Liputan6.com, Naypyidaw - Militer kembali berkuasa di Myanmar usai melakukan kudeta terhadap Aung San Suu Kyi. Ini adalah kudeta militer pertama sejak 1988.
Gesekan antara pemerintahan Suu Kyi dan militer terjadi karena militer tidak mengaku kalah dalam pemilihan umum 2020.
Advertisement
Baca Juga
Kudeta tak berdarah ini bukan peristiwa mendadak. Sebelum beraksi, pemimpin militer sudah mengeluarkan retorika beraroma kudeta. Para diplomat negara barat juga sudah meminta supaya militer menghormati hasil demokrasi.
Tindakan militer yang anti-demokrasi ini memancing respons dari dunia. Nasib etnis Rohingya pun menjadi pertanyaan.
Berikut 7 fakta dari kudeta Myanmar yang dirangkum berbagai sumber:
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
1. Kudeta 1 Februari
Kudeta dimulai pada Senin pagi, 1 Februari 2021. Kanselir Negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint dilaporkan ditangkap militer di Naypyidaw.
Sejumlah tokoh partai berkuasa, National League for Democracy (NLD), juga ikut ditangkap. Juru bicara partai berkata pada media bahwa militer melakukan kudeta.Â
"Dengan situasi yang sekarang kita lihat terjadi, kita harus berasumsi bahwa militer sedang melakukan kudeta," ucap jubir NLD, Myo Yunt.
Sehari setelah ditangkap, lokasi Suu Kyi masih tak diketahui.
Advertisement
2. Jenderal Murah Senyum Rebut Kekuasaan
Beberapa jam setelah Suu Kyi dilaporkan ditangkap, militer Myanmar mengumumkan lewat televisi militer bahwa akan ada pemerintahan darurat selama setahun.Â
Wakil Presiden Pertama, Myint Swe, diangkat menjadi presiden. Meski demikian, kekuasaan tertinggi berada di tangan Jenderal Min Aung Hlaing.Â
Jenderal Min adalah kepala militer di Myanmar. Sosok yang sering tampil murah senyum ini juga sempat membuat retorika kudeta sebelum hal itu menjadi nyata.
3. Kabinet Dirombak
Militer Myanmar turut memecat 24 menteri dan deputi di kabinet Aung San Suu Kyi.Â
Seraya mengkonsolidasikan kekuasaan, militer juga mengangkat 11 orang untuk masuk ke dalam kabinet untuk mengurus menteri bidang keuangan, kesehatan, informasi, hubungan luar negeri, pertahanan, perbatasan, dan dalam negeri.
Menurut laporan Channel News Asia, meski sudah kudeta, militer masih berjanji akan menegakan sistem demokrasi multi-partai.
Advertisement
4. Komentar AS dan China
Amerika Serikat dan China memberikan komentar dengan nada berbeda.Â
AS secara tegas mengecam tindakan kudeta militer di Myanmar. Presiden Joe Biden berkata siap menerapkan sanksi jika militer tetap mempertahankan kudeta.Â
Di lain pihak, Kementerian Luar Negeri China berkata bahwa hubungan kedua negara tetap bersahabat. Media pemerintah China menyindir negara barat agar tidak ikut campur urusan Vietnam.Â
"Myanmar adalah negara yang tidak menyambut ikut campur kekuatan-kekuatan besar. China telah mempertahankan relasi baik dengan pemerintah dan militer, jadi diharapkan dua pihak dapat berkompromi untuk menjaga kedamaian dan stabilitas," ujar Fan Hongwei, direktur Center for Southeast Asia Studies di Universitas Xiamen kepada Global Times.
5. Negara ASEAN Tak Kompak
Pernyataan dari ASEAN justru tidak kompak. Malah, lebih banyak yang enggan mengecam.
Filipina, Kamboja dan Thailand memandang kudeta militer Myanmar sebagai masalah dalam negeri dan tidak mengomentari lebih jauh, padahal ketiganya pernah mengalami kudeta militer.Â
Sementara Vietnam, Brunei Darussalam, dan Laos tidak segera memberikan respons.
Sebaliknya Indonesia, Singapura, dan Malaysia menyampaikan keprihatinan mendalam, menyerukan agar semua pihak menahan diri dan berupaya mencapai solusi damai.
Â
Advertisement
6. Respons Diaspora Myanmar
Militer masih berjaga di kota Naypyidaw dan Yangon, tetapi mereka tak bisa mengekang warga Myanmar yang protes kudeta di luar negeri.Â
Begitu kabar kudeta tersebar, warga Myanmar di Bangkok langsung protes di Kedutaan Besar Myanmar. The Bangkok Post menyebut ada tiga warga Thailand yang ikut demo ditahan oleh polisi.
The Mainichi turut melaporkan bahwa sekitar 700 warga Myanmar di Tokyo mengadakan protes karena menolak kudeta. Mereka berunjuk rasa di depan United Nations University di Shibuya.
7. Nasib Rohingya Makin Tidak Jelas
Jenderal Min Aung Hlaing merupakan pemimpin militer di Myanmar, sehingga ia memiliki rekam jejak yang bermasalah terkait Rohingya. Amnesty International menyebut militer bertanggung jawab terhadap pembersihan etnis Rohingya.
Amnesty menuntut Jenderal Min agar menyetop kekerasan kepada Rohingya di Rakhine.
"Militer Myanmar membunuh wanita, pria, dan anak-anak Rohingya, memperkosa para wanita dan gadis Rohingya, dan membakar seluruh desa-desa Rohingya," tulis Amnesty di situsnya.
Hingga kini, Amnesty masih membuka petisi kepada Jenderal Min agar menyetop kekerasan terhadap Rohingnya.
Advertisement