Negara Peserta COP28 Janjikan Tindakan di Bidang Pangan dan Pertanian, Solusi Atasi Perubahan Iklim

Negara-negara telah didesak untuk segera bertindak setelah deklarasi penting tentang pertanian berkelanjutan dan sistem pangan di COP28.

oleh Therresia Maria Magdalena Morais diperbarui 13 Des 2023, 21:03 WIB
Diterbitkan 13 Des 2023, 21:03 WIB
Kebijakan dan Strategi Pemerintah untuk Wujudkan Ketahanan Pangan
Ilustrasi lahan pertanian. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Negara-negara di dunia didesak untuk segera bertindak setelah deklarasi penting tentang pertanian berkelanjutan dan sistem pangan di COP28. Pemimpin penelitian menekankan perlunya melindungi petani dan kelompok rentan dari dampak perubahan iklim.

Deklarasi COP28 di Uni Emirat Arab tentang pertanian berkelanjutan, sistem pangan berketahanan, dan aksi iklim ditandatangani oleh 134 pemimpin dunia pada awal KTT iklim PBB di Dubai. Hal ini merupakan deklarasi pertama yang diumumkan oleh presiden COP pada Jumat, 1 Desember 2023.

Pernyataan tersebut berkomitmen untuk meningkatkan langkah-langkah adaptasi guna mengurangi kerentanan petani, nelayan, dan produsen pangan terhadap perubahan iklim.

Melansir dari Phys.org, Rabu (13/12/2023), Presidensi COP28 mengumumkan bahwa komunitas global telah mengumpulkan lebih dari US$2,5 miliar (sekitar Rp39 triliun) untuk mendukung program tentang pangan dan iklim.

"Deklarasi ini memberikan sinyal politik untuk mengubah sistem pertanian guna menghadapi perubahan iklim, dan merupakan hal yang baik jika banyak negara telah mengumumkan kontribusi finansial mereka untuk mengaktifkannya," ujar Zitouni Ould-Dada, wakil direktur perubahan iklim, keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup di Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).

Menurut Zitouni Ould-Dada, terdapat elemen penting yang mendukung negara dan petani kecil melalui bantuan teknis, dukungan terhadap inovasi, serta peningkatan dalam pembiayaan.

"Tapi saat ini, yang diperlukan bukan hanya pernyataan, melainkan juga implementasi nyata. Ini diperlukan untuk melindungi kelompok yang rentan seperti petani kecil dan perempuan dari dampak perubahan iklim pada sektor pertanian. Pentingnya munculnya banyak proyek yang mendukung ketahanan pangan dalam menghadapi perubahan iklim tidak bisa diabaikan," jelasnya.

Petani kecil di negara-negara berkembang merupakan salah satu kelompok yang paling merasakan dampak dari perubahan iklim, dengan hampir setengah dari mereka yang bekerja adalah perempuan.

"Tujuan utama dari deklarasi ini adalah untuk meningkatkan investasi dalam teknologi dan pendekatan yang akan membantu petani dan nelayan skala kecil membangun ketahanan dalam menghadapi guncangan iklim," tutur Aditi Mukherji, direktur Platform Aksi Dampak Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di CGIAR.

Aditi Mukherji menambahkan, "Ini termasuk populasi yang paling terkena dampak perubahan iklim, seperti perempuan, anak-anak, dan masyarakat adat."

Menggerakkan Transformasi Sistem Pangan dan Kemitraan Inovatif

COP28
Presiden COP28 Sultan Ahmed Al Jaber berbicara pada konferensi pers pembukaan KTT iklim PBB di Dubai pada 30 November 2023. Hampir 200 negara sepakat pada 30 November untuk meluncurkan dana guna mendukung negara-negara yang terdampak pemanasan global, dalam cara yang "bersejarah" momen dimulainya perundingan iklim PBB di UEA yang kaya minyak. (KARIM SAHIB / AFP)

UEA mengumumkan partisipasinya dalam CGIAR, sebuah kerja sama riset global yang fokus pada transformasi sistem pangan, lahan, dan air di tengah tantangan iklim.

Selain itu, negara ini juga memulai kemitraan baru dengan Bill and Melinda Gates Foundation, berkomitmen menyumbangkan US$200 juta (sekitar Rp3 triliun) untuk inovasi pertanian, sistem pangan, dan upaya terkait perubahan iklim.

