Liputan6.com, Jakarta Lonjakan kasus COVID-19 sudah terjadi sejak lebih dari sepekan terakhir. Pada 3 November 2022, kasus positif baru tercatat sebanyak 4.951 orang.
Menurut Ketua Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Erlina Burhan, lonjakan kemungkinan terjadi karena protokol kesehatan yang longgar sedangkan acara-acara tatap muka atau offline mulai banyak.
Baca Juga
“Kenapa kasusnya meningkat? Bisa jadi satu karena kita makin longgar (protokol kesehatan), kedua kita lupa mengawasi atau melindungi orang-orang berisiko tinggi seperti lanjut usia (lansia) dan komorbid. Jadi mungkin karena belakangan kasus menurun, jadi lupa melindungi mereka,” kata Erlina dalam konferensi pers daring, Kamis (3/11/2022).
Advertisement
Di sisi lain, aktivitas kehidupan sudah nyaris normal, lanjut Erlina. Hal ini juga diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya lonjakan kasus COVID-19.
“Orang sudah berkumpul beramai-ramai, kegiatan rapat, kegiatan offline di mana-mana, acara-acara gathering di mana-mana dan lupa dengan protokol kesehatan.”
Terkait hal ini, epidemiolog sekaligus peneliti keamanan dan ketahanan kesehatan global Dicky Budiman memberi tanggapan. Menurutnya, dalam setiap ajang besar yang akan melibatkan banyak orang harus ada analisis risiko dari kegiatan tersebut.
“Sebetulnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah punya pedomannya, check list-nya, dan ini yang harus digunakan dan dilakukan,” ujar Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara belum lama ini.
“Jangankan saat pandemi seperti ini, sebelum pandemi pun acara-acara besar seperti ajang sepak bola dan lain-lain itu perlu analisa risiko,” tambahnya.
Contoh Analisis Risiko Ajang Besar
Dicky juga menyampaikan bahwa dirinya pernah melakukan analisis risiko pada ajang besar yang melibatkan banyak orang yakni pemilihan kepala daerah atau Pilkada.
“Saya analisis Pilkada ini risikonya besar sekali dan akan menyebabkan lonjakan kasus COVID-19, dan ini terbukti. Bukan artinya kita tidak boleh menggelar sebuah ajang, bisa diadakan tapi yang namanya kapasitas, masker, diupayakan di luar ruangan itu menjadi syarat yang tetap harus dijadikan acuan di situasi pandemi.”
Ia pun mengingatkan, orang-orang yang terlibat dalam acara, baik tamu maupun pengisi acara bisa saja merupakan penyintas COVID-19 yang bahkan sempat dua kali terinfeksi. Sekitar 20 persen dari para penyintas bisa saja mengalami penurunan kondisi tubuh setelah terinfeksi. Baik berupa penurunan fungsi paru atau fungsi jantung.
“Nah itu akan menempatkan mereka dalam kondisi yang berisiko tinggi.”
Advertisement
Selain Potensi Penularan
Dicky juga menyinggung soal kejadian desak-desakan di Itaewon, Korea Selatan yang menelan ratusan korban. Menurutnya, analisis risiko suatu ajang juga penting untuk menentukan kapasitas suatu tempat dengan jumlah orang yang bisa hadir.
Bukan hanya penularan COVID-19 yang menjadi kekhawatiran, tapi juga over capacity yang membuat situasi tidak kondusif. Ditambah dengan kondisi para pengunjung yang kemungkinan sudah menjadi penyintas COVID-19 sehingga tidak memiliki kondisi paru-paru yang prima.
“Kejadian di Itaewon dan di beberapa negara termasuk Indonesia itu tidak bisa dilepaskan dari kondisi para peserta ajang itu yang sudah tidak seperti sebelumnya, artinya sudah mulai terganggu (organnya).”
“Itulah yang menyebabkan potensi-potensi lahirnya insiden kesulitan bernapas ketika situasi begitu padat dan lain sebagainya itu bisa terjadi bahkan sampai serangan jantung. Ini yang harus jadi pemahaman dari penyelenggara dan pemberi izin bahwa ada enggak mitigasi, kesiapan, dan antisipasinya.”
Pesan Erlina Jelang Natal dan Tahun Baru
Di sisi lain, mengingat tren kenaikan kasus sedang terjadi, maka Erlina berpesan kepada masyarakat untuk mulai berhati-hati ketika hendak menggelar suatu acara atau kumpul-kumpul menjelang libur Natal dan Tahun Baru.
“Ada baiknya mempertimbangkan untuk mengurangi jumlah orang ketika ingin berkumpul. Kalau kemarin kumpulnya sudah kembali normal, yuk kita kurangi supaya kita bisa mengupayakan terjadinya penurunan kasus.”
Saat kasus melandai, banyak pula orang yang tadinya patuh menerapkan protokol kesehatan menjadi ikut-ikutan longgar, kata Erlina.
“Saya kira protokol longgar ada kontribusinya, tapi kalau karena varian baru itu belum ada bukti karena kasusnya sedikit.”
Seperti disampaikan Erlina sebelumnya, acara offline atau tatap muka kini sudah banyak dilakukan di mana-mana. Ia pun menyampaikan bahwa acara tatap muka bisa saja dilakukan dengan catatan memerhatikan protokol kesehatan.
"Penyelenggaraan acara-acara offline bisa saja, tapi tolong protokol kesehatannya dijaga, di antaranya dengan peserta pakai masker.”
Selain itu, kapasitas pengunjung juga perlu dikurangi dari batas normal dan hindari kelebihan kapasitas.
“Sebaiknya jangan over capacity, kalau bisa dikurangi jumlahnya. Kalau gedung untuk 100 orang maka dalam situasi peningkatan kasus ini mungkin undangannya bisa dikurangi jadi 50 orang. Jangan over capacity, kapasitas yang memadai saja sebaiknya dikurangi,” pungkasnya.
Advertisement