Kisah Dzun Nun al-Mishri Taubat karena Seekor Anak Burung dan Pilih Jalan Sufi

Dzun Nun al-Mishri merupakan salah satu sufi agung yang pertama kali menganalisis konsep ma’rifat. Perjalanan tasawufnya sangat menarik dan mengandung banyak nasihat. Begini kisahnya.

oleh Putry Damayanty diperbarui 17 Sep 2024, 07:30 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2024, 07:30 WIB
Mengenang Jejak Jalaludin Rumi
Peringatan wafatnya ulama, penyair dan tokoh sufi ternama, Jalal ad-Din Muhammad Rumi atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Jalaluddin Rumi di Kota kelahirannya, Konya, Turki. (Foto:Liputan6/Luqman Rimadi)

Liputan6.com, Jakarta - Dzun Nun al-Mishri termasuk salah satu sufi agung. Ia menempuh jalan tasawuf berangkat dari jalur yang unik.

Beliau mengawali perjalanan tasawuf bukan karena bertemu seorang mursyid atau pun karena terlatih oleh kerasnya ujian hidup yang sangat dahsyat, melainkan karena seekor burung.

Sebelum menjadi seorang sufi besar, Dzun Nun al-Mishri adalah sosok pemuda yang lalai dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.

Hingga akhirnya ia disadarkan oleh Allah SWT melalui pertemuannya dengan seekor anak burung. Berikut kisah selengkapnya merangkum dari laman NU Online.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

Kisah Taubat Dzun Nun al-Mishr

Perbanyak Taubat
Perbanyak Taubat.

Syekh Abul Qasim al-Qusyairi dalam kitabnya ar-Risâlah al-Qusyairiyyah menjelaskan, sekali waktu Salim al-Magribi menghadiri majelis Dzun Nun al-Mishri.

Lalu ia bertanya padanya, “Wahai Abul Fayd (nama asli Dzun Nun), apa yang membuatmu bertaubat?” “Sesuatu yang menakjubkan, kau takkan mampu mendengarnya,” jawab Dzun Nun seolah memberi teka-teki. “Demi Tuhan yang engkau sembah, ceritakanlah padaku,” pinta al-Magribi.

Lantas Dzun Nun al-Mishri bercerita, “Sekali waktu aku hendak pergi dari Mesir untuk menuju ke sebuah kota, tapi aku tertidur di jalan, tepatnya di sebuah tanah lapang. Begitu aku terbangun dan membuka mata, aku melihat seekor anak burung yang jatuh dari sangkarnya. Tiba-tiba tanah terbuka dan mengeluarkan dua wadah, yang satu terbuat dari emas berisi biji-bijian simsim dan satunya lagi dari perak berisi air. Dari situlah burung kecil itu bisa makan dan minum.” 

“Aku pun berkata, ‘Cukup!’, dan seketika aku bertaubat. Aku terus mengetuk pintu taubat-Nya (tidak berhenti memohon) hingga Allah menerima taubatku” (Abul Qasim al-Qusyairi, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2018], h. 24). 

Begitulah kiranya kisah pertaubatan Dzun Nun al-Mishri. Muhyiddin Muhammad Ali Muhammad bin Umar dalam kitabnya al-Kaukabud Durrî fî Manâqibi Dzinnun al-Mishrî menegaskan, kendati kisah di atas terkesan aneh tapi bisa dibenarkan. Sebab, peristiwa tersebut merupakan bentuk kado indah dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Hal ini sebagaimana juga ditegaskan dalam Al-Qur’an berikut: 

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (QS. Yunus: 63-64) (Muhyiddin Muhammad Ali Muhammad bin Umar, al-Kaukabud Durrî fî Manâqibi Dzinnun al-Mishrî, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, tanpa tahun], h. 14). 

Nasihat Dzun Nun al-Mishri

Memaknai Kecintaan Lewat Gerakan Tarian Sufi
Jalaluddin Rumi menciptakan tarian ini untuk mengekspresikan kesedihannya saat ditinggal mati oleh sang guru yang bernama Syamsuddin Tabriz. Selama tiga hari tiga malam, Rumi menari berputar-putar untuk meluapkan kesedihannya, sekaligus mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. (AP Photo/Amr Nabil)

Salah satu cobaan berat yang sempat dialami Dzun Nun adalah diasingkan oleh ulama-ulama Mesir pada masanya karena dituduh sebagai zindik. As-Sulami dalam kitabnya Miḫanush Shufiyyah mengisahkan.

Dzun Nun adalah orang yang pertama kali di negerinya berbicara tentang runtutan aḫwâl dan tingkatan para wali. Pernyataannya itu kemudian mendapat penolakan dari ulama besar bermazhab Maliki Abdullah bin Abdul Hakam karena dianggap sesat. 

Sejak saat itu Dzun Nun diisukan telah mengatakan sesuatu yang baru dan belum pernah dilakukan oleh ulama-ulama pendahulunya. Ia pun diasingkan oleh ulama-ulama Mesir pada masanya sampai dituduh sebagai seorang zindik (orang yang tersesat dan murtad) (Adz-Dzahabi, Siyaru A’lâmin Nubalâ’, [Beirut: Mu’asssasah ar-Risalah, 1987], juz 11, h. 534). 

Sebagai seorang sufi besar, tentu nasihat-nasihat Dzun Nun al-Mishri lebih banyak diwarnai  oleh corak sufistiknya. Berikut adalah di antara petuahnya. 

الاستغفار جامع لمعان: أولهما: الندم على ما مضى. الثاني: العزم على الترك. الثالث: أداء ما ضيعت من فرض لله. الرابع: رد المظالم في الأموال والأعراض والمصالحة عليها. الخامس: إذابة كل لحم ودم نبت على الحرام. السادس: إذاقة ألم الطاعة كما وجدت حلاوة المعصية . 

Artinya: “Istighfar itu menghimpun banyak arti, yaitu (1) menyesali segala kesalahan yang telah diperbuat, (2) bertekad untuk meninggalkan maksiat, (3) melaksanakan kewajiban-kewajiban Allah yang telah dilalaikannya, (4) mengembalikan hak-hak orang-orang yang telah engkau rampas baik berupa harta, kehormatan, dan kemaslahatannya; (5) menjauhi semua daging dan darah yang dihasilkan dengan cara haram, dan (6) mau merasakan kesakitan dalam berbuat taat sebagaimana ketika merasakan manisnya maksiat.” 

العارف لا يلتزم حالة واحدة بل يلتزم أمر ربه في الحالات كلها 

Artinya: “Orang yang sudah ma’rifat tidak hanya bersedia ditempatkan dalam satu kondisi, tetapi ia mau menjalankan semua perintah Allah dalam segala kondisi” (Adz-Dzahabi, h. 535).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya