Liputan6.com, Jakarta - Salah satu upaya pemerintah dalam memerangi stunting adalah program Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT).
Menurut Direktur Analis Dampak Kependudukan BKKBN Fahruddin, DAHSAT merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam upaya pemenuhan gizi seimbang. Khususnya bagi keluarga berisiko stunting melalui sumberdaya lokal yang dipadukan dengan sumberdaya atau kontribusi kemitraan lainnya.
Baca Juga
Dalam program ini diyakini bahwa makanan sehat tidak harus mahal. Pasalnya, bahan-bahan makanan sehat bisa didapat dari hasil bumi daerah masing-masing atau sumber pangan lokal.
Advertisement
Lantas, apakah makanan-makanan tradisional atau makanan khas daerah seperti empek-empek Pelembang bisa disertakan dalam saran pangan lokal yang sehat?
Menurut Guru Besar Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Ali Khomsan, empek-empek atau pempek adalah makanan bergizi.
“Empek-empek sebagai makanan bergizi itu pasti, yang harus dipahami bahwa empek-empek itu mayoritas atau dominannya adalah karbohidrat. Ikannya itu ditambahkan, tapi jumlahnya tidak terlalu banyak,” kata Ali kepada Health Liputan6.com dalam rangkaian peringatan Hari Keluarga Nasional 2023 bersama Nestle dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Palembang, Sumatera Barat, Rabu (5/7/2023).
“Jadi jangan menganggap bahwa makan empek-empek itu nanti bisa mengatasi stunting karena stunting itu adalah persoalan protein, persoalan kalori. Saya tidak yakin kalau ikan dalam empek-empek itu bisa mendongkrak asupan protein hewani,” tambahnya.
Berada di Puncak Pedoman Gizi Seimbang
Terkait bumbu empek-empek yakni cuko, Ketua Kluster Stunting Asosiasi Profesor Indonesia itu mengatakan bahwa ini terbuat dari kecap dan cuka. Dalam pedoman gizi seimbang, jenis makanan ini berada di puncak.
“Di puncak itu apa? Artinya dikonsumsi jangan banyak-banyak. Gula, garam, dan lemak itu dikonsumsi dalam jumlah sedikit,” kata Ali.
Maka dari itu, alih-alih memilih empek-empek dan cuko yang berada di puncak pedoman gizi seimbang, Ali lebih menyarankan konsumsi ikan seluang.
“Jadi makanan-makanan lokal kalau di Palembang itu yang saya suka tentu saja ikan seluang. Ikan seluang itu kan sangat nutritious, proteinnya tinggi, dan IsnhaAllah anak-anak juga suka. Selain itu, menjadi pendongkrak (gizi) yang bagus,” jelas Ali.
Advertisement
Menurut Penelitian di Yogyakarta
Ali pun menyertakan bukti ilmiah berupa penelitian di Jogjakarta yang membahas soal manfaat ikan.
“Karena di sana (Yogyakarta) trademark-nya adalah ikan gabus, maka ibu-ibu hamil tuh dikasih ikan gabus untuk mencegah stunting.”
“Dan ternyata, panjang tungkai anak menjadi lebih baik ketimbang anak yang tidak diberi ikan gabus. Jadi, tungkai pada saat janin itu menjadi predictor apakah nanti bisa stunting atau tidak. Dan itu diukur dengan USG aja bisa ketahuan.”
Jadi, lanjut Ali, yang dimaksud pangan lokal dalam program DASHAT itu adalah sumber pangan alami yang seperti disebutkan di atas. Jika suatu daerah memiliki banyak ikan seluang maka bisa dimanfaatkan, begitu pula dengan ikan gabus.
“Karena sekarang adalah tahunnya pangan hewani, maka kita tetap harus galakkan yang namanya pangan hewani.”
Anggaran Desa untuk Stunting
Dengan anggaran desa yang hampir mencapai Rp.2 miliar, maka sepatutnya ini bisa membantu.
Menurut Ali, jika dialokasikan Rp.60 juta untuk memberi pangan hewani, maka itu hanya sekian persennya saja.
“Kalau tidak dilakukan, maka sekarang ini yang terjadi adalah dana desa dipakai untuk membiayai posyandu tapi secukupnya, tidak memiliki daya ungkit yang bagus,” ucap Ali.
“Daya ungkit yang bagus itu sehari sebutir telur, itu yang harus dilakukan. Kemarin Bapak Presiden (Jokowi) mengkritisi, masa anggaran Rp10 miliar Rp2 miliarnya untuk beli telur dan Rp8 miliarnya untuk perjalanan dinas.”
Ali menekankan, program stunting seharusnya mengarah kepada anak dan ibu hamil agar mereka memperoleh makanan bergizi.
“Kalau kita bicara program hulu seharusnya dari anak usia SMA, kemudian catin (calon pengantin), kemudian ibu hamil,” tutup Ali.
Advertisement