Perang Saudara Sudan: Kekerasan Sporadis Berlanjut di Darfur Barat, 20.000 Orang Melarikan Diri ke Chad

UNHCR khawatir jika perang saudara Sudan tidak diakhiri maka akan memicu dampak yang benar-benar dapat menghancurkan tatanan sosial Darfur, yang sangat rapuh akibat konflik sebelumnya.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 05 Mei 2023, 07:11 WIB
Diterbitkan 01 Mei 2023, 13:32 WIB
Penampakan Rumah-Rumah Warga Sudan yang Hancur Akibat Perang
Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Arab Saudi, Jepang, hingga Korea Selatan telah mulai mengevakuasi warganya dari Khartoum. (AP Photo/Marwan Ali)

Liputan6.com, Khartoum - Perang saudara Sudan di wilayah Darfur melibatkan penggunaan persenjataan berat, serangan terhadap warga sipil, dan infrastruktur kesehatan. Di tengah pemadaman komunikasi di sebagian besar Darfur, yang berjarak 500 mil di sebelah barat Khartoum, satu per satu bukti kehancuran meluas bermunculan dan dikhawatirkan dapat mengobarkan ketegangan yang telah berlangsung lama di wilayah tersebut.

Pejabat UNHCR di Darfur Toby Harward seperti dilansir The Guardian pada Senin (1/5/2023) mengatakan, "UNHCR sangat prihatin bahwa jika pertempuran tidak segera diakhiri maka hal itu dapat memicu dampak yang benar-benar menghancurkan pada tatanan sosial Darfur yang sangat rapuh dan berisiko mengulangi konflik sebelumnya."

Pengamat menyebutkan bahwa terjadi peningkatan penggunaan persenjataan berat oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dan pasukan yang bersekutu dengan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) di tengah kekhawatiran bahwa milisi lokal lainnya di seluruh Darfur mempersenjatai diri.

Akhir pekan lalu, komandan RSF Mayjen Abdel Rahman Jumaa di Darfur Barat mengunggah pesan video kepada warga dan pasukan lawan, di mana pasukannya yang sedang memegang senapan menjadi latar belakang.

"RSF menang di lapangan," katanya. "Hemedti (nama lain dari pemimpin kelompok RSF Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo) adalah orang kuat yang dibutuhkan Sudan."

Di al-Geneina, Darfur Barat, dekat perbatasan dengan Chad, kekerasan sporadis berlanjut. Sekolah, rumah sakit, bangunan publik, dan kamp pengungsi menjadi target serangan.

"Ada penghancuran infrastruktur utama di al-Geneina termasuk pasar lokal, rumah sakit, dan tempat berkumpul," kata Mohamed Osman dari Human Rights Watch. "Ini merupakan kehancuran total di tengah infrastruktur yang sudah buruk."

Beberapa orang di al-Geneina, termasuk mantan pekerja medis, memperkirakan hingga 250 orang tewas dalam kekerasan baru-baru ini.

"Hari terburuk terjadi pada Kamis ketika sedikitnya 100 orang tewas, kebanyakan mereka adalah pengungsi lama yang mengungsi akibat pertempuran sebelumnya," kata seorang sumber informasi yang menolak menyebut namanya.

Sumber yang sama menuturkan bahwa kelompok milisi suku telah tiba dari luar Darfur Barat untuk memberikan dukungan bagi RSF. Sementara itu, sejumlah pengungsi dilaporkan menyerbu kantor polisi untuk mengambil senjata dan melawan setelah mereka diserang.

"Jumlah polisi sedikit dan tidak mampu melawan RSF," ungkap sumber tersebut.

Warga mengatakan tidak ada rumah sakit atau klinik yang berfungsi di Darfur Barat.

"Untungnya ada sejumlah siswa terlatih yang tahu bagaimana memberikan pertolongan pertama, jika tidak, korban jiwa bisa jauh lebih tinggi," ungkap salah seorang warga.

Bakheet Ali (46) mengisahkan bahwa dia terjebak selama hampir seminggu akibat perang saudara dan baru dapat keluar untuk mencari makanan bagi keluarganya.

"Kami tidak punya makanan, kami lebih memilih mati kelaparan dibanding terkena peluru," tutur Ali.

Menyeberang ke Chad

Pengiriman bantuan kemanusiaan internasional pertama ICRC tiba di Port Sudan
Pertempuran untuk memperebutkan kekuasaan di Sudan pecah pada 15 April lalu, di mana sebagian aksi kekerasan yang paling banyak menelan korban jiwa terjadi di sebagian besar ibu kota Khartoum. (Photo by ICRC / AFP)

UNHCR mengatakan bahwa setidaknya 20.000 orang telah melarikan diri dari Darfur Barat dengan menyeberang ke Chad. Ribuan lainnya diperkirakan akan mengambil langkah serupa dalam beberapa hari mendatang.

Kebangkitan RSF dan Hemedti disebut terkait erat dengan kekerasan di Darfur di bawah pemerintahan mantan diktator Omar al-Bashir, yang tengah diburu atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida di wilayah tersebut. Bashir memperkejakan Hemedti dan milisinya, yang sebelumnya dikenal sebagai Janjaweed, untuk menumpas potensi pemberontakan di wilayah tersebut dengan menggunakan kekerasan ekstrem.

Pejabat UNHCR kembali menekankan kerentanan warga sipil atas pertempuran yang sedang berlangsung di Darfur Barat.

"Ada kewajiban untuk melindungi warga sipil dan menahan diri dari serangan terhadap sekolah, fasilitas kesehatan. Warga harus dapat mengakses makanan, bahan bakar, obat-obatan dan persediaan penting lainnya," imbuhnya.

Kementerian Kesehatan Federal Sudan melaporkan bahwa jumlah korban tewas akibat perang saudara telah meningkat menjadi 528, dengan ribuan lainnya terluka.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya