Liputan6.com, Jakarta - Guru kehidupan dan pembicara motivasi kerap kali berbicara mengenai pemikiran positif adalah kunci kebahagiaan. Buku self-help (buku motivasi) cenderung mempromosikan pesan serupa, dengan klaim buku terlaris Norman Vincent Peale, "The Power of Positive Thinking".
"Ketika Anda berpikiran yang terbaik, Anda akan merilis kekuatan magnetik yang ada dipikiran untuk membangkitan yang terbaik dalam diri Anda."Â
Ide itu tidak hanya memberikan pemikiran yang optimis yang menghalau pemikiran suram saat ini, tapi ide itu juga membuat orang-orang mengalai mujizat keberhasilan dalam hidup. Dalam istilah kebahagiaan, pemikiran optimis tampaknya menjadi strategi yang saling menguntungkan.
Advertisement
Mungkin inilah sebabnya optimisme yang tidak realistis. Ada kecenderungan untuk melebih-lebihkan kemungkinan bahwa hal-hal baik akan terjadi dan akan membuat seseorang memikirkan kegagalan tidak terlalu penting, dan itu adalah sifat dasar manusia yang paling kuat. Studi secara konsisten menunjukkan bahwa sebagian besar populasi (sekitar 80% menurut sebagian besar perkiraan) menunjukkan pandangan yang terlalu optimis.
Namun pesimisme memang memiliki pendukungnya. Terlepas dari kenyataan bahwa mengharapkan yang terburuk bisa sangat menyakitkan secara psikologis, pesimis, pada dasarnya, cukup kebal terhadap kekecewaan.
Seperti yang ditulis oleh penulis Inggris Thomas Hardy:
Pesisme bisa jadi membuat Anda tidak akan pernah kecewa, karena pesisme memainkan pikiran dengan pasti, seperti Anda tidak bisa kehilangan itu; Anda bisa mendapatkan. Setelah memperhitungkan apa yang harus dilakukan dalam keadaan terburuk, ketika lebih baik muncul, karena mereka mungkin, hidup menjadi permainan anak-anak.Â
Pandangan ini menerima dukungan implisit dari pemenang Nobel Prize, Daniel Kahneman,dan rekannya, Amos Tversky. Menurut konsep mereka tentang pesimisme terhadap kerugian, kita merasakan dua kali lebih banyak rasa sakit dari kerugian daripada kita mengalami sukacita dari perolehan yang sama.
Sebagai contoh, rasa sakit dari kehilangan yang tak terduga sebesar £ 5 adalah dua kali lebih kuat daripada sukacita dari keuntungan yang tidak terduga sebesar £ 5. Dalam kebanyakan kasus, apakah untung atau rugi dirasakan, tergantung pada apa yang diharapkan. Mendapatkan kenaikan gaji sebesar £ 5.000 atau Rp 93 juta mungkin tampak seperti kerugian jika Anda mengharapkan £ 10.000 atau Rp 186 juta. Orang-orang optimis yang tidak realistis, dengan berharap banyak, menyiapkan diri mereka sendiri untuk kekecewaan destruktif dalam dosis besar.
Pandangan perilaku ini tentang manfaat dari pola pikir yang optimis atau pesimistis kontras dengan perspektif ekonomi arus utama yang menurutnya yang terbaik adalah memiliki keyakinan yang realistis. Intinya adalah bahwa untuk membuat keputusan yang baik, diperlukan informasi yang akurat dan tidak bias.
Karena itu, optimisme dan pesimisme adalah bias penilaian yang membuat keputusan yang buruk, mengarah pada hasil yang lebih buruk dan kesejahteraan yang lebih rendah. Terutama rentan terhadap kesalahan berbahaya seperti ini adalah pilihan karir, keputusan menabung dan segala pilihan yang melibatkan risiko dan ketidakpastian.
Dalam penelitian, periset menyelidiki apakah optimis, pesimis atau realis yang memiliki kesejahteraan jangka panjang tertinggi. Untuk melakukan ini, kami melacak 1.601 orang selama 18 tahun.
Kesejahteraan diukur dengan kepuasan hidup yang dilaporkan sendiri dan tekanan psikologis. Bersamaan dengan ini, peneliti mengukur keuangan peserta dan kecenderungan mereka untuk memiliki lebih atau di bawah perkiraan mereka. Keuangan yang lebih baik dikaitkan dengan kesejahteraan yang lebih tinggi, jadi tidak ada kejutan di sana, seperti yang dikutip dari BBC, Kamis (23/07/2020).
Simak video pilihan berikut:
Melihat Kenyataan
Temuan partama penelitian itu adalah tak hanya hasil tapi juga harapan juga sangant penting. Hal-hal lain dianggap sama, melebih-lebihkan hasil dan meremehkan keduanya terkait dengan kesejahteraan yang lebih rendah daripada mendapatkan harapan tentang hal yang benar. Realistis melakukan yang terbaik.
Penelitian ini mungkin dapat melegakan banyak orang, karena ini menunjukkan bahwa Anda tidak harus menghabiskan hari-hari untuk berpikir positif. Sebaliknya, riset melihat bahwa bersikap realistis tentang masa depan Anda dan membuat keputusan yang baik berdasarkan bukti dapat membawa rasa kesejahteraan, tanpa harus menenggelamkan diri dalam kepositifan tanpa henti.
Mengenai mengapa hasil ini muncul, ada dua kemungkina inklusif yang muncul dalam pikiran. Pertama, hasil riset bisa menjadi hasil dari menghindari emosi. Bagi orang yang optimis, kekecewaan pada akhirnya bisa mengalahkan perasaan antisipatif untuk mengharapkan yang terbaik, sehingga kebahagiaan mulai hilang atau turun. Bagi orang pesimis, efek menyedihkan dari mengharapkan malapetaka dan akhirnya bisa menghilangkan kegembiraan ketika yang hal terburuk dapat dihindari.
Alternatif untuk menghindari emosi adalah dengan keyakinan dasar kuat yang tidak akurat pasti akan memberikan hasil yang lebih buruk daripada keyakinan rasional dan realistis. Dalam semua kejadian, temuan riset adalah bahwa salah persepsi dari salah satu tanda melibatkan kesejahteraan yang lebih rendah.
Mayoritas penduduk cenderung ke arah optimisme, jadi apakah mereka harus mengurangi antusiasme mereka? Studi menunjukkan realistis adalah yang paling bahagia, tetapi ini tidak berarti bahwa menjadi realistis (jika perubahan seperti itu mungkin) tentu akan meningkatkan kesejahteraan. Yang bisa kita katakan adalah, mungkin saja.
Terutama pada konteks pandemi ini (COVID-19). Baik optimisme dan pesimisme dalam membuat keputusan berdasarkan harapan yang bias. Hal ini tidak hanya menyebabkan pengambilan keputusan yang buruk, tetapi juga kegagalan untuk mengambil tindakan pencegahan yang sesuai untuk ancaman yang akan datang.
Orang-orang optimis melihat diri mereka lebih rentan tertular COVID-19 daripada yang lain dan karena itu mereka akan jarang untuk mengambil tindakan pencegahan yang tepat. Pesimis, di sisi lain, adalah orang-orang yang mungkin tidak pernah meninggalkan rumah atau mengizinkan anak-anak mereka pergi masuk ke sekolah lagi. Tidak ada strategi yang tampak tidak ada rencana yang cocok untuk kesejahteraan. Sementara itu, para realis mengambil risiko yang terukur dengan mengetahui kerentanan sangat tergantung pada usia.
Â
Reporter: Yohana Belinda
Â
Advertisement