Stunting Ancam Masa Depan Bangsa, Akademisi Kuatkan Edukasi di Masyarakat

Stunting merupakan permasalahan gizi nasional yang harus mendapatkan perhatian khusus. Dampak stunting dapat mengancam masa depan Indonesia dan bisa menghambat pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 14 Nov 2022, 12:00 WIB
Diterbitkan 14 Nov 2022, 12:00 WIB
Ilustrasi anak-anak dan risiko stunting
Ilustrasi anak-anak dan risiko stunting

Liputan6.com, Jakarta - Stunting merupakan permasalahan gizi nasional yang harus mendapatkan perhatian khusus. Dampak stunting dapat mengancam masa depan Indonesia dan bisa menghambat pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).

Studi Status Gizi Indonesia menunjukkan, pada 2021 prevalensi balita stunting di Indonesia sebesar 24,4 persen.

Salah satu provinsi yang juga memiliki prevalensi stunting yang tinggi adalah Jawa Barat (24,5 persen). Angka ini masih jauh lebih tinggi dari batas toleransi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 20 persen untuk stunting. Di provinsi ini, Kabupaten Bogor menempati urutan ke-7.

Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Tenjolaya, Bogor, Febriyanti Safitri, S.Gz., mengungkapkan bahwa telah banyak upaya yang dilakukan dalam mencegah dan menanggulangi stunting. Namun, keterbatasan tenaga kesehatan di puskesmas menjadi salah satu hambatannya.

Selain itu, banyaknya faktor risiko yang dapat memengaruhi stunting menunjukkan bahwa upaya penanganan stunting ini harus dilakukan dengan kerja sama dan lintas sektor.

Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi stunting, di antaranya kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan, dan perilaku merokok.

Sebuah riset yang dilakukan oleh Tim Pengabdian Masyarakat Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG-UI), menemukan bahwa anak-anak yang tinggal di rumah tangga dengan orangtua perokok cenderung memiliki pertumbuhan lebih lambat. Ini terkait dengan berat dan tinggi badan anak jika dibandingkan mereka yang tinggal di rumah tangga tanpa orangtua perokok.

Orangtua Perokok Ganggu Pertumbuhan Anak

Tim Pengabdian Masyarakat Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG-UI)
Tim Pengabdian Masyarakat Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG-UI). Foto: Dok Pribadi.

Menurut Ketua Tim Pengabdian Masyarakat SKSG-UI Dr. Renny Nurhasana, anak-anak dari orangtua perokok kronis memiliki pertumbuhan berat badan secara rata-rata lebih rendah 1,5 kg.

“Dan pertumbuhan tinggi badan secara rata-rata lebih rendah 0,34 cm dibanding dengan anak-anak dari orangtua yang tidak merokok,” ujar Renny mengutip keterangan pers yang diterima Health Liputan6.com Kamis (10/11/2022).

Di sisi lain, pajanan asap rokok terhadap ibu hamil ataupun langsung kepada anak menyebabkan kerentanan penyakit kronis serta lingkungan yang tidak sehat. Hal ini juga berdampak pada keparahan kondisi anak yang stunting.

Konsumsi rokok juga terbukti menyebabkan kemiskinan pada keluarga. Banyak dari keluarga yang lebih mementingkan beli rokok ketimbang kebutuhan pokok keluarga. Fenomena ini pun ditemukan di Desa Cibitung, Bogor berdasarkan pengakuan warga setempat.

Renny pun melakukan sosialisasi di Kabupaten Bogor, khususnya di Desa Cibitung Kecamatan Tenjolaya, lantaran lokasi ini masih memiliki berbagai permasalahan kesehatan. Salah satunya, banyak masyarakat yang belum mengetahui kaitan antara perilaku merokok dengan stunting. Di sana belum ada media edukasi terkait bahaya perilaku merokok dengan stunting. Rata-rata anak di Kabupaten Bogor mulai merokok di usia 10 hingga 14 tahun.

Dibantu Kader

Ketua Kader Desa Cibitung, Siti Komariah, menyampaikan bahwa sosialisasi terkait materi ini baru pertama kali didapatkan.

“Saya akhirnya sadar, perilaku merokok ternyata tidak hanya berbahaya bagi kesehatan, tetapi juga bisa menyebabkan stunting yang akhirnya bisa berdampak dengan kecerdasan anak,” kata Siti.

“Ini tantangan baru bagi kami kader di sini, untuk sosialisasi ke masyarakat. Intervensi ini minimal dimulai dari keluarga,” tambahnya.

Salah satu tindak lanjut nyata setelah sosialisasi berlangsung adalah kader akan meneruskan informasi kepada warga, terutama remaja, ibu hamil, dan ibu yang memiliki balita. Selain itu, kader sepakat untuk memiliki program penerapan rumah tanpa asap rokok pada keluarga di Desa Cibitung. Tim Pengmas UI membagikan stiker rumah tanpa asap rokok kepada kader, untuk mendukung rencana tindak lanjut tersebut.

“Berikutnya, kader akan melaporkan hasil sosialisasi dan hasil rumah tanpa asap rokok demi menciptakan lingkungan, khususnya Desa Cibitung menjadi pemukiman sehat yang ramah lingkungan bebas asap rokok. Dimulai dari dalam rumah, yang diharapkan dapat meluas ke seluruh bagian desa,” jelas Renny.

“Apalagi Kabupaten Bogor juga sudah memiliki Peraturan Daerah mengenai Kawasan Tanpa Rokok. Hal ini harus terus didorong untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dari rokok serta mengurangi faktor risiko stunting yang berasal dari perilaku merokok,” imbuhnya.

Harapan Renny

Renny berharap dari adanya sosialisasi dan rencana tindak lanjut ini, warga menjadi paham dan sadar bahwa ada kaitan antara perilaku merokok dan stunting.

Dengan begitu, warga bisa menghindari konsumsi rokok dan sadar bahwa menjaga udara tetap bersih adalah hal yang penting.

“Yang tidak kalah penting, diharapkan warga mendapat dorongan agar mengalokasikan uang belanjanya untuk kebutuhan pokok dan bermanfaat bagi keluarga, bukan untuk membeli rokok. Pencegahan dan pengendalian perilaku merokok diharapkan turut mengurangi prevalensi stunting.”

“Sehingga, target RPJMN Tahun 2020-2024, yaitu menurunkan prevalensi stunting pada balita menjadi 14 persen dan persentase perokok penduduk usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen dapat tercapai,” harap Renny.

Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi
Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya