Liputan6.com, Jenewa - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memecat pejabat utamanya di Pasifik Barat setelah laporan tahun lalu menyebutkan lusinan anggota staf menuduhnya melakukan perilaku rasis, kasar, dan tidak etis.
Dalam email yang dikirim ke karyawan pada Rabu (9/3/2023), Direktur Jenderal (Dirjen) WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pengangkatan direktur regional telah "dihentikan" setelah penyelidikan internal menghasilkan temuan pelanggaran.
Baca Juga
Tedros tidak menyebut nama Takeshi Kasai, hanya merujuk gelarnya sebagai direktur regional di Pasifik Barat. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah WHO seorang direktur regional diberhentikan.
Advertisement
"Ini merupakan perjalanan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menantang bagi kita semua," tulis Tedros seperti dilansir AP, Kamis (9/3).
Dia mengatakan proses penunjukan direktur regional baru untuk Pasifik Barat akan dimulai bulan depan, dengan pemilihan akan diadakan pada Oktober.
Pemerintah Jepang, yang mendukung pencalonan Kasai untuk peran tersebut, menolak berkomentar. Kasai sebelumnya membantah telah bertindak rasis atau kasar.
Ringkasan penyelidikan internal WHO yang dipresentasikan dalam pertemuan dewan eksekutif badan tersebut minggu ini di Jenewa menemukan, Kasai secara teratur melecehkan pekerja di Asia, termasuk terlibat dalam "komunikasi agresif, penghinaan publik, (dan) membuat komentar rasis".
Direktur senior WHO mengatakan kepada badan pengatur tertinggi organisasi itu, Kasai telah menciptakan "suasana beracun", bahwa anggota staf takut akan pembalasan jika mereka menentangnya dan bahwa ada "kurangnya kepercayaan" di WHO.
Menurut materi rahasia yang diperoleh AP, penyelidikan juga menemukan Kasai memanipulasi setidaknya satu evaluasi kinerja seorang bawahan.
Berawal dari Keluhan Staf WHO
Pencopotan Kasai terjadi menyusul investigasi AP yang diterbitkan pada Januari 2022, yang mengungkapkan lebih dari 30 staf WHO mengirimkan keluhan tertulis tentang direktur regional tersebut kepada para pemimpin senior WHO dan anggota dewan eksekutif organisasi.
Dokumen dan rekaman menunjukkan Kasai membuat pernyataan rasis kepada stafnya dan menyalahkan munculnya COVID-19 di sejumlah negara Pasifik atas kurangnya kapasitas karena rendahnya budaya, ras, dan tingkat sosial ekonomi.
Sejumlah staf WHO yang bekerja di bawah Kasai mengatakan, dia secara tidak benar membagikan informasi sensitif vaksin COVID untuk membantu Jepang, negara asalnya, mencetak poin politik dengan donasi yang ditargetkan. Kasai adalah seorang dokter Jepang yang bekerja di sistem kesehatan masyarakat negaranya sebelum pindah ke WHO, di mana dia telah bekerja selama lebih dari 15 tahun.
Beberapa hari setelah laporan AP, Dirjen WHO mengumumkan bahwa penyelidikan internal terhadap Kasai telah dimulai. Dalam email pada Agustus, Dirjen WHO mengatakan bahwa Kasai sedang "cuti" dan dia digantikan pejabat senior lain sementara.
Advertisement
Skandal Selama Epidemi Ebola 2018-2020
Pemberhentian pejabat tingkat tinggi seperti dalam kasus Kasai sangat kontras dengan keengganan WHO menghukum terduga perilaku kasar dan terkadang ilegal lainnya, termasuk pelecehan dan eksploitasi seksual selama epidemi Ebola 2018-2020 di Kongo.
Lebih dari 80 responden wabah yang bekerja terutama di bawah arahan WHO disebut melakukan pelecehan seksual atau mengeksploitasi perempuan yang rentan. Investigasi AP menemukan manajemen senior WHO diberitahu tentang sejumlah klaim eksploitasi pada tahun 2019, tetapi menolak untuk bertindak dan bahkan mempromosikan salah satu manajer yang terlibat.
Sebuah laporan internal PBB baru-baru ini menemukan bahwa tanggapan badan tersebut terhadap satu kasus dugaan eksploitasi tidak melanggar aturan karena celah dalam cara WHO mendefinisikan korban, sebuah temuan yang oleh para ahli independen digambarkan sebagai "sebuah absurditas".
Tidak ada pejabat senior WHO yang terkait dengan pelecehan seksual di Kongo yang dipecat meskipun Tedros bersikeras bahwa badan tersebut tidak menoleransi pelanggaran.
"Yang kita butuhkan sekarang adalah konsistensi dalam bagaimana WHO menerapkan aturan tentang pelecehan," kata Sophie Harman, seorang profesor politik internasional di Queen Mary University of London. "Para penyintas pelecehan dan eksploitasi seksual dari (Kongo) masih mencari keadilan; WHO harus menunjukkan kepada mereka bahwa mereka penting."
Pada Januari, AP melaporkan bahwa seorang dokter WHO yang kemungkinan dapat menggantikan Kasai sebagai direktur regional di Pasifik Barat sebelumnya juga tersandung dugaan pelecehan seksual.
Dokumen internal menunjukkan manajer senior WHO mengetahui klaim pelecehan seksual di masa lalu yang melibatkan dokter Fiji Temo Waqanivalu, yang juga dituduh menyerang seorang wanita di konferensi Berlin. Dengan dukungan beberapa rekan WHO dan negara asalnya, Waqanivalu bersiap mencalonkan diri sebagai direktur regional.