Sabtu petang, 13 April 2013, Ben Panangian dan tiga rekannya sedang berdiri di papan selancarnya masing-masing, saat mendengar suara keras menggelegar. Mereka pikir itu suara petir.
Namun, saat menengok ke arah suara berasal, mereka melihat sebuah pesawat yang harusnya mendarat mulus di dari ujung landasan yang menjorok ke laut, justru nahas menghantam air.
"Biasanya kami mendengar pesawat mendarat setiap 15 menit," kata Ben kepada News Limited, seperti dilansir News.com.au, Senin (15/4/2013).  Â
Namun, "awan tebal menggantung di langit saat itu, angin bertiup sangat kencang. Saat kulihat, pesawat itu tak mendarat."
Kala itu, Ben dan rekan-rekannya melihat hal yang tak biasa. "Lalu terlihat percikan besar, disusul gelombang. Biasanya tak ada gelombang di sini, namun kecelakaan itu menimbulkan gelombang tinggi," kata dia.
Pesawat celaka tersebut adalah milik maskapai Lion Air, tipe Boeing 737-800 Next Generation yang gagal mendarat di Bali pukul 15:30 WIT, tercemplung laut sekitar 50 meter dari landasan.
Ben dan teman-temannya, Yudi Astika (30) Ahmad Rofiq (21), dan Krisbrianto (28) lalu mengayuh papan mereka ke arah pesawat yang terbelah dua. Mereka termasuk orang-orang pertama yang menghampiri burung besi itu sesaat setelah kejadian.
Terdengar teriakan dari dalam pesawat, Ben dan para rekannya mengaku berusaha menolong para penumpang yang panik sebisa mungkin.
Dua dari mereka berusaha menaikkan para penumpang ke perahu karet, sementara Ben mengaku menolong para korban yang tak bisa berenang.
"Ada satu pria yang tak bisa berjalan, kukira ia menderita stroke. Ada lagi seorang perempuan yang wajahnya berdarah," kata Ben. "Semua orang syok dan panik."
Ben mengaku, sempat terlintas dalam pikirannya, pesawat itu akan meledak. Namun, meski takut bukan main, mereka memutuskan untuk membantu para korban.
Dan untungnya, meski sejumlah penumpang cedera, tak ada korban jiwa melayang.
Menurut Ben, kejadian pesawat gagal mendarat hanya sehari sebelum air laut bakal mengalami pasang lebih tinggi dan laut lebih ganas -- yang bisa jadi menghalangi upaya penyelamatan dan mungkin membuat lebih banyak korban cedera.
Kisah Ben Panangian menjadi saksi mata kecelakaan Lion Air ramai diberitakan media Australia. Dia adalah kekasih "ratu mariyuana" asal Australia, Schapelle Corby.
Para Nelayan Beraksi
Para nelayan yang juga berada di area tersebut juga berusaha memberikan pertolongan. Salah satunya Wayan Rena, mantan pemandu wisata yang banting setir jadi nelayan 10 tahun lalu. Ia memang tak melihat saat pesawat itu jatuh, namun keributan di pantai menarik perhatiannya.
Saat mendekat, ia melihat ujung pesawat menyentuh air. "Saya dan dua rekan saya langsung naik kapal dan membantu,"kata dia. Ada empat korban yang berhasil diangkut kapal milik Wayan. "Banyak nelayan lain juga ikut membantu."
Sementara, Fatur (36) adalah nelayan pertama yang ada di lokasi kejadian. Ia sengaja memarkirkan kapalnya dekat sayap, agar para korban yang ada di sana mudah masuk ke kapalnya.
Fatur berhasil menyelamatkan 3 penumpang, membawa mereka ke tepian, sebelum tim penyelamat tiba dan melakukan evakuasi.
Fatur, demikian juga Wayan mengaku, mereka tak bisa menyelamatkan lebih banyak penumpang, karena polisi mencegah mereka kembali. Sudah ada tim SAR yang menangani.
Salah satu penumpang yang bersyukur selamat dari musibah tersebut adalah Santi Wisdiastuti (33) asal Bandung. Ia pergi Bali bersama saudara lelakinya untuk menghadiri pernikahan.
Saat kejadian, ia duduk di bagian dengan pesawat. Kursinya berada dekat bagian pesawat yang pecah.
Santi pikir pesawat bakal tenggelam karena sesaat setelah terhempas, air mulai masuk dengan deras dari lantai pesawat.
Penumpang terpaksa melompat ke laut dan berenang untuk menyelamatkan diri. Lainnya mencapai sayap sambil menunggu pertolongan --- termasuk dirinya.
Meski tak ingat penolong yang berhasil membawanya ke tepian, Santi mengaku melihat sejumlah nelayan menghampiri lokasi kejadian sesaat setelah insiden kecelakaan. "Aku sangat takut," kata dia.
"Semua orang panik, beberapa berteriak. Aku ingat ada nelayan di sana, dan sejumlah tentara membantuku ke tepi."
