Liputan6.com, Jakarta Yoon Suk Yeol, Presiden Korea Selatan yang dimakzulkan, resmi ditangkap oleh aparat setelah upaya pengamanan ketat di kediamannya di Seoul pada Rabu, (15/1/2025). Penangkapan ini terjadi setelah Yoon menghindari investigasi selama berminggu-minggu dengan barikade di sekitar kompleks rumahnya. Lebih dari 1.000 petugas keamanan dikerahkan untuk melaksanakan tugas ini.
Yoon menghadapi dakwaan pemberontakan yang berat akibat deklarasi darurat militer pada Desember 2024, yang hanya berlangsung selama enam jam sebelum dicabut. Mengutip AFP, jika terbukti bersalah, ia dapat dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Upaya Menghindari Penangkapan
Sejak awal tahun 2025, Yoon telah menggunakan berbagai cara untuk menghindari penangkapan. Pada 3 Januari, upaya pertama pihak berwenang menemui kebuntuan setelah pasukan keamanan yang loyal kepadanya menahan akses ke kediaman presiden.
Langkah dramatis diambil sebelum fajar, ketika tim penyelidik kembali mengepung area tersebut dengan strategi baru. Beberapa petugas bahkan harus memanjat tembok pembatas untuk memasuki area utama kediaman. Akhirnya, setelah kebuntuan selama lima jam, Yoon menyerahkan diri.
"Saya memutuskan untuk menanggapi Kantor Investigasi Korupsi," kata Yoon Suk Yeol, dikutip dari Yonhap.
Ia menambahkan, tidak menerima legalitas investigasi tersebut tetapi mematuhinya untuk mencegah pertumpahan darah yang tidak diinginkan. Yoon meninggalkan kediamannya dalam sebuah konvoi dan dibawa ke kantor Kantor Investigasi Korupsi. Para penyidik mulai menginterogasi Yoon tak lama setelah penangkapannya.
Advertisement
Reaksi Publik dan Pendukung Yoon
Penangkapan Yoon memicu reaksi besar dari para pendukungnya, yang memprotes di luar kediamannya dengan membawa bendera dan meneriakkan slogan seperti “Surat perintah ini ilegal!” Protes ini menjadi semakin emosional ketika polisi mulai mengamankan area tersebut.
Sementara itu, Partai Demokrat Korea, sebagai oposisi utama, menyebut langkah ini sebagai kemenangan untuk demokrasi dan keadilan di Korea Selatan. Di sisi lain, para pendukung Yoon dari Partai Kekuatan Rakyat menyatakan bahwa penangkapan ini adalah langkah yang melanggar hukum.
Dakwaan dan Potensi Hukuman Berat
Yoon didakwa dengan pemberontakan, sebuah tuduhan serius dalam sistem hukum Korea Selatan. Tuduhan ini terkait dengan penggunaan kekuatan militer tanpa persetujuan parlemen, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai ancaman terhadap tatanan demokrasi negara tersebut.
Menurut hukum Korea Selatan, pelanggaran seperti ini dapat dihukum dengan hukuman mati. Namun, langkah akhir ada pada keputusan pengadilan dan proses yang mungkin memakan waktu beberapa bulan.
Advertisement
Implikasi Politik dan Masa Depan Korsel
Penangkapan Yoon tidak hanya mengguncang dunia politik tetapi juga memengaruhi stabilitas pemerintahan Korea Selatan. Jika pengadilan memutuskan untuk menguatkan pemakzulan, maka pemilu presiden baru harus diadakan dalam waktu 60 hari.
Sementara itu, parlemen dan lembaga negara lainnya telah mulai fokus pada stabilisasi politik untuk menghindari krisis lebih lanjut. Ketua Parlemen, Woo Won-shik, menyatakan, pentingnya persatuan untuk memulihkan kepercayaan publik dan mengatasi masalah ekonomi negara.
1. Mengapa Yoon Suk Yeol ditangkap?
Yoon ditangkap karena melakukan deklarasi darurat militer yang dianggap ilegal dan berpotensi sebagai pemberontakan.
Advertisement
2. Apa ancaman hukuman bagi Yoon Suk Yeol?
Jika terbukti bersalah atas dakwaan pemberontakan, Yoon dapat menghadapi hukuman mati atau penjara seumur hidup.
3. Bagaimana respons publik terhadap penangkapan ini?
Pendukung Yoon memprotes keras penangkapannya, sementara oposisi melihat langkah ini sebagai kemenangan untuk demokrasi.
Advertisement
4. Apa langkah selanjutnya dalam proses hukum?
Yoon akan ditahan selama 48 jam untuk investigasi awal. Proses pengadilan dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum keputusan final dibuat.
5. Apa dampaknya bagi politik Korea Selatan?
Penangkapan ini dapat menyebabkan pemilu presiden baru jika pemakzulan Yoon dikonfirmasi oleh pengadilan. Ini juga memicu perdebatan tentang kekuatan eksekutif di negara tersebut.
Advertisement