Studi Ungkap Infeksi COVID-19 Bikin Volume Otak Menyusut

Pemindaian yang mereka lakukan mengungkapkan perubahan di beberapa bagian otak setelah orang tertular COVID-19

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 13 Apr 2022, 08:00 WIB
Diterbitkan 13 Apr 2022, 08:00 WIB
Ilustrasi kesehatan otak
Ilustrasi kesehatan otak pada penyintas COVID-19 (Photo by VSRao on Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Upaya untuk memahami virus Corona SARS-CoV-2 melalui berbagai riset terus dilakukan. Sebuah studi oleh Oxford University , Inggris, mengungkap, virus Corona penyebab COVID-19 berdampak pada otak individu yang terinfeksi. Dampak tersebut juga menimpa mereka yang mengalami gejala ringan.

Melalui laman Aljazeera, dr Amir Khan dari NHS yang juga Lektor Senior di University of Leeds School of Medicine dan University of Bradford mengulas temuan para peneliti mengenai dampak COVID-19 pada sistem saraf pasien.

Beberapa individu yang terinfeksi COVID-19 dilaporkan mengalami sejumlah komplikasi neurologis seperti kebingungan, stroke, kesulitan konsenstrasi, sakit kepala, gangguan sensori, depresi, hingga psikosis. Kondisi tersebut bisa muncul berbulan-bulan selepas dinyatakan positif.

Para peneliti di University of Oxford pun telah melakukan studi peer-review besar pertama. Mereka membandingkan hasil pindai otak dari 785 orang usia 51 hingga 81 tahun yang 401 diantaranya pernah terinfeksi COVID-19. Sedangkan 384 lainnya tidak pernah terpapar COVID-19.

Rata-rata, pindai otak kedua dilakukan dalam waktu 141 hari sejak individu dinyatakan positif COVID-19.

Studi tersebut mengungkapkan bahwa, jika dibandingkan dengan pemindaian kelompok kontrol, mereka yang menunjukkan hasil tes positif COVID-19 mengalami penyusutan otak keseluruhan yang lebih besar serta penyusutan sel-sel abu-abu yang lebih banyak. Demikian pula dengan kerusakan jaringan di daerah yang terkait dengan penciuman dan kapasitas mental yang dialami beberapa bulan setelah infeksi awal.

"Meskipun penelitian ini membuat beberapa gejala yang tengah berlangsung dari long COVID jadi lebih jelas, saya akan berhati-hati untuk tidak menggeneralisasi temuan pada populasi secara luas sebelum penelitian lebih lanjut dilakukan," tutur Amir Khan.

 


Tampak Lebih Nyata pada Orang Tua

Para peneliti mengatakan, meskipun efek penyusutan otak terasa lebih nyata pada orang tua yang dirawat di rumah sakit karena gejala COVID-19. Mereka yang memiliki gejala ringan pun dilaporkan mengalami beberapa perubahan.

“Meskipun 96 persen partisipan penelitian kami mengalami infeksi ringan, kami melihat volume sel abu-abu yang yang hilang lebih besar, dan kerusakan jaringan yang juga lebih besar pada peserta yang terinfeksi, rata-rata 4,5 bulan setelah infeksi,” kata penulis utama studi Profesor Gwenaëlle Douaud.

Gwenaelle menambahkan, penurunan kemampuan mental dalam menyelesaikan tugas kompleks yang tampak juga terkait dengan kondisi kelainan otak. 

"Mereka juga menunjukkan penurunan yang lebih besar dalam kemampuan mental untuk melakukan tugas-tugas kompleks, dan mental yang memburuk ini sebagian terkait kelainan otak ini."

Diketahui, penelitian mengenai dampak COVID-19 terhadap volume otak ini dilakukan ketika varian Alpha dominan di Inggris. Sehingga tidak melibatkan pasien yang terinfeksi varian Delta. Para peneliti juga tidak mengatakan apakah vaksinasi terhadap COVID-19 berdampak pada kondisi tersebut.