"Di CGIAR kami berupaya menciptakan berbagai solusi untuk memerangi perubahan iklim, mulai dari bibit tanaman yang tahan iklim dan tahan terhadap kekeringan, banjir, salinitas, dan suhu ekstrem, hingga alat dan teknologi baru untuk petani kecil seperti pemantauan tanaman berbasis satelit dan AI. deteksi penyakit tanaman berbasis," jelas Aditi Mukherji.

Menurutnya, banyak dari teknologi tersebut yang siap untuk dikembangkan namun memerlukan pendanaan tambahan untuk melakukannya.

"Dengan memusatkan sistem pangan pada diskusi iklim, kami berharap lebih banyak pendanaan akan mengalir ke bidang ini dan akan ada lebih banyak investasi dalam inovasi yang dapat membantu petani kecil," tuturnya.

Pendanaan Mutlak Dibutuhkan Guna Mendukung Lebih Banyak Inovasi

sagu
Ilustrasi pangan lokal sagu/pertanian.go.id.

Aditi Mukherji mengatakan deklarasi tersebut bukanlah sebuah perjanjian tetapi sebuah pernyataan "niat."

"Oleh sebab itu, tidak ada tenggat waktu yang pasti, meskipun visinya adalah mencapai kemajuan menuju tujuan-tujuan tersebut pada tahun 2030, ketika SDGs juga harus dicapai," tambahnya.

Menurut Aditi Mukherji, pendanaan yang lebih besar mutlak dibutuhkan, "Itulah sebabnya CGIAR meluncurkan program investasi untuk mengamankan US$4 miliar (sekitar Rp62 triliun) bagi portofolio penelitian baru kami, guna mendukung lebih banyak inovasi untuk sistem pangan yang berkelanjutan, berketahanan, dan adil."

Deklarasi tersebut menegaskan komitmen negara-negara untuk meningkatkan manajemen air secara menyeluruh dalam sistem pertanian dan pangan di semua tingkat, bertujuan untuk menjaga keberlanjutan dan mengurangi dampak yang merugikan terhadap masyarakat.

Rachael McDonnell, wakil direktur jenderal penelitian di CGIAR International Water Management Institute, menjelaskan bahwa manajemen air yang terpadu melibatkan seimbang antara ketersediaan air dengan kebutuhan beragam sektor masyarakat, dengan cara yang adil dan inklusif.

"Tujuh puluh persen air dunia digunakan untuk pertanian," ujarnya.

Keanekaragaman Hayati, Perlindungan Lahan, dan Transformasi Sistem Pangan dalam Era Krisis Iklim

Ilustrasi Keanekaragaman hayati
Indonesia meraih peringkat ke-2 negara dengan keanekaragaman hayati terbanyak di dunia. (Photo by Tomas Sobek on Unsplash)

Para penandatangan deklarasi tersebut berkomitmen untuk memanfaatkan potensi iklim dan lingkungan dengan menjaga, melindungi, serta memulihkan lahan dan ekosistem alam. Mereka juga bertujuan untuk meningkatkan kesehatan tanah dan keanekaragaman hayati, serta mengubah cara produksi dan konsumsi agar lebih berkelanjutan, mengurangi emisi gas rumah kaca.

Menurut Cargele Masso dari CGIAR International Institute of Tropical Agriculture, keanekaragaman hayati dan iklim memiliki hubungan yang erat dan saling mendukung.

"Dalam sistem pangan, adaptasi dan mitigasi iklim sangat bergantung pada perlindungan lahan, pemulihan ekosistem, dan pelestarian keanekaragaman hayati, yang juga merupakan suatu keharusan bagi ketahanan pangan dan nutrisi serta penghidupan jutaan petani kecil di seluruh dunia," jelas Cargele Masso.

Dia menyatakan bahwa penggunaan pendekatan sistem dan mengandalkan prinsip alam seperti agroekologi akan menjadi sangat krusial dalam menanggapi tantangan krisis iklim.

“Tidak diragukan lagi bahwa deklarasi tersebut, ditambah dengan kerangka keanekaragaman hayati global Kunming-Montreal, akan mendorong lebih banyak tindakan untuk memprioritaskan investasi pada perlindungan lahan, restorasi ekosistem, serta menjaga, meningkatkan, dan memulihkan keanekaragaman hayati untuk adaptasi dan mitigasi iklim yang efektif, khususnya dalam sistem pangan,” jelas Cargele Masso.

INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia?
INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia? (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya