Liputan6.com, Jakarta Menurut budaya Jawa, perempuan memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat menentukan atas kualitas anak yang akan dilahirkannya. Mulai sejak awal pembuahan sampai ada dalam kandungan ibu, anak manusia ini harus mendapatkan bimbingan batin dari ibu secara terus menerus agar kelak dapat dilahirkan sosok anak manusia yang memiliki kondisi linuwih (unggul).
Seperti juga tanaman, akan subur dan berbuah lebat, sehat, bernas dan berkualitas jika tanaman itu sejak awal penanaman telah disiapkan dan diprogramkan.
Baca Juga
Demikian pula dengan memprogram kelahiran seorang anak manusia. Modal kasih sayang calon ayah pada ibu mesti dipupuk dan dipelihara jangan sampai dilumuri dengan nafsu-nafsu biologis yang brutal.
Advertisement
Perkawinan, dalam khasanah budaya Jawa (juga budaya lain) adalah sesuatu yang sakral, suci. Karena itu selalu dilakukan secara khusus disertai curahan doa dari para sesepuh (orang tua), handai taulan, sahabat, dan kenalan.
Prof. Ir. R. M. Soewandi Notokoesoemo, mantan Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (1955-1956) Kabinet Burhanuddin Harahap pernah menyebutkan 'dalam memadu cinta, memadu tubuh dan jiwa dan memadu cipta, hendaknya jangan hanya didorong oleh tujuan untuk menciptakan buah cinta sayang mereka berdua yakni keturunan/tunas generasi baru yang baik segala-galanya.
Dari keinginan itu, menurut Soewandi, hendaknya sepasang manusia harus saling menyiapkan diri untuk proses regenerasi dengan lila, narima, temen, lan utama (rela hati, menerima dengan hati yang bersyukur, lurus hati/jujur, dan utama/budi pekerti yang baik).
Lila, artinya suami harus dengan hati rela menerima rayuan dan permintaan istri. Sebab rayuan tersebut bila dipenuhi akan menyebabkan makin besar cinta kasih istri pada suami sehingga kebahagiaan istri makin besar dan mantap.
Narima, artinya suami harus menerima sepenuh hati kepuasan hati istri yang berupa imbalan pelayanan dari istri sebab bila imbalan pelayanan tersebut dihargai dan diterima dengan gembira hati, maka akan membuat kebahagiaan hati istri. Hal itu akan terlihat pada kemantapan dan kesungguhan istri dalam melayani kehendak suami.
Temen, artinya suami harus benar-benar setia pada janji atau kesanggupan yang telah diucapkan. Sebab bila janji tidak dipenuhi akan berakibat berkurangnya cinta kasih istri sehingga bisa menyebabkan berkurangnya rasa hormat istri pada suami.
Utama, artinya suami harus gemar memaafkan kesalahan istri sebab bagi suami yang mudah memaafkan kesalahan istri tentang hal-hal kecil (sepele) sehari-hari akan menambah keteguhan hati istri. Ini akan membuat istri sudi berkorban demi suami.
Yang lebih utama, pasangan suami istri harus memahami pertelaan (perincian) penitisan wijining dumadi (bibit anak manusia yang baik) dengan memahami saat-saat yang baik untuk memadu cinta, memadu tubuh, jiwa dan memadu cipta yang tepat.
Pertelaan
Pertelaan yang dimaksud ada empat (4) hal, yakni eneng, ening, awas, dan eling.
Eneng (tenang), berarti saat memadu kasih, pikiran dan perasaan harus dalam kondisi tenteram dan mengendapkan segala emosi (nafsu amarah). Ini bermanfaat agar olah cinta bisa bertahan dalam waktu lama dan mencapai puncak ejakulasi sehingga menghasilkan benih yang kuat. Pikiran dan hati yang tenteram menyebabkan keteguhan jiwa dan keteguhan jiwa ini akan menguatkanbenih. Hal tersebut akan berpengaruh pada panjangnya usia dan kesehatan anak yang dilahirkan kelak.
Ening (hening) berarti pikiran dan perasaan hati harus dalam kondisi jernih yang akan menumbuhkan rasa nikmat dan kebahagiaan jiwa kedua pasangan suami istri. Kejernihan pikir dan perasaan itu juga berpengaruh pada kualitas benih (mani) sehingga tetap mengandung cinta, kasih, sayang.
Awas (tajam mengetahui pertanda) berarti harus memerhatikan dan memahami segala pertanda dari sikap dan keinginan pasangannya, perlahan penuh perasaan atau semangat sedang bergairah sambil mengheningkan cipta untuk merasakan dengan mata batin apakah benih yang tercurahkan itu benih yang bermutu atau benih yang kurang mutunya.
Eling (sadar) berarti jangan memikirkan hal-hal lainnya selain tugas mulia yang sedang dihadapi saat itu yakni menitiskan benih generasi penerus. Maka bila dirasakan ternyata salah satu pihak mengendur semangatnya, harus sadar bahwa pasangannya saat itu belum terbuka sumber semangatnya. Maka salah satu pihak harus berupaya membangkitkan semangat pasangannya dengan sapuan-sapuan kasih sayang agar terbuka sumber gairahnya dan membalasnya dengan semangat juga.
Dengan memahami keempat wadi (rahasia) kondisi dan semangat pada saat yang tepat tersebut, kita akan memahami cara-cara bagaimana upaya untuk menitiskan anak-anak manusia yang berkualitas luhur.
Advertisement