Uniknya Mappatopo, Penyambutan Kepulangan Haji Tradisi Bugis-Makassar

Mappatopo adalah istilah yang digunakan dalam budaya Bugis-Makassar di Indonesia untuk menyebut tradisi atau acara penyambutan haji yang kembali dari menunaikan ibadah haji di Mekah.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Jul 2023, 16:30 WIB
Diterbitkan 02 Jul 2023, 16:30 WIB
Potret jemaah haji Indonesia saling bergandengan saat menuju ke Masjid Nabawi, Madinah atau pulang ke hotel. Mereka saling menjaga, terutama kepada jemaah lansia
Potret jemaah haji Indonesia. (FOTO: MCH PPIH ARAB SAUDI 2023)

Liputan6.com, Jakarta - Ungkapan kebahagiaan bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk. Salah satunya kebahagiaan menyambut kepulangan jamaah haji di Bugis-Makassar.

Mappatopo adalah istilah yang digunakan dalam budaya Bugis-Makassar di Indonesia untuk menyebut tradisi atau acara penyambutan haji yang kembali dari menunaikan ibadah haji di Mekah.

Mappatopo merupakan perayaan yang diadakan oleh keluarga, kerabat, dan masyarakat setempat untuk menyambut kepulangan jemaah haji. Acara ini biasanya dilakukan di kediaman jemaah haji atau di tempat-tempat tertentu seperti masjid atau aula. Mappatopo biasanya diisi dengan berbagai kegiatan seperti pengajian, pembacaan doa, ceramah, pemberian ucapan selamat, dan pesta makan bersama.

Selain itu, dalam acara Mappatopo juga sering diadakan tarian, musik, dan hiburan lainnya untuk merayakan kepulangan jemaah haji dan berbagi kebahagiaan dengan masyarakat. Acara ini menjadi momen penting untuk membagikan pengalaman dan cerita perjalanan haji serta mengucapkan terima kasih kepada Allah atas kesempatan menunaikan ibadah haji.

Mappatopo memiliki makna sosial dan religius yang dalam dalam budaya Bugis-Makassar. Ini juga menjadi kesempatan bagi jemaah haji untuk berbagi pengalaman spiritual mereka dengan masyarakat setempat dan memperkuat ikatan sosial antara jemaah haji, keluarga, dan komunitas.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Tradisi Melempar Topi

Jemaah Haji Bermalam di Muzdalifah
Selama bermalam di Muzdalifah, jemaah memanfaatkan momentum tersebut untuk istirahat dan berzikir dengan membaca talbiyah, membaca Alquran, kalimat tauhid, atau lainnya. (Sajjad HUSSAIN/AFP)

Mappatopo adalah tradisi dalam bahasa Bugis yang secara harfiah berarti "melempar topi". Tradisi ini dilakukan di depan Masjid Agung Sultan Hasanuddin di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Setelah jamaah haji Bugis-Makassar tiba di Makassar setelah menyelesaikan ibadah haji di Makkah, mereka mengenakan pakaian tradisional Bugis yang disebut "baju bodo" dan mengenakan topi khas yang disebut "topi pammase".

Ketika tiba di Masjid Agung Sultan Hasanuddin, mereka akan melakukan beberapa tahapan dalam tradisi Mappatopo. Pertama, mereka mengambil air zamzam yang mereka bawa dari Makkah dan memercikkannya ke topi pammase mereka. Kemudian, dengan melempar topi ke udara, jamaah haji Bugis-Makassar menandakan penutupan perjalanan haji mereka dan menyambut kepulangan mereka ke kampung halaman.

Tradisi Mappatopo ini menjadi momen yang sangat penting dan meriah. Jamaah haji Bugis-Makassar biasanya didampingi oleh keluarga, teman, dan komunitas setempat yang datang untuk menyambut dan menghadiri acara ini. Selama acara Mappatopo, terdapat juga tarian dan musik tradisional Bugis yang mengiringi perayaan, menciptakan suasana yang meriah dan penuh kegembiraan.

Tradisi Mappatopo adalah bagian dari warisan budaya yang kaya di Sulawesi Selatan, yang menggabungkan elemen agama, adat istiadat, dan kebudayaan lokal dalam menyambut kepulangan jamaah haji Bugis-Makassar. Tradisi ini menjadi salah satu cara unik bagi mereka untuk mengekspresikan rasa syukur dan kebahagiaan mereka setelah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air mereka.

 

Mappatoppo Merupakan Kearifan Lokal yang Memiliki Nilai Religius

Sebanyak 24 jemaah haji Indonesia dilaporkan meninggal dunia selama prosesi ibadah di Mina. Sebagian besar jemaah wafat di tenda-tenda Mina, sementara sisanya di Rumah Sakit Arab Saudi (RSAS) (Liputan6.com/Nafiysul Qodar)
Jamaah Haji Indonesia) (Liputan6.com/Nafiysul Qodar)

Dari nu.or.id Mappatoppo adalah sebuah prosesi selesainya ibadah haji yang disimbolkan dengan meletakkan peci atau mengenakan surban pada jamaah laki-laki. Sementara jamaah haji perempuan dengan menggunakan cipo-cipo atau kerudung.

Tradisi ini merupakan simbol transformasi seseorang dari sebelum haji menjadi haji dengan telah menyempurnakan rukun Islam. Dengan transformasi ini diharapkan seseorang yang telah menjalankan rukun Islam yang kelima ini bisa lebih baik lagi di masa-masa yang akan datang. Tradisi ini dilakukan di sektor 2 yang menjadi tempat menginap jamaah dari embarkasi Ujung Pandang.

Direktur Bina Haji Kementerian Agama RI, H Arsad Hidayat mengatakan Mappatoppo merupakan Tasyakur atau rasa bersyukur atas suksesnya beribadah haji dengan seluruh rangkaian ritual ibadah haji. Rasa syukur kepada Allah SWT karena ibadah haji adalah bagian dari kehendak Allah SWT.

Mappatoppo juga adalah penguatan nilai kemanusian, selama dalam kegiatan ritual ibadah haji, saling membantu, tolong menolong dan saling menguatkan, diakhiri dengan saling berjabat tangan ibarat saling memaafkan.

Selain itu, Mappatoppo merupakan bagian dari upaya menguatkan dan melestarikan haji mabrur. Dengan dikukuhkan dan disaksikan seluruh yang hadir, memberi makna tersendiri bagi seseorang yang sukses beribadah haji.

Mappatoppo memberi rasa bahagia tersendiri bagi masyarakat Bugis, Makassar atau Sulawesi Selatan pada umumnya. Ini tradisi yang memiliki nilai religius yang patut dilestarikan dan pelihara tanpa dipertentangkan dengan nilai-nilai ajaran agama.

Mappatopo layaknya hajatan yang diselenggarakan jika diteliti dalam ilmu manasik mungkin tidak ditemukan, namun menurutnya, Mappatoppo merupakan kearifan lokal yang memiliki nilai religius sekaligus menguatkan nilai agama.

"Inilah budaya, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama, maka tidak perlu dipertentangkan, sebaliknya harus saling menguatkan," tandasnya.

Penulis: Nugroho Purbo

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya