Belum Ada Kasus Virus Corona di Indonesia, Iklim Berpengaruh?

Meski telah menyebar ke banyak negara, kasus terkait virus corona belum ditemukan terkonfirmasi di Indonesia.

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 09 Feb 2020, 21:41 WIB
Diterbitkan 09 Feb 2020, 21:41 WIB
Ilustrasi Virus Corona 2019-nCoV (Public Domain/Centers for Disease Control and Prevention's Public Health Image)
Ilustrasi Virus Corona 2019-nCoV (Public Domain/Centers for Disease Control and Prevention's Public Health Image)

Liputan6.com, Jakarta Sejak ditemukan pada akhir Desember 2019 di Wuhan, Provinsi Hubei, China, virus corona telah menginfeksi banyak orang dan setidaknya telah menyebar ke 27 negara. Mengutip New York Times, hingga Minggu (9/2) dini hari, tercatat korban meninggal akibat virus corona di China telah mencapai 811 orang (dengan 2 kasus kematian masing-masing di Hong Kong dan Filipina). Sementara jika memantau laman Gisanddata.maps.arcgis milik Johns Hopkins University, jumlah kasus virus corona yang terkonfirmasi telah mencapai 37.589 di seluruh dunia, Minggu (9/2) pukul 18.06 WIB.

Meski telah menyebar ke banyak negara, kasus terkait virus corona belum ditemukan terkonfirmasi di Indonesia. Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto beberapa kali menegaskan hal itu menyusul kasus-kasus suspect yang akhirnya terbukti negatif virus corona. Ketika 238 warga negara Indonesia (WNI) dievakuasi oleh Pemerintah dari Wuhan pada 2 Februari lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI juga kembali menegaskan tak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan gejala infeksi virus corona.

Fakta belum ada konfirmasi kasus virus corona di Indonesia membuat masyarakat lega. Namun, banyak pihak juga mempertanyakan kondisi Indonesia yang seolah tak terjamah oleh virus tersebut.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Harvard University menganalisis jumlah penumpang yang terbang dari Wuhan ke destinasi-destinasi di seluruh dunia. Studi tersebut menemukan bahwa jumlah kasus virus corona yang teridentifikasi di Indonesia maupun di Kamboja angkanya di bawah perkiraan.

Studi yang dipublikasikan segera dengan tujuan meningkatkan pemahaman para peneliti mengenai wabah virus corona 2019-nCoV itu belum direview lebih lanjut, juga meningkatkan kekhawatiran bahwa kasus di dua negara tidak teridentfikasi.

Profesor Ian Mackay, ahli virus dari University of Queensland mengatakan, bila kasusnya tidak terdeteksi, maka ada risiko infeksi yang lebih luas dan kemungkinan outbreak baru.

"Anda akan berpikir kontak terdekat seperti keluarga, teman dekat, atau pertemuan bisnis, yang mungkin terinfeksi kasus ini hingga kemudian membentuk titik infeksi," kata Mackay.

Virolog itu mengatakan, para penliti tak percaya bahwa paparan virus tersebut bersifat airborne (menular melalui udara). "Jadi (virus corona) tak sesederhana itu untuk dikenali. Anda harus berinteraksi dekat selama beberapa saat dengan seseorang untuk bisa tertular virus itu," jelasnya.

Mackay berharap individu yang merasakan gejala infeksi virus corona segera memeriksakan diri dokter dan dikarantina setelah diketahui sejarah perjalanan mereka melibatkan negara terdampak.

 

WHO Khawatirkan Persiapan Indonesia Hadapi Virus Corona

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga dikabarkan mengkhawatirkan kesiapan Indonesia menghadapi wabah virus corona. WHO meminta Indonesia meningkatkan kesiagaan karena hingga kini belum menerima adanya laporan kasus virus corona yang terkonfirmasi.

Melansir laman Dailymail, perwakilan WHO untuk Indonesia Dr Navaratnasamy Paranietharan mengatakan, Indonesia sudah melakukan perhitungan matang dalam menghadapi ancaman virus corona. Meski demikian, Paranietharan mengatakan, Indonesia masih bisa lebih mempersiapkan diri, misalnya pada area surveilans dan deteksi kasus serta fasilitas kesehatan dengan perlengkapan yang adekuat sehingga dapat menghadapi kemungkinan pasien suspect dengan kondisi buruk atau skenario outbreak.

"Indonesia melakukan apa pun yang mungkin dilakukan untuk bersiap menghadapi dan mencegah masuknya virus corona," ucapnya.

Paranietharan mengatakan, WHO memang khawatir akan kesiapan Indonesia karena belum ada laporan kasus infeksi virus corona hingga kini, namun badan kesehatan itu telah mengakui bahwa lab kesehatan yang dimiliki Indonesia berfungsi baik.

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Kemenkes, Dr. dr. Vivi Setyawaty, M. Biomed mengatakan pihaknya telah melaksanakan prosedur pemeriksaan terkait novel coronavirus sesuai pedoman WHO.

"Sejak kasus itu merebak, sudah ada guide line dari WHO dan kami sudah melakukan dan menyesuaikan dengan checklist reagen-reagen yang dibutuhkan, dan WHO juga telah menerima itu,” ujar Vivi, di Jakarta.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes RI Wiendra Waworuntu mengatakan pemerintah Indonesia telah belajar dari pengalaman menangani kasus SARS pada 2002-2003. WHO mencatat, hanya ada 2 kasus terkait SARS di Indonesia.

Iklim Berpengaruh?

Sementara itu, melansir laman Channel News Asia, kecepatan persebaran virus corona juga diduga memiliki keterkaitan dengan kondisi iklim suatu negara. Ada anggapan bahwa pola seasonal virus corona baru bisa jadi serupa dengan infeksi influensa dan SARS. Kedua kasus tersebut turun drastis pada Mei ketika suhu cuaca di China menghangat.

Pada negara-negara dengan suhu serupa China dan AS, musim flu biasanya mulai Desember dan mencapai puncaknya pada Januari atau Februari dan menurun setelahnya. SARS berakhir pada 2003 ketika musim panas utara muncul.

Banyak penelitian terhadap virus corona yang menyebabkan pilek bisa bertahan 30 kali lebih lama pada daerah dengan suhu 6 derajat Celsius dibandingkan dengan wilayah dengan suhu 20 derajat Celsius dan tingkat kelembapan tinggi.

Sebuah studi yang belum lama ini dilakukan oleh Profesor Malik Peiris dan Profesor Seto Wing Hong dari Hong Kong University menunjukkan bahwa suhu dingin dan kelembapan yang relatif rendah memungkinkan virus SARS bertahan lebih lama dibandingkan di daerah dengan temperatur dan kelembapan tinggi.

Ahli mikrobiologi RS Universitas Indonesia Fera Ibrahim mengatakan, sinar ultraviolet B (UVB) dapat menonaktifkan virus, termasuk virus corona. Paparan sinar ultaviolet B terhadap virus corona yang berada di ruang terbuka membuatnya tidak aktif.

"Ya, saya rasa virus corona lebih terkonsentrasi mampu bertahan hidup pada cuaca atau udara yang lebih dingin dan lembab," kata ahli mikrobiologi RS Universitas Indonesia Fera Ibrahim dalam diskusi tentang Virus Corona di RS UI.

"Sinar ultraviolet bisa membuat sel virus tidak aktif. Saya rasa itu yang membantu kita terhindar (virus corona). Mudah-mudahan sih kita terhindar terus dan tidak ada yang terkonfirmasi terinfeksi virus," Fera menerangkan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya