Paparan HIV Tertinggi di Kelompok Pekerja Swasta Kota Bandung

Dari 1991 hingga 2021, data menunjukkan pekerja swasta jadi kelompok terbanyak yang terkena HIV.

oleh Arie Nugraha diperbarui 26 Agu 2022, 09:16 WIB
Diterbitkan 26 Agu 2022, 09:16 WIB
Ilustrasi HIV/AIDS
Ilustrasi HIV di Kota Bandung . (Foto oleh Anna Shvets dari Pexels)

Liputan6.com, Bandung - Pekerja swasta di Kota Bandung menjadi kelompok paling tinggi terpapar oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Diketahui, pekerja swasta yang terpapar HIV sebanyak 31.01 persen, atau setara dengan 1.842 kasus.

Peringkat paparan HIV itu disusul oleh kelompok wiraswasta 15 persen, ibu rumah tangga 11,8 persen yang setara 653 kasus, dan mahasiswa 6,97 persen atau setara 414 kasus.

Besaran angka itu dari jumlah total 5.943 orang berdomisili sebagai warga Kota Bandung.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, terdapat 4.000-an warga lainnya yang ikut serta melakukan skrining HIV di Kota Bandung.

"Database dari Kemenkes di Kota Bandung, yang tes HIV ada 10.800 orang. Kan pelayanan tes HIV ini menggunakan kartu tanda penduduk (KTP), yang asli warga Bandung 6.000-an. Sisanya akan kita sisir lagi," ujar Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung Sis Silvia Dewi kepada Liputan6.com,  Kamis, 25 Agustus 2022.

Silvia mengatakan data itu merupakan akumulasi jumlah kasus dari tahun 1991 hingga 2021. Dalam periode itu, tiap tahun ditemukan 300 - 500 kasus paparan HIV.

Silvia menyebutkan, jika dilihat dari paparan kelompok usia, sebanyak 45 persen usia produktif warga Kota Bandung yaitu 20 - 29 tahun yang terkena paparan HIV.

"Untuk usia 30-39 tahun 34 persen, dan 2,7 persen atau setara 164 orang di rentang usia 0-14 tahun anak terpapar HIV saat ibu hamil," kata Silvia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Penularan HIV Terbanyak

Dalam temuan kasus tersebut, pemicu terbanyak terjadinya penyebarluasan HIV adalah dari hubungan heteroseksual atau perilaku seksual berisiko. Angkanya hampir 40 persen.

Angka paparan melalui hubungan heteroseksual tersebut tiap tahun mengalami kenaikan. Pasalnya masih banyak warga yang kurang menyadari pentingnya datang ke fasilitas kesehatan untuk memeriksa HIV.

"Pemeriksaan HIV penting agar tidak menular ke orang lain, apalagi ke pasangan hidup. Dengan memeriksakan diri, maka paparan HIV akan berhenti di pengidap saja," jelas Silvia.

 


Tidak Ada Gejala

Silvia menerangkan tidak adanya gejala awal yang dirasakan oleh pengidap HIV menjadi faktor lain pengidap beresiko menularkan kembali kepada orang lain atau bahkan pasangannya.

"Yang jadi sedih itu kan HIV/AIDS itu kan terutama HIV-nya enggak ada gejala tuh. Jadi banyaknya orang yang kena HIV tidak tahu kalau dia kena HIV. Akhirnya orang yang tertular enggak sadar kalau ada ibu rumah tangga tertular lalu hamil akhirnya punya anak yang positif," ungkap Silvia.

Namun, berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, sebut Silvia, paparan tertinggi HIV yaitu akibat menggunakan alat atau jarum suntik yang tidak steril.

Seperti diketahui banyak pengidap HIV akibat penggunaan tidak steril jarum suntik. Jumlahnya hampir 40 persen, tetapi sekarang menurun 30, 9 persen.

Agar tidak terus meluas paparan penyakit ini, KPA Kota Bandung tengah berupaya mengedukasi warga dengan adanya kampanye 3 Zero.

"Intinya adanya warga yang ikut mengedukasi masyarakat tahu cara penularannya dan pencegahannya. Karena HIV enggak ada gejala ya," tukas Silvia.

Kampanye 3 Zero itu adalah pada tahun 2030 tidak ada kasus baru HIV, tidak ada pengidap HIV yang meninggal dan tidak ada lagi stigma negatif atau diskriminasi terhadap pengidap HIV.

Alasannya, karena pengidap HIV yang sudah mendapatkan pengobatan, dia akan sehat. Syaratnya adalah minum obat antiretroviral (ARV) setiap hari.

"Insyaallah stoknya ada. Berapa jumlahnya? Harus langsung tanya ke Dinas Kesehatan. Obatnya gratis dibayar pemerintah, di Puskesmas cuma bayar Rp3.000 atau di rumah sakit, harganya gimana harga retribusi. Kalau beli sendiri mah mahal kan, sejuta lebih," ungkap Silvia.

Selain itu agar terlaksana kampanye 3 Zero, dukungan keluarga, teman dan pasangan pengidap HIV sangat penting.

Gunanya agar pengobatan selama 6 bulan menerus tidak putus. Jika pengobatan terus berlangsung, virus nanti akan undetect'

"Kalau undetect akan untransmittable. Sangat kecil menularkan pada pasangan," terang Silvia.

 


Rincian

Berikut data penyebaran HIV/AIDS di Kota Bandung periode 1991 - Desember 2021 dari 5.943 pengidap HIV/AIDS dengan KTP Kota Bandung:

- Swasta: 31.01 persen

- Wiraswasta: 15.32 persen

- Tidak bekerja: 12.44 persen

- Ibu rumah tangga: 11.18 persen

- Lain-lain: 9.45 persen

- Mahasiswa: 6.96 persen

- Tidak diketahui: 6.49 persen

- Pekerja seks: 2.53 persen

- PNS 1.99 persen

- Tenaga medis: 0.56 persen

- Napi: 0.50 persen

- Sopir: 0.46 persen

- TNI Polri: 0.43 persen

- Buruh kasar: 0 persen

 

Data penyebaran HIV/AIDS di Kota Bandung hingga Desember 2021 berdasarkan umur dari 5.943 pengidap HIV/AIDS dengan KTP Kota Bandung:

- 0-14 tahun: 2,76 persen

- 15-19 tahun: 2.09 persen

- 20-29 tahun: 44.84 persen

- 30-39 tahun: 34.16 persen

- 40-49 tahun: 10.17 persen

- 50 tahun ke atas: 4.21 persen

- Tidak diketahui: 1.78 persen

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya