, Singapura City - Mulai 1 Januari 2023, pemerintah Singapura mengeluarkan aturan yang mewajibkan agar memberikan pekerja domestik setidaknya satu hari libur dalam sebulan, yang tidak bisa dikompensasi.
Dari situs resmi Kementerian Ketenagakerjaan Singapura disebutkan, pemberian hari libur adalah untuk mendukung kesejahteraan pekerja rumah tangga, sehingga mereka bisa lebih mampu dalam membantu majikan mereka.
Baca Juga
Aturan tersebut disambut gembira oleh tenaga kerja Indonesia (TKI) sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Singapura.
Advertisement
Salah satunya adalah Siti Salamah, ia mengatakan sudah diberitahu oleh majikannya mengenai hal tersebut dan juga akan mendapatkan cuti liburan pulang ke Indonesia selama dua bulan.
"Kemarin sempat saya bilang mau berhenti, namun disuruh perpanjang kontrak dua tahun lagi dan dibilang akan dapat libur satu hari ke luar rumah," kata Siti seperti dikutip dari ABC Indonesia, Selasa (3/1/2023).
"Saya senang bisa hirup udara segar, bisa jalan sama teman-teman," katanya lagi.
Siti Salamah, yang sekarang berusia 41 tahun, mengatakan dia masih harus bekerja di Singapura karena harus membiayai sekolah anak-anaknya di Lampung.
"Ya kadang jenuh di sini, kadang bosan tapi ya kita betah-betahin bekerja. Kita tersenyum saja, walau dalam kata kadang sedih." jelas Siti.
Siti Salamah sudah bekerja selama 12Â tahun di Singapura sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Ia mengaku selama ini tidak mendapatkan libur sama sekali.
"Majikan saya tidak mengizinkan saya keluar, takut di luar dengan alasan nanti saya bertemu dengan teman-teman yang tidak benar," kata Siti kepada ABC Indonesia.
Dia mengatakan ia biasanya keluar rumah hanya untuk pergi belanja atau membawa anjing milik majikannya jalan-jalan setiap hari.
"Ya kadang 30 menit, kadang 20 menit. Lumayanlah dari pada hanya di rumah terus," katanya lagi.
Â
Â
Banyak yang Takut Minta LiburÂ
Seorang pekerja Indonesia lainnya, Dini Irmalasari asal Blitar, Jawa Timur, termasuk yang beruntung, karena sudah secara teratur mendapatkan libur satu hari per minggu.
"Namun pekerja di sekitar tempat saya banyak yang belum dapat libur," kata Dini kepada ABC Indonesia.
"Kebanyakan mereka tidak berani meminta karena mungkin baru datang beberapa bulan. Juga ada yang terikat kontrak selama dua tahun pertama tidak dapat libur namun dibayar dengan uang," imbuh Dini.
Menurut Dini, hak untuk liburan satu hari tersebut akan sangat bermanfaat bagi para pekerja dari sisi kesehatan mental maupun perkembangan pribadi.
"Isu liburan ini sudah lama, dan aturan baru ini akan membantu pekerja yang kadang harus kerja 12 jam, 15 jam dalam sehari, mereka bisa stres kalau tidak dapat libur, tidak bisa bertemu dengan orang lain," sambung Dini.
Dini sendiri menggunakan hari libur yang didapatnya untuk belajar, seperti mengikuti kursus mengelola keuangan dan berharap ia bisa mengembangkan bisnis sendiri di masa depan.
'Hari libur haruslah 24 jam'
Lembaga advokasi pekerja migran di Singapura, Â Humanitarian Organization for Migration Economics (HOME)Â mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperjelas untuk menghindari kesalahpahaman.
"Hari Libur tidak dinyatakan berlaku selama 24 jam. HOME menemukan banyak pekerja domestik yang tetap melakukan pekerjaan di hari libur mereka tanpa mendapatkan kompensasi."
"Para pekerja wajib mendapatkan satu hari istirahat sebagai 24 jam, untuk mendapatkan istirahat yang mereka butuhkan," kata lembaga tersebut.
Dalam aturan baru, pekerja juga bisa membagi hari libur menjadi dua hari, yang artinya 12 jam per hari.
Tapi HOME mengatakan tanpa adanya definisi yang jelas mengenai jam istirahat, susah untuk memastikan porsi istirahat dan bekerja.
Â
Â
Advertisement
Sambutan Baik KBRI di Singapura
KBRI di Singapura mengatakan menyambut baik keputusan tersebut karena banyaknya pekerja domestik asal Indonesia di Singapura.
Tantri Darmastuti, staf teknis Tenaga Kerja di KBRI Singapura mengatakan dari data terbaru diketahui ada 256.300 pekerja domestik yang bekerja di Singapura dan 50 persen berasal dari Indonesia.
Menurut Tantri pemberian hari libur bagi para pekerja domestik akan membuat mereka lebih fit secara fisik dan mental untuk bisa terus bekerja.
"Hal ini juga memberikan kesempatan bagi pekerja domestik untuk melakukan hal-hal yang disukai, atau kepentingan terkait keluarga di Indonesia misalnya berkomunikasi intens atau transfer uang," ujar Tantri.
Masalah yang dihadapi pekerja domestik asal IndonesiaTantri mengatakan KBRI Singapura setiap tahun menerima sekitar 400 kasus laporan masalah yang dialami pekerja domestik.
"Yang paling dominan adalah terkait masalah ketidakcocokan antara pekerja dan pemberi kerja.Ketidakcocokan tersebut umumnya terkait dengan perbedaan bahasa dan budaya, ekspektasi pemberi kerja atas keterampilan kerja PMI dan ekspektasi PMI terhadap jenis dan beban kerja di sini." jelas Tantri.
Â
Kelompok untuk Pekerja Domestik Indonesia
Sammi asal Cilacap, Jawa Tengah, sudah bekerja di Singapura selama 14 tahun.
Ia terlibat dalam kelompok bernama Indonesian Family Network (IFN) yang beranggotakan para pekerja domestik asal Indonesia.
Sejak dibentuk di tahun 2005, Sammi mengatakan IFN yang awalnya hanya berfungsi sebagai tempat untuk "curhat", sekarang sudah bisa menyelenggarakan berbagai kegiatan bagi pekerja domestik Indonesia.
"Sejauh ini IFN dibantu dengan LSM lokal sudah menyelenggarakan kegiatan seperti kelas bahasa Inggris, komputer, make up, atau membuat kerajinan. Juga ada grup tari, rebana dan paduan suara," kata Sammi.
Menurut Sammi, dari berbagai informasi yang didapatkannya, Hong Kong yang juga banyak menerima pekerja migran asal Indonesia, sudah memiliki sistem yang lebih baik.
"Hong Kong lebih disiplin sudah lebih banyak yang memberikan liburan dibandingkan dengan di sini," kata Sammi lagi.
Sammi berharap penetapan hari libur setidaknya sehari bagi pekerja rumah tangga bisa diterapkan juga di Indonesia.
"Kalau di Indonesia dari pengalaman saya dan juga mengikuti acara-acara zoom, dengan LSM yang sering mendiskusikan keadaan pekerja, sejauh ini tidak ada hari libur untuk pekerja domestik."
Sammi berharap rancangan undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang diiniasi oleh DPR sejak tahun 2004 bisa direalisasikan agar dapat memberikan perlindungan lebih besar kepada para pekerja.
"RUU itu sudah terbengkalai selama 18 tahun, karena DPR belum menyetujui dan tampaknya pemerintah seperti melepas tanggung jawab untuk menyelesaikan RUU tersebut," imbuh Sammi.
Advertisement