Liputan6.com, Jakarta Kebanyakan pria pernah menonton konten berbau pornografi. Apalagi saat ini sangat mudah menemukannya di internet.
Tapi, seorang wanita juga bisa kecanduan konten pornografi. Itulah yang disampaikan Erica Gaza, penulis Getting Off. Menurutnya kecanduan pornografi ternyata memang kondisi medis yang sebenarnya.
Baca Juga
Dia mengatakan dalam buku barunya itu tentang pengalaman pribadinya yang intens menonton konten porno karena obsesinya dan kini dia sudah bisa pulih.
Advertisement
"Pada usia 30 tahun, pukul 24.00, bahkan pukul 12.00, tidak mungkin saya memikirkan kesenangan seksual tanpa merasa malu," kata Garza kepada The Cut.
"Saya merasa tidak enak dengan jenis porno yang saya tonton. Saya merasa tidak enak tidur dengan orang yang tidak saya sukai. Saya merasa tidak enak karena pikiran yang saya rasakan saat berhubungan seks dengan orang-orang yang benar-benar saya cintai,"
Meskipun tidak dapat disangkal, apa yang dialami Garza benar-benar nyata dan berbahaya bagi jiwanya. Namun, tidak ada konsensus nyata dalam komunitas ilmiah dan medis bahwa kecanduan pornografi itu nyata.
Justin Lehmiller, Ph.D., dan asisten profesor psikologi sosial di Ball State University mengatakan menonton pornografi berlebihan tidak sesuai dengan tipikal model kecanduan.
"Penelitian Neuroscience telah mengungkapkan apa yang terjadi di dalam otak dari apa yang disebut `pecandu` porno sama sekali bukan yang Anda harapkan dari orang-orang yang benar-benar memiliki kecanduan," tulis Lehmiller di Men's Health, dilansir Selasa (9/1/2018).
"Beberapa orang memang memiliki masalah dalam mengatur penggunaan pornografi - tidak ada yang membantahnya. Hanya saja masalah mereka tampaknya tidak `adiktif` - seperti, katakanlah, obat-obatan atau alkohol," tulisnya.
Â
Â
Saksikan juga videoe berikut ini:Â
Tak lagi menganggap diri kecanduan porno
Namun, Psychology Today menunjukkan orang-orang yang mendiagnosis dirinya sendiri sebagai pecandu pornografi sering melaporkan serangkaian gejala serupa, termasuk perasaan malu dan bersalah yang hebat, seperti yang dijelaskan Garza.
Studi menunjukkan rasa bersalah sering dikaitkan dengan latar belakang religius yang kuat, yang membuat orang lebih cenderung mendiagnosis dirinya sendiri sebagai "kecanduan pornografi."
"Meskipun porno tidak terkait dengan hasil negatif secara keseluruhan, ada beberapa subset dari orang-orang yang mungkin bermasalah - dan diperlukan lebih banyak penelitian untuk membantu memperjelas siapa dan dalam keadaan apa pornografi itu berbahaya," tulis Lehmiller.
Sedangkan untuk Garza, dia tidak lagi memandang dirinya sebagai pecandu berkat program 12 langkah, pasangan yang memahami, yoga dan terapi. Dia mengatakan bahwa dia masih melihat pornografi saat dia menginginkannya, hanya dengan pandangan yang "lebih sehat".
"Saya menyadari bahwa saya tidak sendiri, tidak apa-apa," katanya kepada New York Post.
"Saya hanya ingin berhenti merasakan rasa malu, dan saya berhasil."
Â
Advertisement