Santi dan para penumpang langsung dibawa ke rumah sakit, di mana ia menerima beberapa jahitan di kakinya. Dan meski syok bukan main, perempuan tegar itu tak kapok terbang. "Aku harus pulang Jumat depan, harus naik pesawat lagi." (Ein)
Namun, saat menengok ke arah suara berasal, mereka melihat sebuah pesawat yang harusnya mendarat mulus di dari ujung landasan yang menjorok ke laut, justru nahas menghantam air.
"Biasanya kami mendengar pesawat mendarat setiap 15 menit," kata Ben kepada News Limited, seperti dilansir News.com.au, Senin (15/4/2013).  Â
Namun, "awan tebal menggantung di langit saat itu, angin bertiup sangat kencang. Saat kulihat, pesawat itu tak mendarat."
Kala itu, Ben dan rekan-rekannya melihat hal yang tak biasa. "Lalu terlihat percikan besar, disusul gelombang. Biasanya tak ada gelombang di sini, namun kecelakaan itu menimbulkan gelombang tinggi," kata dia.
Pesawat celaka tersebut adalah milik maskapai Lion Air, tipe Boeing 737-800 Next Generation yang gagal mendarat di Bali pukul 15:30 WIT, tercemplung laut sekitar 50 meter dari landasan.
Ben dan teman-temannya, Yudi Astika (30) Ahmad Rofiq (21), dan Krisbrianto (28) lalu mengayuh papan mereka ke arah pesawat yang terbelah dua. Mereka termasuk orang-orang pertama yang menghampiri burung besi itu sesaat setelah kejadian.
Terdengar teriakan dari dalam pesawat, Ben dan para rekannya mengaku berusaha menolong para penumpang yang panik sebisa mungkin.
Dua dari mereka berusaha menaikkan para penumpang ke perahu karet, sementara Ben mengaku menolong para korban yang tak bisa berenang.
"Ada satu pria yang tak bisa berjalan, kukira ia menderita stroke. Ada lagi seorang perempuan yang wajahnya berdarah," kata Ben. "Semua orang syok dan panik."
Ben mengaku, sempat terlintas dalam pikirannya, pesawat itu akan meledak. Namun, meski takut bukan main, mereka memutuskan untuk membantu para korban.
Dan untungnya, meski sejumlah penumpang cedera, tak ada korban jiwa melayang.
Menurut Ben, kejadian pesawat gagal mendarat hanya sehari sebelum air laut bakal mengalami pasang lebih tinggi dan laut lebih ganas -- yang bisa jadi menghalangi upaya penyelamatan dan mungkin membuat lebih banyak korban cedera.
Kisah Ben Panangian menjadi saksi mata kecelakaan Lion Air ramai diberitakan media Australia. Dia adalah kekasih "ratu mariyuana" asal Australia, Schapelle Corby.
Para Nelayan Beraksi
Para nelayan yang juga berada di area tersebut juga berusaha memberikan pertolongan. Salah satunya Wayan Rena, mantan pemandu wisata yang banting setir jadi nelayan 10 tahun lalu. Ia memang tak melihat saat pesawat itu jatuh, namun keributan di pantai menarik perhatiannya.
Saat mendekat, ia melihat ujung pesawat menyentuh air. "Saya dan dua rekan saya langsung naik kapal dan membantu,"kata dia. Ada empat korban yang berhasil diangkut kapal milik Wayan. "Banyak nelayan lain juga ikut membantu."
Sementara, Fatur (36) adalah nelayan pertama yang ada di lokasi kejadian. Ia sengaja memarkirkan kapalnya dekat sayap, agar para korban yang ada di sana mudah masuk ke kapalnya.
Fatur berhasil menyelamatkan 3 penumpang, membawa mereka ke tepian, sebelum tim penyelamat tiba dan melakukan evakuasi.
Fatur, demikian juga Wayan mengaku, mereka tak bisa menyelamatkan lebih banyak penumpang, karena polisi mencegah mereka kembali. Sudah ada tim SAR yang menangani.
Salah satu penumpang yang bersyukur selamat dari musibah tersebut adalah Santi Wisdiastuti (33) asal Bandung. Ia pergi Bali bersama saudara lelakinya untuk menghadiri pernikahan.
Saat kejadian, ia duduk di bagian dengan pesawat. Kursinya berada dekat bagian pesawat yang pecah.
Santi pikir pesawat bakal tenggelam karena sesaat setelah terhempas, air mulai masuk dengan deras dari lantai pesawat.
Penumpang terpaksa melompat ke laut dan berenang untuk menyelamatkan diri. Lainnya mencapai sayap sambil menunggu pertolongan --- termasuk dirinya.
Meski tak ingat penolong yang berhasil membawanya ke tepian, Santi mengaku melihat sejumlah nelayan menghampiri lokasi kejadian sesaat setelah insiden kecelakaan. "Aku sangat takut," kata dia.
"Semua orang panik, beberapa berteriak. Aku ingat ada nelayan di sana, dan sejumlah tentara membantuku ke tepi."
Santi dan para penumpang langsung dibawa ke rumah sakit, di mana ia menerima beberapa jahitan di kakinya. Dan meski syok bukan main, perempuan tegar itu tak kapok terbang. "Aku harus pulang Jumat depan, harus naik pesawat lagi." (Ein)