Kontroversi Sunat Perempuan, Bagaimana Pandangan Muhammadiyah?

Sunat perempuan bukan bagian tuntunan agama, Ini penjelasan Majelis Tarjih Muhammadiyah.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Apr 2024, 22:30 WIB
Diterbitkan 28 Apr 2024, 22:30 WIB
Ilustrasi muslimah senyum, Islami
Ilustrasi muslimah senyum, Islami. (Photo Copyright by Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Khitan perempuan atau sunat perempuan, memiliki akar yang cukup panjang dalam sejarah dan budaya di berbagai masyarakat di seluruh dunia.

Meskipun tidak secara khusus disebutkan dalam Al-Qur'an, praktik sunat pada perempuan telah dilakukan dalam berbagai bentuk di berbagai budaya sejak ribuan tahun yang lalu.

Pada tingkat sejarah, praktik sunat perempuan diyakini telah ada sebelum munculnya Islam dan terjadi di berbagai budaya di berbagai wilayah seperti Afrika, Timur Tengah, Asia, dan beberapa wilayah lainnya. Praktik ini dapat berasal dari kepercayaan pada kesucian, kebersihan, atau tradisi sosial tertentu.

Praktik ini masih menjadi kontroversi beberapa kalangan. Latar belakang kontroversial sunat perempuan meliputi beragam aspek, yang meliputi konflik antara tradisi budaya dan hak asasi manusia, pertimbangan kesehatan fisik dan emosional perempuan, serta perdebatan tentang validitasnya dalam konteks agama.

Di samping itu, kontroversi juga muncul dari pertimbangan kesehatan, di mana berbagai bentuk sunat perempuan, terutama Female Genital Mutilation (FGM). Dikaitkan dengan risiko serius termasuk infeksi, nyeri kronis, kesulitan menstruasi, masalah reproduksi, dan trauma psikologis.

Sementara dalam konteks agama, ada perdebatan tentang keabsahan sunat perempuan dari sudut pandang teologis dan interpretasi kitab suci, di mana beberapa mazhab Islam mendukungnya sebagai tindakan yang dianjurkan, sementara yang lain menolaknya atau memandangnya sebagai kebiasaan budaya yang tidak bersifat agama.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Pandangan Muhammadiyah

Ilustrasi silaturahmi, muslimah, Islami
Ilustrasi muslimah, Islami. (Photo Copyright by Freepik)

Praktik sunat perempuan menjadi sebuah kontroversi dengan pandangan yang beragam di kalangan ulama. Melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, Muhammadiyah memiliki perspektif terkait isu ini. Majelis Tarjih dengan tegas menyatakan bahwa sunat perempuan bukanlah bagian dari tuntunan agama, melainkan tradisi yang tidak didasarkan pada dalil agama yang jelas.

Mengutip Muhammadiyah.or.id, Majelis Tarjih Muhammadiyah menyoroti perbedaan dengan sunat laki-laki, yang diakui memiliki dasar hukum yang jelas dalam dalil agama. Berbeda dengan sunat laki-laki yang diacu oleh dalil yang eksplisit, tidak ada dalil yang secara spesifik menyebutkan sunat perempuan.

Dengan pertimbangan tiada dalil, Majelis Tarjih mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa sunat perempuan tidak boleh dilakukan. Keputusan ini didasarkan pada penilaian teliti terhadap manfaat dan madharat (kerugian) yang mungkin timbul dari praktik ini. Muhammadiyah berkomitmen untuk menjaga integritas ajaran Islam dan melindungi perempuan dari praktik yang dianggap tidak didukung oleh nash (teks agama).

Pakar kesehatan reproduksi dan kader ‘Aisyiyah Jawa Barat, Dian Indahwati, dalam Gerakan Subuh Mengaji menjelaskan perbedaan yang signifikan antara sunat laki-laki dan perempuan.

Menurutnya, sunat laki-laki, atau yang dikenal sebagai sirkumsisi, merupakan tindakan permanen yang melibatkan pengangkatan seluruh bagian preputium yang menutupi kelenjar penis.

