Liputan6.com, Jakarta Berkaca dari kasus Justice for Audrey, anak muda di Indonesia seharusnya bisa lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Nilai-nilai yang mendasar dan seharusnya sudah ditanamkan sejak dini, sayangnya menjadi sulit diterapkan di tengah arus kemajuan teknologi.
"Tugas yang lebih besar adalah mendidik anak muda zaman sekarang, tetap dengan kemajuan teknologi yang ada tetapi kita tetap memiliki nilai-nilai," kata psikolog sosial Ratna Djuwita saat dihubungi Health Liputan6.com, ditulis Kamis (11/4/2019).
Baca Juga
Ratna mengatakan, nilai-nilai yang harus ada dalam bermedia sosial seperti bertanggung jawab atas apa yang dilakukan, menolong orang yang lemah, serta menyayangi sesama.
Advertisement
"Itu kan nilai-nilai yang ada di Pancasila dan dimana pun itu mendasar sekali. Tidak ada komunitas yang mendukung bahwa kekerasan diperbolehkan," ujar dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu menambahkan.
Â
Media Sosial Berdampak pada Anak
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto juga mengatakan bahwa semua pihak mulai dari guru dan orangtua meningkatkan pendidikan karakter pada anak. Khususnya dalam menghadapi era digitalisasi.
"Karena bagaimanapun, dunia digital punya manfaat positif tetapi di satu sisi memiliki kerentanan dampak negatif yang bisa berdampak pada tumbuh kembang anak," kata Susanto di Kantor KPAI, Menteng, Jakarta pada Rabu (10/4/2019).
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Â
Advertisement
Literasi Digital di Revolusi 4.0
Ratna menambahkan bahwa orangtua punya peran untuk mendidik anaknya dalam bermedia sosial secara sehat dan bijak.
"Saya melihat di Indonesia, media sosial bisa digunakan oleh semua pihak tanpa ada proses pembelajaran," kata Ratna. Berbeda dengan di beberapa negara lain, penggunaan Facebook sangat dibatasi dan orangtua baru memperbolehkan anaknya memiliki akun di usia 17.
"Kalau di kita malah dibikinin," ujarnya.
Di sini pemerintah memang akan sulit untuk menjangkau individu orangtua secara langsung. Meski begitu, bukan berarti mereka tidak punya peran. Literasi digital bisa diterapkan lewat guru.
"Apalagi kita akan menghadapi revolusi 4.0, di mana komunikasi lisan tatap muka akan banyak tergantikan dengan komunikasi yang tidak langsung. Itu risikonya adalah orang menjadi lebih berani karena merasa lebih aman," kata Ratna.