Liputan6.com, Jakarta - Apabila status darurat COVID-19 Indonesia dicabut, terdapat perubahan-perubahan kebijakan dalam hal protokol kesehatan seperti penggunaan masker dan vaksinasi COVID. Perubahan ini menandakan bahwa situasi COVID bukan lagi direspons sebagai kedaruratan.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Mohammad Syahril memaparkan, pemakaian masker setelah status darurat COVID-19 nantinya, sudah tidak lagi menjadi kewajiban. Masker akan berganti menjadi suatu kebutuhan.
Baca Juga
"Sebetulnya, kewajiban pemakaian masker itu setelah dicabut -- status darurat -- ya nanti masker ini bukan lagi menjadi suatu kewajiban bagi masyarakat untuk memenuhi persyaratan-persyaratan, tetapi merupakan suatu kebutuhan," jelas Syahril saat Press Conference: Update Perkembangan COVID-19 di Indonesia pada Selasa, 9 Mei 2023.
Advertisement
Pemakaian Masker Menjadi Suatu Kebutuhan
Dalam hal ini, menyesuaikan kondisi masing-masing individu. Ketika sakit atau berada di dalam kerumunan, maka dipersilakan memakai masker sesuai kesadaran pribadi.
"Kalau dia sakit harus pakai, kemudian kalau kontak erat kan ya terus pakai. Lalu di kerumunan ya dia sebaiknya pakai," terang Syahril.
"Jika nanti ini (pemakaian masker) tidak lagi menjadi suatu persyaratan, oh kalau masuk mall harus pakai masker, ya tidak. Tapi ini menjadi suatu kebutuhan dari masyarakat ya."
Vaksinasi COVID Tak Lagi Gratis
Selanjutnya, perihal vaksinasi COVID juga tak lagi gratis seperti halnya sekarang. Nantinya, mekanisme vaksinasi COVID akan masuk ke dalam vaksinasi pemerintah dan pembiayaannya dapat berbayar.
"Termasuk vaksinasi ya, jadi modelnya tidak lagi seperti sekarang, vaksinasi gratis semua ya. Begitu nanti dicabut, maka ini pembiayaannya akan masuk mekanisme dalam pembayaran seperti yang ada," Mohammad Syahril melanjutkan.
Pembiayaan Masuk ke Mekanisme Pembayaran
Disampaikan kembali oleh Syahril, begitu nanti status darurat COVID-19 di Indonesia dicabut, maka semua keadaan-keadaan yang termasuk aturan kewajiban-kewajiban, misal masker dan vaksinasi bergeser.
Selain itu, pembiayaan COVID untuk vaksin dan perawatan akan masuk ke dalam mekanisme pembayaran, termasuk ke dalam asuransi kesehatan atau BPJS Kesehatan.
"Pak Menko PMK sudah mengungkapkan tentang pembiayaan pasca dicabutnya status kedaruratan. Tentu saja masuk ke dalam mekanisme pembayaran yang sudah ada seperti sekarang ini, contohnya masuk BPJS atau masuk asuransi atau dengan berbayar sendiri," imbuh Syahril.
Advertisement
Dampak Pencabutan PHEIC WHO
Epidemiolog sekaligus peneliti Global Health Security Policy Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman membeberkan, salah satu dampak dari pencabutan status darurat COVID-19 atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Hal ini berkaitan dengan meluasnya kekuasaan bagi setiap negara untuk merespons pandemi COVID-19.
"Intinya, pencabutan PHEIC ini lebih memberikan keleluasaan, otorisasi pada masing-masing negara untuk merespons COVID-19," ujar Dicky melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Sabtu (6/5/2023).
"(Entah itu) tetap dalam status kedaruratan atau mereka masukan (COVID-19) dalam program pengendalian penyakit secara umum."
Negara Punya Kewenangan Respons COVID-19
Hal tersebut dikarenakan, menurut Dicky, dengan pencabutan PHEIC, tiap negara jadi punya kewenangan sendiri untuk merespons bagaimana pandemi COVID-19 akan disikapi ke depannya.
"Negara-negara itu punya keleluasaan lebih atas itu, karena kalau PHEIC-nya tidak dicabut, mau tak mau akan terus darurat. Namun, bahwa dia masih pandemi, ya iya dalam konteks saat ini. Tapi sekali lagi, sudah tidak seperti status yang akut dua atau tiga tahun awal pandemi," lanjutnya.
PHEIC Jadi Alarm Public Health
Lebih lanjut, Dicky Budiman mengungkapkan, bahwa status kedaruratan seperti Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) WHO, sebenarnya dibuat hanya untuk menandakan jikalau ada suatu penyakit yang sedang mewabah di dunia.
"PHEIC itu sebetulnya memberi tanda atau menjadi standar status bahwa suatu penyakit mewabah, extraordinary event yang menyebabkan dan berdampak pada semua negara di dunia, menyebar secara global, melewati batas teritorial masing-masing negara," ujarnya.
"Ini merupakan juga suatu alarm public health yang paling tinggi, dan kehadiran satu wabah ini memerlukan respons, kolaborasi, kerja sama global. Itu kenapa PHEIC itu hadir."
Pandemi Masih Tetap Ada
Dengan kata lain, pandemi COVID-19 secara keseluruhan sebenarnya berbeda dengan status kedaruratan atau PHEIC. Sebab, hingga kini pandemi masih tetap ada dan tidak menghilang.
"Status pandemi itu bahkan sampai sekarang WHO sendiri tidak punya kewenangan menetapkan, tidak ada otorisasinya dalam konferensi WHO bisa menyatakan 'Oh ini pandemi', belum ada seperti itu," pungkas Dicky.
Advertisement