Liputan6.com, Jenewa - Pembakaran Al-Qur’an secara berulang dan terencana sering terjadi di sejumlah negara Eropa. Sebut saja seperti yang dilakukan Rasmus Paludan di Swedia.
Wakil Tetap Republik Indonesia di Jenewa Febrian A. Ruddyard menjelaskan bahwa negara-negara di mana aksi pembakaran Al-Qur'an terus terjadi, khususnya negara-negara di Eropa, tidak memiliki kerangka hukum dan kebijakan yang memadai untuk mencegah ataupun melarang secara hukum tindakan tersebut.
Baca Juga
"Jika isu kebencian berbasis agama ini tidak segera di-address (tangani) maka pemenuhan kebebasan beragama atau berkepercayaan para penganut agama, termasuk religious minorities, akan terancam," ujar Febrian dalam pernyataan pers secara virtual, Selasa (3/10/2023).Â
Advertisement
Hal itu berbeda dengan Indonesia, yang telah memiliki perangkat hukum yang mengatur kebencian berbasis agama yang terdapat dalam KUHP yang baru.
"Bagi Indonesia, penyalahgunaan kebebasan berpendapat dan berekspresi untuk menebarkan kebencian dan diskriminasi tidak dapat dibenarkan," kata dia.
Â
Resolusi Menentang Jenis Kebencian terhadap Agama Manapun
Pada 12 Juli 2023, negara-negara anggota Dewan HAM PBB melakukan pemungutan suara atas resolusi "Countering Religious Hatred Constituting Incitement to Discrimination, Hostility or Violence" yang mengecam berbagai aksi pembakaran Al-Qur'an. Hasilnya, sebanyak 28 negara anggota Dewan HAM PBB menyetujui, 12 menolak, dan tujuh lainnya abstain.
Mereka yang menolak mengutuk aksi pembakaran Al-Qur'an berdalih mengedepankan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Â
"Indonesia turut mengawal dan aktif terlibat di dalam proses pembahasan resolusi, meskipun tahun ini Indonesia tidak sedang menjadi anggota Dewan HAM," terang Febrian.
Resolusi tersebut, jelas Febrian, tidak peruntukkan secara eksklusif untuk kebencian terhadap agama atau umat Islam saja, tetapi berlaku untuk semua jenis kebencian terhadap agama dan penganut agama manapun.
Advertisement
Tengah Dikaji Kembali
Insiden pembakaran Al-Qur'an yang terencana dan terus berulang, tegas Febrian, merupakan bentuk advokasi kebencian berbasis agama yang jelas bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, khususnya Pasal 20.
Febrian lebih lanjut menambahkan bahwa negara-negara tempat aksi pembakaran Al-Qur’an terjadi tengah mengkaji kembali aturan penistaan agama, walaupun kemajuannya masih minim.
"Swedia dan Denmark kini tengah me-review legislasi nasionalnya agar dapat melarang aksi-aksi penistaan terhadap objek atau simbol agama," imbuhnya.