Manila - Aktivis Hak Asasi Manusia di Filipina mengkhawatirkan tren muram meningkatnya penyebaran konten pornografi anak secara online di tengah wabah corona. Mereka mewanti-wanti penutupan sekolah dan larangan keluar rumah menjauhkan anak-anak dari guru atau masyarakat sehingga menyulitkan deteksi dini penganiayaan.
“Situasi ekonomi yang memburuk bisa mendorong orang dewasa menjajakan anak-anaknya secara online kepada predator seks,” kata Aissa Ereneta, Direktur Dana Bantuan Anak, ChildFund Philippines. Demikian seperti dikutip dari laman DW Indonesia, Selasa (2/6/2020).
Advertisement
Menurut unit kejahatan siber di Kementerian Kehakiman Filipina, angka kasus eksploitasi seksual terhadap anak-anak di dunia maya terutama mencuat di Pulau Luzon sejak 1 Maret hingga 24 Mei, ketika larangan keluar rumah masih diberlakukan.
Data Pusat Pengaduan untuk Kekerasan Anak mencatat 279.000 kasus aduan dalam periode tersebut, atau naik 265% dalam jumlah kasus tahunan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Ponsel dan Internet
Ponsel dan akses internet mempermudah siapa pun untuk menjual konten seksual di internet. Adapun pembayaran melalui layanan pengiriman uang tunai internasional membuat pelaku sulit dilacak.
Salah satu perkara adalah keenggaanan penyedia jasa telekomunikasi untuk memblokir konten seksual anak-anak. Tidak jarang kasus eksploitasi seksual diadukan oleh kepolisian asing yang melacak jejak pelaku ke Filipina.
“Sangat disayangkan bahwa 11 tahun setelah adanya undang-undang yang melarang pornografi anak, penyedia jasa internet masih tidak mau menggunakan teknologi filter. Tanpanya, tren mengeksploitasi anak akan terus berlanjut,” kata pejabat Kementerian Kehakiman, Mark Perete.
Advertisement
Kasus Eksploitasi Anak Meningkat
Sebuah studi oleh International Justice Mission (IJM) mengungkap kasus eksploitasi seksual anak-anak di internet meningkat 250%, dari 23.000 menjadi 81.000 antara 2014 dan 2017. Angka tersebut memastikan reputasi gelap Filipina sebagai salah satu negara produsen konten pornografi anak terbesar di dunia.
Menurut laporan IJM, rata-rata korban berusia 11 tahun. Korban paling mudah bahkan tercatat berusia di bawah satu tahun. Sebanyak 62% tindak eksploitasi difasilitasi oleh orang tua atau salah seorang anggota keluarga, dan bahkan tetangga.
“Eksploitasi seksual anak-anak secara online adalah bentuk paling kejam dari eksploitasi seksual. Kejahatan ini melibatkan anak-anak berusia sangat muda yang kebanyakan adalah anak perempuan. Trauma fisik sangat kentara dan mudah disembuhkan, tapi trauma psikologis bisa bertahan berbulan atau bahkan bertahun-tahun,” kata Evelyn Pingul, Direktur Eksekutif IJM.