Sunat laki-laki tidak hanya dianjurkan sebagai bagian dari tradisi dan ajaran agama, tetapi juga memiliki dasar medis yang kuat. Tindakan ini dianggap efektif dalam menjaga kebersihan organ genital laki-laki. Pengambilan preputium tidak hanya dilakukan karena alasan keagamaan, tetapi juga untuk alasan medis, seperti memperbaiki kondisi kelainan seperti fimosis, di mana preputium tidak dapat ditarik ke belakang.

Dian Indahwati menekankan bahwa sunat laki-laki juga dapat dilakukan secara elektif dengan tujuan meningkatkan kebersihan, mencegah penyakit menular seksual, termasuk HIV. Pengambilan preputium, dalam konteks ini, dipandang sebagai langkah preventif yang dapat mengurangi risiko tertentu.

Namun, perempuan memiliki anatomi yang berbeda, dan klitoris pada perempuan tidak berfungsi untuk berkemih sehingga tetap terjaga kebersihannya. Dalam esai ini, Dian Indahwati menyatakan dengan tegas bahwa memotong atau melukai klitoris pada perempuan setara dengan melukai atau memotong penis pada laki-laki. Ini menyoroti pentingnya pemahaman akan sensitivitas organ reproduksi perempuan.

Perlu dicatat bahwa, berbeda dengan sunat laki-laki, sunat pada perempuan tidak dianjurkan oleh pakar kesehatan. Dian Indahwati menyatakan bahwa tindakan ini dapat mengakibatkan masalah pada kesehatan reproduksi perempuan. Dengan demikian, esai ini memberikan sudut pandang yang kuat terhadap pentingnya memahami perbedaan anatomi dan dampak kesehatan dari praktik sunat pada laki-laki dan perempuan.

Ini Bahaya Sunat Perempuan

Ilustrasi muslimah senyum, Islami
Ilustrasi muslimah senyum, Islami. (Photo Copyright by Freepik)

Sebagai pakar kesehatan reproduksi, Dian Indahwati juga merinci dampak segera dan jangka panjang, termasuk dampak psikologis yang sering diabaikan dalam praktik sunat perempuan.

Sirkumsisi pada laki-laki sering dilakukan dengan menggunakan obat bius atau anestesi untuk mengurangi rasa sakit. Berbeda dengan itu, sunat pada perempuan, atau yang dikenal sebagai P2GP (Pemotongan Genital Perempuan), kata Dian Indahwati biasanya tidak melibatkan penggunaan obat bius. Hal ini menyebabkan perempuan mengalami nyeri yang hebat selama prosedur.

Organ genital eksterna perempuan memiliki pembuluh darah yang banyak, sehingga tindakan P2GP dapat menimbulkan perdarahan hebat. Jika luka tidak dirawat dengan baik, risiko infeksi, pembengkakan jaringan, dan kesulitan berkemih dapat muncul.

P2GP juga melibatkan pemotongan struktur genital seksual yang sensitif, termasuk glans klitoris dan sebagian labia minora. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan respon dan kepuasan seksual. Selain itu, pembentukan jaringan parut pada vulva dapat menyebabkan nyeri, terutama saat berhubungan seksual. Dampak jangka panjang ini menyoroti betapa kompleksnya konsekuensi dari praktik sunat perempuan terhadap kesehatan seksual perempuan.

Selain dampak fisik, P2GP juga menciptakan pengalaman traumatis bagi anak perempuan atau perempuan yang menjalaninya. Dian Indahwati menekankan bahwa aspek psikologis ini seringkali diabaikan. Pengalaman traumatis ini dapat menyebabkan masalah kesehatan jiwa yang serius, menciptakan beban psikologis yang berkepanjangan.

Dengan menyoroti dampak segera, jangka panjang, dan psikologis, paparan Dian Indahwati ini bertujuan untuk memberikan pemahaman menyeluruh tentang kompleksitas isu sunat perempuan. Kesadaran ini diharapkan dapat membantu masyarakat dan para pembuat kebijakan untuk menggali pemahaman lebih dalam terhadap isu kesehatan dan hak perempuan.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya