Liputan6.com, Jakarta - KH Ahmad Bahauddin Nursalim, yang lebih dikenal sebagai Gus Baha, dalam ceramahnya mengisahkan pandangan unik dari KH Maimoen Zubair atau Mbah Moen terkait penggunaan peci putih oleh para santrinya.
Menurut Gus Baha, Mbah Moen sangat tegas terhadap santrinya yang mengenakan peci putih, karena beliau merasa ada nilai yang lebih mendalam di baliknya. Hal ini kerap menjadi bahan peringatan dan nasihat bagi para santri di pesantrennya.
Gus Baha menyampaikan cerita mengenai pandangan Mbah Moen terhadap peci putih. Mbah Moen, salah satu ulama kharismatik Indonesia, menganggap bahwa penggunaan peci putih bisa memiliki konotasi tertentu yang tidak selalu baik di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat desa.
Advertisement
Mbah Moen pernah menegur santrinya yang menggunakan peci putih, karena menurutnya, peci putih sering dikaitkan dengan simbol orang yang baru pulang haji.
Di kalangan masyarakat desa, menunaikan ibadah haji sering kali membutuhkan pengorbanan besar, seperti menjual sawah atau tanah.
"Wong ndeso dilakoni adl tegalan, adol sawah go mangkat haji, kok mbok disaingi peci putih regi Rp5 ribu," kata Gus Baha, dikutip dari unggahan video di kanal YouTube @SeribuDoa.
Bagi sebagian orang, peci putih dianggap sebagai tanda seseorang telah berhaji, dan Mbah Moen khawatir hal ini bisa melukai perasaan masyarakat desa yang telah berjuang keras untuk menunaikan ibadah haji.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Gus Baha Enggan Pakai Peci Putih
Mbah Moen beranggapan bahwa menyakiti perasaan orang desa, apalagi yang sudah mengorbankan hartanya demi menunaikan ibadah haji, adalah perbuatan yang tidak pantas.
Ia khawatir santrinya, tanpa sadar, bisa membuat orang lain merasa tersinggung atau minder ketika menggunakan peci putih, terutama jika mereka belum memiliki kesempatan untuk pergi haji.
Namun, di sisi lain, Gus Baha juga menjelaskan bahwa ada beberapa kiai yang memakai peci putih karena dianggap sebagai sunnah.
Beberapa ulama percaya bahwa mengenakan peci putih adalah bagian dari tradisi sunnah yang dianjurkan dalam ajaran Islam, sehingga ada kebebasan dalam memakainya. Tetapi, bagi Mbah Moen, peci putih memiliki konteks yang berbeda di mata masyarakat desa.
Gus Baha sendiri mengakui bahwa setelah menunaikan ibadah haji, ia tetap merasa lebih nyaman memakai peci hitam, meskipun telah sah menjadi seorang haji. Hal ini karena kebiasaan sejak kecil, di mana Mbah Moen sering mengingatkan tentang sensitivitas penggunaan peci putih. Bahkan setelah berhaji, Gus Baha tetap mengenakan peci hitam karena merasa sudah terbiasa dan ada nilai yang diwariskan oleh Mbah Moen.
Selain masalah peci, Gus Baha juga mengungkapkan pandangannya tentang penggunaan serban. Dalam tradisi pesantren, mengenakan serban juga memiliki aturan tertentu. Ada kaidah-kaidah yang perlu diikuti sebelum seseorang dianggap pantas mengenakan serban, sehingga Gus Baha memilih untuk tidak memakainya, meskipun itu adalah salah satu sunnah yang dianjurkan.
Advertisement
Gus Baha Juga Gak Mau Pakai Sorban
Gus Baha menjelaskan bahwa dalam beberapa tradisi pesantren, penggunaan serban hanya diperbolehkan setelah mencapai tingkat keilmuan tertentu atau melalui proses yang panjang.
Hal ini menjadi alasan mengapa banyak ulama, termasuk Gus Baha sendiri, lebih memilih untuk tidak memakai serban dalam keseharian, meskipun ada ulama lain yang menganggapnya sebagai amalan sunnah yang baik.
Selain itu, Gus Baha juga menekankan bahwa tidak semua tradisi sunnah harus dijalankan secara harfiah. Ada beberapa sunnah yang lebih relevan dengan konteks masyarakat tertentu, dan ulama seperti Mbah Moen sangat bijak dalam memahami sensitivitas budaya lokal. Inilah yang menjadi alasan Mbah Moen lebih memilih agar santrinya tidak mengenakan peci putih.
Menurut Gus Baha, pandangan Mbah Moen ini mencerminkan kebijaksanaan seorang ulama dalam menjaga harmoni sosial di tengah masyarakat. Mbah Moen tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga mendidik para santrinya untuk lebih peka terhadap perasaan dan kondisi sosial orang-orang di sekitarnya.
Pandangan ini juga menggambarkan betapa pentingnya nilai-nilai kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari. Menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan kesalahpahaman atau menyakiti perasaan orang lain adalah bagian dari etika yang diajarkan oleh Mbah Moen kepada para santri. Kesederhanaan dalam berpakaian, termasuk memilih untuk tidak menggunakan simbol-simbol yang dapat menimbulkan persepsi berlebihan, adalah cerminan dari sikap tawaduk atau rendah hati.
Dalam ceramahnya, Gus Baha juga menceritakan bahwa Mbah Moen sangat menghargai orang-orang desa yang rela mengorbankan banyak hal demi menunaikan ibadah haji. Bagi Mbah Moen, orang-orang desa yang menjalani pengorbanan seperti itu pantas dihormati, dan tidak seharusnya merasa tersinggung atau direndahkan oleh orang lain yang dengan mudah mengenakan simbol-simbol yang dikaitkan dengan ibadah haji, seperti peci putih.
Melalui kisah ini, Gus Baha mengajak para pendengarnya untuk lebih memahami sensitivitas sosial dalam menjalankan ibadah dan amalan sunnah. Tidak semua hal yang sunnah harus diterapkan secara eksplisit, terutama jika ada potensi untuk menimbulkan kesalahpahaman atau melukai perasaan orang lain.
Cerita tentang Mbah Moen ini juga memberikan pelajaran tentang pentingnya menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Dalam menjalankan amalan agama, sikap rendah hati dan peka terhadap kondisi sosial menjadi sangat penting agar tidak menimbulkan ketegangan atau perasaan tidak nyaman bagi orang lain.
Kisah Mbah Moen dan peci putih ini menjadi salah satu dari banyak pelajaran yang disampaikan Gus Baha tentang bagaimana menjaga harmoni antara amalan agama dan kehidupan sosial di masyarakat.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul