Liputan6.com, Beijing - Pihak berwenang dari distrik paling padat di Beijing mengimbau masyarakat untuk tidak keluar rumah pada Senin (21/11), memperpanjang imbauan sebelumnya yang dikeluarkan pada akhir pekan. Perkembangan itu terjadi ketika jumlah kasus COVID-19 di kota itu meningkat.
Banyak bisnis tutup dan sekolah-sekolah kini beralih ke mode online, dikutip dari VOA Indonesia, Selasa (22/11/2022).
Baca Juga
Secara nasional, jumlah kasus baru pada Minggu (20/11) mendekati puncak pada bulan April di saat China berusaha melawan perebakan virus tersebut di berbagai kota di seluruh negara itu, dari Zhengzhou di provinsi Henan hingga Guangzhou di selatan dan Chongqing di barat daya, China.
Advertisement
Di wilayah Beijing, dua kematian akibat COVID-19 dilaporkan pada Minggu (20/11). Pihak berwenang sebelumnya melaporkan kematian seorang pria Beijing berusia 87 tahun. Kematian itu menandai fatalitas COVID-19 resmi pertama di negara itu sejak 26 Mei. Hal itu membuat total kematian akibat COVID-19 di negara itu menjadi 5.227. Belum jelas apakah kematiannya adalah satu dari dua yang dilaporkan pada Minggu (20/11).
Selain itu, kota tersebut juga melaporkan 154 infeksi COVID-19 bergejala yang ditularkan secara lokal dan 808 kasus tak bergejala, kata para pejabat setempat pada Senin (21/11).
Angka itu lebih banyak dibandingkan yang tercatat sehari sebelumnya, yakni 69 kasus bergejala dan 552 kasus tak bergejala. Para pejabat juga menemukan 266 kasus di luar area karantina pada Minggu (20/11).
Warga Beijing Mulai Khawatir Soal Kebijakan Nol COVID-19
Kemunculan kembali COVID-19 yang meningkat kasusnya di China telah mendorong pihak berwenang meningkatkan langkah-langkah untuk menanggulangi wabah. Ini memicu kekhawatiran di kalangan warga ibu kota, Beijing, sementara lebih banyak lagi tes dilakukan pada Senin (7/11).
China mengatakan pada akhir pekan lalu bahwa negara tersebut akan mempertahankan pendekatan “pembersihan dinamis” terhadap kasus-kasus COVID-19 begitu mereka muncul.
Ini tidak memberi banyak indikasi bahwa China akan melonggarkan strategi nol-COVID nya yang telah berlaku selama pandemi hampir tiga tahun ini, dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (8/11/2022).
Warga Beijing Chang Jiang (45), mengatakan, ia pernah memiliki lima perusahaan, tetapi sekarang hanya dua yang tersisa di ibu kota. Warga Beijing lainnya mengatakan kekasihnya telah tiga kali membatalkan rencana untuk mengunjunginya dalam setahun ini karena pembatasan terkait COVID-19.
China pada hari Senin melaporkan 5.496 kasus penularan COVID-19 lokal baru, yang tertinggi sejak 2 Mei, ketika Shanghai, kota terbesar di negara itu dikenai lockdown di tengah perebakan terburuk wabah di sana.
Saham China menguat pekan lalu dengan kenaikan mingguan terbesar dalam kurun dua tahun lebih, karena para investor memasukkan satu triliun dolar ke pasar dengan harapan akan membuka kembali ekonomi terbesar kedua dunia itu.
Tetapi otoritas kesehatan China memadamkan spekulasi itu pada hari Sabtu dengan menegaskan bahwa mereka akan tetap mempertahankan kebijakan nol COVID yang ketat.
Advertisement
Akhir Oktober 2022 Wuhan Lockdown COVID-19 Lagi
Puluhan kota di seluruh China, termasuk Wuhan tempat Virus Corona COVID-19 pertama kali tercatat, dilaporkan mererapkan lockdown - ketika negara itu mengejar kebijakan nol-COVID di bawah pemimpin Xi Jinping.
Lebih dari 800.000 orang di satu distrik di Wuhan diperintahkan untuk tinggal di rumah hingga 30 Oktober.
"Kami merasa mati rasa terhadap semua itu. Kami merasa semakin mati rasa," kata seorang warga setempat kepada Reuters.
Kota Zhengzhou, rumah bagi pabrik manufaktur iPhone terbesar di dunia, juga terpengaruh.
Itu terjadi ketika China melaporkan hari ketiga berturut-turut lebih dari 1.000 kasus COVID-19.
Awal bulan ini, Xi mengisyaratkan bahwa tidak akan ada pelonggaran kebijakan nol-COVID, menyebutnya sebagai "perang rakyat untuk menghentikan penyebaran virus".
Pada 24 Oktober, sekitar 28 kota di seluruh negeri menerapkan beberapa tingkat tindakan lockdown, analis Nomura mengatakan kepada kantor berita Reuters - dengan sekitar 207 juta orang terkena dampak di wilayah yang bertanggung jawab atas hampir seperempat dari PDB China, tambahnya.
Di seluruh negeri, sekitar 200 lockdown akibat COVID-19 telah diterapkan dalam beberapa hari terakhir - sebagian besar memengaruhi komunitas yang telah ditandai sebagai risiko tinggi atau sedang. Penduduk di wilayah yang berbeda tunduk pada aturan yang berbeda, tergantung pada apakah mereka berada di zona berisiko rendah, sedang atau tinggi.
Wuhan melaporkan hingga 25 infeksi baru COVID-19 sehari minggu ini, dengan lebih dari 200 kasus selama dua minggu terakhir.
Mereka yang Terdampak Lockdown COVID-19 China
Di Zhengzhou, "sejumlah kecil karyawan" dari Foxconn - produsen utama Apple - telah "dipengaruhi oleh pandemi", pabrikan itu mengatakan kepada BBC, menambahkan bahwa karyawan yang dikarantina diberikan "persediaan material, kenyamanan psikologis, dan responsivitas masukan". Hal ini terjadi pada periode kritis bagi Apple - yang sekarang membuat iPhone 14 baru.
Awal pekan ini, sekolah tatap muka dan makan di restoran ditangguhkan di pusat China selatan Guangzhou - yang pada hari Kamis melaporkan 19 kasus baru COVID-19. Beberapa lingkungan di kota juga tetap tunduk pada berbagai tindakan pengendalian.
Bahkan wilayah yang lebih luas seperti Tibet telah terpengaruh oleh COVID-19, setelah rekaman muncul awal pekan ini yang menunjukkan protes skala besar yang jarang terjadi terhadap tindakan ketat nol-COVID di ibu kota regional Lhasa.
Kota itu telah lockdown selama hampir tiga bulan karena memerangi Virus Corona COVID-19 - pejabat setempat pada hari Kamis mengatakan delapan kasus baru dilaporkan di Lhasa.
Beberapa video di media sosial menunjukkan ratusan orang berdemonstrasi dan bentrok dengan polisi. Mereka dikatakan sebagian besar adalah pekerja migran etnis Han Cina. Seorang warga Lhasa mengkonfirmasi kepada BBC bahwa demonstrasi telah terjadi di kota itu pada Rabu.
Advertisement