Perubahan pada 3 Bagian Otak

Pemindaian yang mereka lakukan mengungkap perubahan di beberapa bagian otak setelah seseorang tertular COVID-19, di antaranya:

1. Pengurangan yang lebih besar dalam ketebalan materi sel abu-abu dan kontras jaringan di korteks orbitofrontal dan gyrus parahippocampal.

Korteks orbitofrontal adalah bagian otak yang mengontrol penghargaan, emosi dan fluktuasi suasana hati dan perasaan sedih. Bagian ini juga terlibat dalam fungsi kognitif dan pengambilan keputusan.

Gyrus parahippocampal memainkan peran dalam pengendalian emosi kita serta peran penting dalam pengambilan memori dan kesadaran spasial dan pengolahan. Kami telah melihat gejala depresi, kecemasan, dan "kabut otak" di mana orang rentan terhadap masalah ingatan setelah infeksi COVID-19.

2. Perubahan yang lebih besar pada penanda kerusakan jaringan di daerah yang secara fungsional terhubung ke korteks olfaktorius primer.

Ini adalah bagian dari otak untuk memproses dan persepsi bau; itu juga membantu menghubungkan bau dengan ingatan tertentu dan respons bertahan hidup. Kehilangan indra penciuman menjadi gejala khas COVID-19 dan ini mungkin menjelaskan mengapa demikian.

3. Pengurangan yang lebih besar dalam ukuran otak global, yang pada dasarnya berarti otak partisipan penelitian lebih kecil setelah dites positif COVID-19 dibandingkan ketika dipindai sebelum infeksi.

Seperti diketahui, tidak jarang otak mengalami penyusutan seiring bertambahnya usia. Menurut para peneliti, proses penuaan alami mengakibatkan hilangnya sel abu-abu setiap tahun, rata-rata antara 0,2 persen dan 0,3 persen

Tetapi penelitian tersebut menemukan bahwa, dibandingkan dengan peserta yang tidak terinfeksi, mereka yang tertular COVID-19 – bahkan mereka yang memiliki kasus ringan – kehilangan antara 0,2 persen dan 2 persen di antara pemindaian.

 


Riset Hanya pada Pasien Varian Alpha

Studi ini juga menemukan bahwa peserta yang menderita COVID-19 menunjukkan penurunan efisiensi dan perhatian yang lebih besar ketika melakukan tugas kognitif yang kompleks.

Studi yang dilakukan oleh University of Oxford ini merupakan studi pertama yang mengaitkan langsung antara infeksi COVID-19 dan perubahan di otak.

"Ini memberikan kita penjelasan awal tentang berbagai gejala neurologis yang dikeluhkan oleh orang-orang dengan long COVID, meskipun para peneliti menekankan bahwa diperlukan lebih banyak penelitian."

Belum diketahui apakah perubahan pada otak yang ditunjukkan dalam penelitian ini bersifat jangka panjang atau permanen, atau apakah dampaknya akan sama untuk orang yang lebih muda, yang umumnya (tetapi tidak selalu) mengalami gejala COVID-19 yang lebih ringan.

Karena penelitian dilakukan pada masa dominasi varian Alpha, perlu lebih banyak riset pada mereka yang terinfeksi varian Delta dan Omicron guna melihat apakah perubahan serupa ditemukan.

Melihat waktu penelitian yang dilakukan juga berarti bahwa para peserta kemungkinan besar belum mendapat vaksinasi. Sekarang, dengan begitu banyak orang yang telah divaksinasi, akan berguna untuk mengetahui apakah vaksin menawarkan lapisan perlindungan.

 

Infografis Ayo Jadikan 2022 Tahun Terakhir Indonesia dalam Masa Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Ayo Jadikan 2022 Tahun Terakhir Indonesia dalam Masa Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya