Dokter Minta Jemaah Calon Haji Risiko Tinggi Perhatikan Hal Ini

Jemaah calon haji diminta tetap mengonsumsi obat-obatan yang sudah diberikan oleh dokter di Indonesia.

oleh Liputan6.comDevira Prastiwi diperbarui 13 Agu 2018, 09:24 WIB
Diterbitkan 13 Agu 2018, 09:24 WIB
Jemaah Calon Haji Indonesia
Para kiai memberikan dukungan bagi jemaah calon haji asal Indonesia yang sedang sakit. (MCH Indonesia)

Liputan6.com, Jakarta - Jemaah haji risiko tinggi (risti) dengan penyakit jantung harus mengonsumsi obat yang dibawa dari Indonesia.

Bila tidak bawa, sampaikan ke dokter kloternya sehingga nantinya akan berkoordinasi dengan KKHI (Klinik Kesehatan Haji Indonesia) dr Muhammad Gibran Fauzi Harmani,  sebagai salah satu spesialis penyakit jantung yang bertugas di KKHI Makkah. Menurut Gibran, jemaah risti yang wafat lebih dari 50 persen didominasi oleh penyakit jantung.

"Pada saat berangkat, pasien sudah memiliki kondisi penyakit kardiovaskular sebagai risiko yang tinggi. Namun terkontrol dan stabil. Kestabilan inilah yang harus dijaga," ujar Gibran, melalui keterangan tertulis dari Kementerian Kesehatan yang diterima Liputan6.com, Senin (13/8/2018).

Untuk itu, lanjut dia, jemaah calon haji diminta tetap mengonsumsi obat-obatan yang sudah diberikan oleh dokter di Indonesia. "Obat merupakan hal penting dalam pengendalian penyakit jantung," ucapnya.

Gibran memaparkan, penyakit kardiovaskular bisa dikontrol dengan obat dan menjaga pola hidup sehat. Selain itu, jauhi pencetusnya untuk menghindari kondisi memburuk.

Menurutnya, ada empat faktor utama pencetus jemaah dapat mengalami perburukan. Pertama, kata dia, pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan yang diresepkan di Indonesia dengan menghentikan sendiri konsumsi obat tanpa konsultasi ke dokter. Biasanya, menurut Gibran, karena alasan takut sering buang air kecil sehingga mengganggu ibadah.

"Pasien jantung diberikan obat untuk meningkatkan kencing. Karena takut banyak kencing pada saat ibadah, pasien menghentikan sendiri tanpa konsultasi ke dokter," paparnya.

Lebih lanjut, Gibran mengatakan, terdapat perbedaan antara ketika pasien melakukan aktivitas di luar pondokan dengan aktivitas di dalam pondokan haji.

"Apabila pasien keluar pondokan maka kita tidak melakukan pembatasan cairan untuk mencegah dehidrasi pasien dengan kardiovaskular, kecuali sudah timbul keluhan seperti sesak dan kaki bengkak. Namun semua obat-obatan harus terus di minum," kata Gibran.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Faktor Perburukan Lain

Jemaah Haji
Tim Gizi juga membantu menyuapi jemaah haji yang sakit dan tidak mampu makan sendiri. (Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI)

Kedua, lanjut Gibran, jemaah tidak membawa obat-obatan yang selama ini rutin diminum di Indonesia. Menurutnya, apabila pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan tersebut ditambah dengan faktor stres, faktor kelelahan, dan faktor fisik, maka akan memicu tekanan darah yang lebih tinggi, gula darah yang tidak terkontrol, juga penumpukan cairan yang menyebabkan perburukan.

"Bila tidak bawa obat, sampaikan ke dokter kloter. Nanti akan disiapkan dari dokter sektor ataupun KKHI," terang dia.

Ketiga, lanjutnya, jemaah haji risti penyakit jantung memaksakan untuk melakukan aktivitas fisik melampaui batasan yang dianjurkan dokter, baik karena ibadah maupun karena non ibadah.

"Pasien harus menyadari bahwa dirinya memiliki keterbatasan fisik. Sehingga diharapkan untuk memprioritaskan aktivitas kepada yang wajib dan tidak memaksakan diri untuk melakukan aktivitas yang tidak wajib atau bahkan tidak berhubungan dengan ibadah, seperti tidak melakukan umrah sunnah secara berulang ulang, memaksakan untuk arbain, bahkan bila perlu Tawaf dan Sai bisa menggunakan kursi roda," papar Gibran.

Selain itu, menurut Gibran, aktivitas non-ibadah juga sering dilanggar oleh jemaah dengan penyakit jantung. Seperti, kata dia, pada saat pasien menunggu lift terlalu lama, maka pasien memaksakan diri naik tangga.

"Apabila jemaah sudah hampir merasakan sesak napas atau tersengal-sengal saat berjalan/beraktivitas maka agar segera istirahat dan menghentikan aktivitas terlebih dahulu," tambahnya.

Keempat, sambungnya, faktor lingkungan dan iklim bisa menjadi pencetus perburukan. Suhu di Indonesia selalu berkisar antara 20 sampai 38 derajat celcius. Sedangkan suhu di Saudi lebih tinggi, bisa mencapai 46 derajat Celcius.

"Kelembaban di Indonesia relatif tinggi yaitu 70 persen, sedangkan di Arab Saudi berkisar 0-20 persen. Hal ini menyebabkan jemaah Indonesia di Arab Saudi rentan mengalami masalah saluran pernafasan," tuturnya.

Berdasarkan para pakar, lanjut Gibran, ketika kelembaban 0 persen, maka yang terjadi adalah kerusakan sel-sel lapisan di pernapasan sehingga memudahkan terjadinya batuk dan infeksi saluran pernapasan.

"Apabila pasien jantung ini mengalami penyakit saluran pernapasan, maka akan mencetuskan perburukan," jelas Gibran. Untuk mengantisipasi perubahan iklim yang ekstrem ini, Gibran menganjurkan jemaah menggunakan alat perlindungan diri, yaitu masker, payung, kacamata hitam, dan semprotan air ketika keluar dari pondokan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya