Liputan6.com, Jakarta Di ranah pidana, ada modus terencana untuk memperoleh insentif eksternal dengan pura-pura sakit yang disebut malingering. Namun, aksi malingering ini hanya sedikit yang berhasil dibongkar penegak hukum.
Hal ini terungkap dalam studi Conroy dan Kwartner pada 2016. Mereka mengestimasi aksi pura-pura sakit di ranah pidana hanya ada 17 persen kasus.
Baca Juga
Angka serendah itu bukan karena insidennya sedikit, melainkan karena sangat banyak atraksi pura-pura sakit yang tidak berhasil dibongkar otoritas penegakan hukum. Hal itu disampaikan pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel.
Advertisement
"Ini menjadi penanda betapa paten dan ampuhnya siasat malingering untuk memandulkan hukum," kata Indra dalam pesan teks kepada Health-Liputan6.com ditulis Senin (20/11/2017).
Saksikan juga video menarik berikut:
Aksi nekat
Orang yang melakukan modus pura-pura sakit ini, kata Indra, bisa saja melakukan aksi nekad bahkan absurd. Misalnya dengan membuat benturan di kepala yang bisa membuat cedera kepala.
Cedera di kepala dikhawatirkan mengganggu fungsi daya ingat, padahal fungsinya sangat dibutuhkan dalam proses hukum.
"Nah, ilmuwan semisal Suhr, Tranel, Wefel, dan Barrash (ilmuwan bidang psikologi dan neurologi) sudah wanti-wanti dengan redaksional (pemberitaan) yang menjaga perasaan si malingerer," kata Indra. Menurutnya, penyidik harus mencari semua kemungkinan yang ada, selain saraf, yang bisa memengaruhi ingatan tersangka.
Lebih lanjut, Indra mengungkapkan bila seorang tersangka melakukan malingering sepatutnya disikapi sebagai orang yang tidak kooperatif bahkan mempersulit proses hukum.
"Andai kelak dia divonis bersalah, atraksi malingeringnya patut dijadikan sebagai unsur pemberatan hukuman," tulisnya.
Advertisement