah Suriah melanjutkan serangan dan memperingatkan bahwa Ankara akan membalasnya dengan kekuatan penuh.
Sedangkan Putin, mengatakan Rusia tidak selalu setuju dengan mitranya Turki, tetapi berharap kesepakatan itu akan berfungsi sebagai "dasar yang baik untuk mengakhiri pertempuran di zona de-eskalasi Idlib, mengakhiri penderitaan penduduk sipil dan menahan diri akan terjadinya krisis kemanusiaan yang berkembang."
Bahkan ketika gencatan senjata mulai berlaku, kantor berita Turki milik pemerintah Anadolu, melaporkan pada hari Jumat pagi bahwa pasukan Turki membunuh 21 tentara Suriah dan menghancurkan dua artileri serta dua peluncur rudal. Kejadian itu dinyatakan sebagai pembalasan atas pembunuhan dua tentara Turki di Idlib sebelumnya pada hari Kamis.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kekerasan di Idlib
Sejak Desember lalu, lebih dari 300 warga sipil, termasuk setidaknya 100 anak-anak, telah tewas di Idlib.
Hampir satu juta orang telah terlantar secara internal ke perbatasan dengan Turki. Sebagian besar dari mereka terpaksa berkemah di tempat terbuka, yang kemudian memicu terjadinya krisis kemanusiaan terburuk dalam perang saudara sembilan tahun Suriah, menurut PBB.
Erdogan pada hari Kamis mengatakan kedua pemimpin sepakat untuk membantu para pengungsi ini kembali ke rumah mereka.
Turki dan Rusia pada hari Kamis juga sepakat untuk membangun koridor aman di sepanjang jalan raya timur-barat di Idlib Suriah dan mengadakan patroli bersama di sana pada 15 Maret.
Dalam pernyataan bersama yang dibacakan oleh menteri luar negeri Turki dan Rusia, kedua belah pihak mengatakan koridor aman akan membentang sepanjang 6 km (3,7 mil) ke utara dan 6 km ke selatan jalan raya M4.
Mereka mengatakan menteri pertahanan mereka akan menyetujui parameter koridor dalam waktu seminggu.
Sampai krisis terakhir, Putin dan Erdogan telah berhasil mengoordinasikan kepentingan mereka di Suriah, meskipun Moskow mendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad, sementara Ankara mendukung pasukan oposisi.
Sebelumnya pada hari Kamis, al-Assad menuduh presiden Turki "mendukung teroris".
"Erdogan tidak dapat memberi tahu orang-orang Turki mengapa dia mengirim pasukannya untuk berperang di Suriah dan mengapa tentaranya dibunuh di sana karena masalah itu tidak ada hubungannya dengan kepentingan Turki tetapi dengan ideologi Ikhwanul Muslimin," katanya kepada media milik negara itu, channel 24 Rusia.
Krisis Idlib menandai pertama kalinya Ankara meluncurkan serangan langsung terhadap pasukan al-Assad.
Advertisement
Kesepakatan Erdogan-Putin Tak Jamin Idlib Jadi Tentram
Terlepas dari perjanjian antara Turki dan Rusia, jaminan bahwa warga Idlib akan hidup tentram ke depannya, masih rendah.
Misalnya saja menurut Raja Androon, warga Idlib usia 65 tahun yang kedua anaknya meninggal akibat serangan dari Suriah, yang pesimis akan terjadinya perdamaian.
"Kesepakatan ini mungkin dapat mengurangi pertempuran, tetapi saya tidak menahan nafas agar rezim Suriah keluar dari Idlib," katanya kepada Al Jazeera.
"Saya harap Idlib akan berada di bawah pemerintahan otonom, dan tidak jatuh di bawah kendali Assad."
Sedangkan menurut, Mustafa Sejari,seorang analis dan anggota oposisi Suriah Brigade Mutasim, juga skeptis, mengatakan bahwa Erdogan dan Putin hanya berusaha menyelamatkan diri mereka sendiri, mengenai kepentingan mereka di lapangan, "dan tidak lebih dari itu".
Dia mengatakan kepada Al Jazeera: "Rezim tidak akan mundur dari Idlib ... Gencatan senjata yang disepakati adalah sangat goyah, dan dari pelanggaran pertama itu, pertempuran akan dilanjutkan lagi."