PM Estonia: Putin Berupaya Jadikan Migrasi Massal Sebagai Senjata

Kaja Kallas adalah salah satu dari banyak politikus Eropa yang mencoba menjelaskan dampak negatif kekalahan Ukraina terhadap Eropa dan membantah mereka yang mengklaim bahwa kemunduran seperti itu dapat diatasi.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 19 Mei 2024, 09:04 WIB
Diterbitkan 19 Mei 2024, 09:04 WIB
Melihat Kota Mariupol Usai Digempur Rusia
Kendaraan yang rusak terlihat di Pabrik Metalurgi Illich Iron & Steel Works, saat asap mengepul dari Metallurgical Combine Azovstal selama pertempuran sengit, di daerah yang dikendalikan pasukan separatis yang didukung Rusia di Mariupol, Ukraina (19/4/2022). (AP Photo/Alexei Alexandrov)

Liputan6.com, Tallinn - Vladimir Putin berupaya menjadikan ancaman migrasi massal sebagai senjata untuk memecah belah dan melemahkan Eropa ketika para pendukung Ukraina berjuang mempertahankan persatuan untuk mengalahkan Rusia. Demikian pernyataan Perdana Menteri Estonia Kaja Kallas.

"Apa yang musuh kita ketahui migrasi adalah kerentanan kita," ujar Kallas, seperti dilansir The Guardian, Minggu (19/5/2024). "Tujuannya adalah membuat kehidupan di Ukraina menjadi sangat mustahil, sehingga akan ada tekanan migrasi ke Eropa dan inilah yang mereka lakukan."

Berbicara di Tallinn pada hari Jumat (17/5), Kallas menuturkan Rusia telah menciptakan tekanan migrasi melalui gangguan di Suriah dan Afrika oleh kelompok Wagner.

"Saya pikir kita harus memahami bahwa Rusia mempersenjatai migrasi. Musuh-musuh kita mempersenjatai migrasi," kata Kallas.

"Mereka mendorong para migran melewati perbatasan dan mereka menciptakan masalah bagi orang-orang Eropa karena mereka mempersenjatai hal ini karena dalam hal hak asasi manusia, Anda harus menerima orang-orang tersebut. Dan, tentu saja, hal ini juga menguntungkan kelompok sayap kanan."

Kallas mengakui penderitaan Ukraina di garis depan "sangat serius" dan janji-janji Eropa mengenai senjata tambahan belum terealisasi, sesuatu yang bisa diperbaiki jika NATO mengambil alih tugas mengoordinasikan pengiriman senjata.

"Masalahnya adalah janji-janji kita tidak menyelamatkan nyawa," ujarnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Khawatir Mengulang Kesalahan

Serangan rudal Rusia menghantam sebuah bangunan apartemen di Kharkiv, Ukraina, pada Selasa (14/5/2024).
Serangan rudal Rusia menghantam sebuah bangunan apartemen di Kharkiv, Ukraina, pada Selasa (14/5/2024). (Dok. AP Photo/Andrii Marienko)

Kallas berbicara sehari setelah mantan presiden Estonia Toomas Ilves meramalkan bahwa jika Ukraina jatuh ke tangan Rusia, sebanyak 30 juta warga Ukraina akan berusaha melarikan diri.

"Itu adalah ancaman yang kita hadapi karena kelambanan kita," katanya, seraya menambahkan bahwa Eropa mengalami 'kehancuran total' ketika menghadapi 2 juta pengungsi dari Timur Tengah pada tahun 2015.

Sebuah pamflet yang dibuat oleh LSM pro-Ukraina merinci bagaimana penembakan yang dilakukan Rusia antara Oktober 2022 dan Januari 2023 telah meningkatkan migrasi keluar Ukraina sebesar seperempat dibandingkan tahun sebelumnya.

Serangan baru-baru ini lebih menargetkan pembangkit listrik dibandingkan transmisi. Olena Halushka, kepala dewan di pusat internasional untuk Kemenangan Ukraina, mengatakan, "Saat ini mereka mencoba mengebom Ukraina hingga kembali ke zaman batu."

Dia menambahkan bahwa dalam dua bulan terakhir lebih banyak kerusakan yang ditimbulkan dibandingkan seluruh musim dingin 2023.

"Eropa perlu memikirkan Kharkiv, sebuah kota seukuran Munich yang tidak memiliki energi pada musim dingin ini dan kemudian memikirkan dampak finansial dari puluhan juta warga Ukraina yang melarikan diri dari perang karena takut akan pendudukan," tutur Halushka.

Kallas mengatakan serangan Rusia kini menargetkan kota-kota Ukraina setiap siang dan malam.

Dia mengakui bahwa berdasarkan geografi dan sejarah, beberapa negara di Eropa tidak melihat ancaman kekalahan Ukraina dengan cara yang sama.

"Mereka tidak melihat dan tidak percaya bahwa jika Ukraina jatuh maka Eropa berada dalam bahaya, seluruh Eropa, mungkin beberapa negara, tapi tidak seluruh Eropa," ungkap Kallas.

Kallas khawatir akan terjadi kesalahan seperti pada akhir tahun 1930-an, ketika sejumlah konflik seperti invasi Italia ke Ethiopia, pendudukan Jerman di Austria, dan perang China Vs Jepang dipandang sebagai peristiwa yang terisolasi. Kallas, yang dianggap sebagai calon penerus Josep Borrell sebagai komisaris tinggi Uni Eropa untuk kebijakan luar negeri, menyebutkan konflik di Azerbaijan dan Armenia, Timur Tengah, dan Laut China Selatan memiliki hubungan.

"Pelajaran dari tahun 1938 dan 1939 adalah jika agresi membuahkan hasil di suatu tempat, agresi tersebut akan terjadi di tempat lain. Kekalahan Ukraina adalah pembelajaran bagi semua agresor. Mereka akan belajar bahwa pada tahun 2024, terus terang, Anda bisa saja menjajah negara lain dan tidak terjadi apa-apa pada Anda," ungkap Kallas.

Bagaimanapun, Kallas membantah Estonia telah melakukan diskusi serius mengenai pengiriman pasukan ke Ukraina. Pada saat yang sama, Kallas berpendapat bahwa lebih baik Putin terus menebak-nebak rencana Eropa.


Peringatan Rusia

Vladimir Putin
Presiden Rusia Vladimir Putin. (Dok. Mikhail Metzel, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP)

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Rusia memperingatkan negara-negara Barat bahwa mereka sedang bermain api dengan membiarkan Ukraina menggunakan rudal dan senjata Barat untuk menyerang Rusia.

Rusia menegaskan pihaknya tidak akan membiarkan tindakan seperti itu tidak direspons.

Kementerian Luar Negeri Rusia melanjutkan bahwa mereka melihat campur tangan Amerika Serikat (AS) dan Inggris di balik serentetan serangan baru-baru ini. Rusia juga menyalahkan keduanya karena meningkatkan konflik dengan memberi wewenang kepada Ukraina untuk menggunakan roket jarak jauh dan senjata berat yang mereka pasok.

"Sekali lagi, kami ingin dengan tegas memperingatkan Washington, London, Brussels dan negara-negara barat lainnya, serta Kyiv, yang berada di bawah kendali mereka, bahwa mereka sedang bermain api. Rusia tidak akan membiarkan gangguan di wilayahnya tidak terjawab," sebut Kementerian Luar Negeri Rusia.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya