Ini Sebabnya Makin Tua Malah Makin Bahagia

Kebahagiaan bertambah seiring dengan bertambahnya usia karena kita mengembangkan dan menguasai fungsi-fungsi kognitif yang diperlukan.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 02 Des 2015, 07:30 WIB
Diterbitkan 02 Des 2015, 07:30 WIB
Ternyata Semakin Tua Semakin Bahagia
Pada hakekatnya, hidup tidak menjadi lebih baik tapi kita menjadi lebih siap untuk menghadapinya. (Sumber patheos.com)

Liputan6.com, New York - Kata orang, usia hanyalah angka. Kita menjadi dewasa bukan dengan hitungan tahun, tapi dari pengalaman. Namun demikian, banyak di antara kita yang memandang bahwa kehidupan akan menjadi lebih buruk seiring dengan berjalannya waktu. Apakah memang demikian?

Merujuk kepada Huffington Post yang dikutip pada Selasa (01/12/2015), penelitian menunjukkan bahwa kita menjadi lebih baik seiring bertambahnya usia, kita menjadi lebih bahagia dengan gerak maju kehidupan, dan—hilangnya “keindahan masa kanak-kanak” ataupun keajaiban yang membuat kita ingin menjadi selalu muda—bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan suatu perilaku yang kita pelajari. Dengan kata lain, kita dapat dengan mudah mengambilnya kembali.

Kebahagiaan bertambah seiring dengan bertambahnya usia karena kita mengembangkan dan menguasai fungsi-fungsi kognitif yang diperlukan untuk mempertahankan kebahagiaan, kita puas dengan siapa diri kita, kita meraih sejumlah hal, dan kita berkembang menjauhi jiwa muda kita yang kacau dan emosional.

Pada hakekatnya, hidup tidak menjadi lebih baik tapi kita menjadi lebih siap untuk menghadapinya. Percaya atau tidak, inilah 10 alasan mengapa kita menanti-nantikan masa di depan kita:

1. Lebih bisa bersyukur

Sambil menjadi lebih tua, kita membangun fungsi-fungsi kognitif yang diperlukan untuk kebahagiaan: rasa bersyukur, obyektivitas, pemecahan persoalan.

Semakin banyak kita melihat dunia, semakin kita mengalami di dalamnya, kita belajar bahwa banyak yang patut disyukuri, ada hal-hal yang terpisah dari persepsi kita tentang hal-hal tersebut dan banyak persoalan dapat dipecahkan jika kita memang bersikukuh hendak menyelesaikannya.

2. Merasa lebih cukup

Sejumlah penelitian berpendapat bahwa usia 37 adalah usia yang paling berbahagia. Kita sudah cukup melakukan segala sesuatu untuk merasa telah berprestasi, menjadi mapan, dan—walaupun jatidiri kita sedikit demi sedikit dipertegas—kita tidak lagi tergopoh-gopoh mengejar sesuatu.

Lebih bisa menikmati hidup

3. Lebih bisa menikmati hidup

Dengan bertambahnya usia, sikap kita bergeser dari “apa yang bisa aku lakukan” menjadi “apa yang bisa aku nikmati.”

Sasaran kita bukan lagi untuk membuktikan atau menegaskan diri kita, tapi lebih kepada menikmati hidup kita dan hadir secara penuh di dalamnya.

4. Telah belajar dari pengalaman

Jika kehidupan menjadi lebih sulit seiring dengan berjalannya waktu, hal itu menunjukkan bahwa kita tidak belajar, berkembang, atau menyesuaikan diri dalam beberapa hal.

Sebetulnya tidak ada titik di suatu masa di mana hidup menjadi “lebih mudah”, tapi kita sekedar menjadi lebih diperlengkapi untuk menghadapi hal-hal yang kita tidak tahu cara menghadapinya dulu. Sebaliknya, orang yang tidak mengembangkan perlengkapan-perlengkapan itu mendapati bahwa hidup menjadi lebih sulit seiring berjalannya waktu , bukan semata-mata karena keadaannya lebih menantang, tapi lebih karena cara pandang mereka sehingga mereka tidak dapat menanganinya dengan baik.

Menjadi lebih tenang

5. Lebih tenang dan terkendali

Jaringan otak yang mengolah ketakutan—amygdala—berkembang lebih cepat daripada bagian otak depan (prefrontal cortex) yang merupakan pusat akal sehat dan pengendalian eksekutif. Artinya, orang dewasa memiliki otak yang terhubung untuk persepsi yang lebih mengenai ketakutan dan kemampuan yang kurang berkembang untuk menjadi tenang atau berkilah dengan diri sendiri.

6. Lebih tawaqal

Kita diajarkan oleh pengalaman kita bahwa tidak ada hal di luar kita yang kita anggap menghadirkan kebahagiaan yang bisa benar-benar mendatangkan kebahagiaan.

Seringkali, tujuan-tujuan yang kita pilih untuk diraih sebagai orang dewasa memiliki kaitan yang lebih dalam kepada meyakini bahwa kita lebih dicintai, diterima, atau dihargai karena telah meraih sesuatu yang “hebat”. Hanya setelah kita meraih satu atau dua hal barulah kita menyadari bahwa kita belum terpuaskan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Dengan bertambahnya usia, kita belajar memisahkan dorongan untuk pemuasan emosional dari gagasan palsu tentang bagaimana kita bisa meraihnya.

Memiliki teman sejati

7. Dikelilingi keluarga dan teman sejati

Hubungan-hubungan yang dibangun dengan orang-orang selama bertahun-tahun mengarah kepada “jejaring aman” emosional.

Maksudnya, dengan berjalannya waktu, pertemanan menjadi semakin dalam dan hubungan-hubungan berkembang. Kita mulai memilih keluarga kita sendiri dan terikat kepada mereka dengan cara-cara yang lebih intim. Hal ini tentu saja dimengerti oleh kita sebagai perasaan “aman” dan penerimaan yang sejati, yang tentunya merupakan dorongan primitif sekaligus unsur kunci dalam kebahagiaan.

8. Sudah tahu cara mengatasi berbagai masalah

Kita tahu bagaimana caranya mengatasi berbagai hal—karena kita pernah melakukannya.

Kita mengetahui bagaimana menyintas kematian seseorang yang dicintai karena sebelumnya beberapa kali kita telah mengajari diri sendiri tentang cara berduka dan terus maju. Kita tahu caranya melewati masa sulit keuangan atau putus hubungan yang menyakitkan, karena kita pernah melakukannya. Tantangan-tantangan di masa lalu memberikan kita perlengkapan untuk menghadapi hal-hal di masa kini.

Hidup adalah hadiah

9. Menyadari hidup adalah hadiah

Kita sudah bergerak dari menganggap waktu kita di sini sebagai suatu jaminan untuk kemudian melihatnya sebagai hadiah dan kesempatan.

Orangtua teman-teman meninggal dunia. Teman-teman meninggal dunia. Orang-orang jatuh sakit. Muncul tragedi yang mengingatkan kita bahwa waktu yang ada bukanlah sekedar diberikan. Tidak seorangpun berharap meninggal muda, tapi ada saja meninggal sewaktu muda. Mungkin saja kita mendambakan hidup ideal berlanjut hingga usia 95, tapi bukan berarti itu menjadi kenyataan. Ketika kita menyadari betapa ringkihnya dan berharganya kehidupan, kita hadir sepenuhnya di dalam kehidupan itu.

10. Sudah bisa menikmati hidup

Kita belajar tentang siapa kita, dan belajar bagaimana menciptakan kehidupan yang dinikmati seseorang.

Pintu-pintu pengungkapan diri tidak ada batasnya dan tidak selalu jelas, namun tidak berakhir begitu saja setelah pertengahan usia 20-an. Dengan berjalannya waktu, kita belajar tentang kebiasaan-kebiasaan kita, kecenderungan kita, apa yang bisa dan tidak bisa, apa yang kita inginkan lebih banyak lagi atau yang lebih sedikit. Pengetahuan tentang diri sendiri sungguh tidak ternilai dan menjadi blok-blok bangunan untuk hidup yang dijalani dengan baik. (Alx)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya