Krisis Ekonomi: Kisah Warga Mesir 'Dipaksa' Makan Ceker Ayam Sebagai Sumber Protein

Ceker ayam tidak populer di Mesir. Lazimnya, ceker ayam dibuang atau dijual ke pabrik yang mengolah produk ayam atau dijadikan makanan anjing dan kucing.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 20 Mar 2023, 11:02 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2023, 11:02 WIB
Ilustrasi ceker ayam
Ceker ayam tidak populer di Mesir. (Photo by mrsiraphol on Freepik)

Liputan6.com, Kairo - "Ya tuhan, jangan sampai kami harus makan ceker ayam," ucap seorang pria di samping penjual unggal di Pasar Giza, Mesir.

Mesir tengah menghadapi krisis ekonomi mendalam, membuat rakyatnya berjuang lebih keras untuk memberi makan keluarga mereka.

Beberapa waktu lalu, Lembaga Gizi Nasional, bahkan menyerukan agar masyarakat beralih mengonsumsi ceker ayam sebagai sumber protein yang baik dan murah. Sontak, saran tersebut memicu kemarahan dan kritik intensif terhadap pemerintah karena ceker ayam tidak populer di negara itu.

Lazimnya, ceker ayam dibuang atau dijual ke pabrik yang mengolah produk ayam atau dijadikan makanan anjing dan kucing.

Sejumlah negara tengah berjuang melawan inflasi yang melonjak, tetapi dengan inflasi di atas 30 persen pada Maret, Mesir jelas adalah salah satu yang paling menderita.

Barang-barang yang merupakan kebutuhan pokok seperti minyak goreng dan keju sudah menjadi barang mewah yang tidak terjangkau. Harga sejumlah produk dilaporkan menjadi dua atau tiga kali lipat dalam beberapa bulan terakhir.

"Saya makan daging sebulan sekali atau saya tidak membelinya sama sekali. Saya membeli ayam seminggu sekali," ujar Wedad, ibu tiga anak, seperti dilansir BBC, Senin (20/3/2023). "Saat ini, bahkan harga satu butir telur dijual US$ 0.16 (sekitar Rp2.458)"

Salah satu kondisi Mesir saat ini adalah negara itu itu sangat bergantung pada bahan makanan impor dibanding pertanian domestik untuk memberi makan populasinya yang mencapai lebih dari 100 juta orang. Bahkan, biji-bijian untuk makan ayam saja impor.

Pound Mesir telah kehilangan setengah nilainya terhadap dolar sejak Maret tahun lalu. Jadi, ketika pemerintah kembali mendevaluasi mata uang pada Januari 2023, hal tersebut mendorong biaya impor seperti biji-bijian naik tajam.

Setahun lalu, Wedad hidup nyaman dengan uang pensiunan bulanannya sebesar 5000 pound atau sekitar Rp2,5 juta. Perempuan usia 60-an itu menggambarkan dirinya sebagai kelas menengah. Namun, kini, seperti kebanyakan warga Mesir lainnya, dia berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Hari ini, Wedad telah mengumpulkan cukup uang untuk membeli ayam.

"Ada yang bilang harga sekilo ayam fillet 160 pound (sekitar Rp80 ribu). Ada juga yang bilang 175, 190, bahkan 200 (sekitar Rp100 ribu)," kata Wedad sambil berbelanja.

"Ceker ayam 90 pound (Sekitar Rp45 ribu), tapi bahkan tulang ayam dijual sekarang - dan untuk kaki saja 20 pound (sekitar Rp10 ribu)," tambahnya sambil tertawa sinis.

Presiden Salahkan Arab Spring 2011 hingga Perang Ukraina

Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi (AFP Photo)
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi (Dok. AFP Photo)

Presiden Abdel Fattah al-Sisi kerap menyalahkan kesengsaraan ekonomi yang melanda Mesir pada fenomena Arab Spring tahun 2011 dan pertumbuhan penduduk. Dia juga menunjuk pandemi COVID-19 dan perang Ukraina sebagai penyebabnya.

Invasi Rusia ke Ukraina pada Maret tahun lalu memberikan pukulan serius bagi perekonomian Mesir, importir gandum terbesar kedua di dunia, di mana kedua negara yang berperang adalah pemasok utamanya. Ketika perang mengganggu ekspor, harga gandum -dan akibatnya roti- melonjak.

Sektor pariwisata juga semakin merugi karena pandemi COVID-19 dan kehilangan wisatawan Rusia dan Ukraina yang biasanya berbondong-bondong mengunjungi Mesir. Dulunya, pariwisata menghasilkan sekitar 5 persen dari produk domestik bruto.

Analis sendiri menunjuk salah langkah pemerintah sebagai penyebab memburuknya situasi.

Ekonom politik di think tank The Tahrir Institute for Middle East Policy Timothy Kaldas menilai bahwa kekuasaan dan pengaruh badan kepresidenan, militer, keamanan dan intelijen tumbuh pesat selama Presiden Sisi memegang kendali. Hal tersebut terjadi melalui perluasan perusahaan milik rezim, dengan militer misalnya, diberikan kontrak negara untuk proyek infrastruktur besar.

Akibatnya, keterlibatan sektor swasta menyusut secara dramatis, di mana perusahaan yang tidak berafiliasi dengan rezim tidak dapat bersaing. Kondisi itu akhirnya membuat banyak investor asing meninggalkan Mesir.

Perjuangan Mesir telah mengirimkannya ke Dana Moneter Internasional (IMF) untuk meminta bailout sebanyak empat kali dalam enam tahun terakhir. Hampir setengah dari pendapatan negara digunakan untuk membayar kembali utang-utang ini, yang jumlahnya mencapai 90 persen dari PDB.

Negara-negara Teluk seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi dilaporkan telah membeli aset negara untuk membantu menopang Mesir dan pada saat bersamaan mereka memperketat persyaratan untuk investasi lebih lanjut.

Baik tetangga Barat dan Teluk takut akan dampaknya jika negara terpadat di Timur Tengah dibiarkan gagal.

Akankah Krisis Ekonomi Kembali Menumbangkan Pemerintah?

Ilustrasi Mesir
Ilustrasi Mesir (Dok. AP)

Pada masa lalu, kesulitan ekonomi menyebabkan kerusuhan dan berkontribusi pada jatuhnya kedua mantan presiden, yakni Hosni Mubarak dan Mohammed Morsi. Dan sekarang, dinilai sudah ada tanda-tanda bahwa kemarahan publik yang meningkat atas ekonomi akan menimbulkan keresahan yang sama.

"Betapa kami, para wanita, menyesali hari kelam ketika kami memilih Anda," kata seorang ibu rumah tangga kepada Presiden Sisi dalam video yang viral di media sosial. "Anda telah membuat hidup kami seperti neraka."

Sementara itu, di apartemennya, Wedad sedang memotong kacang hijau dan tomat untuk menyiapkan fasouliya khadra, hidangan tradisional Mesir untuk cucunya. Pikirannya beralih ke bulan suci Ramadhan.

"Apa yang akan saya lakukan tahun ini?" tanya Wedad, menggelengkan kepalanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya