Menahan Kentut Ketika Sholat, Boleh atau Tidak? Ini Penjelasannya

Apakah menahan kentut saat sholat itu dibolehkan? Dan bagaimana pengaruhnya terhadap sah atau tidaknya sholat yang dilakukan?

oleh Edelweis Lararenjana Diperbarui 11 Apr 2025, 15:03 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2025, 14:57 WIB
Kentut
Ilustrasi kentut (Foto: Pixabay/Darko Djurin)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Sholat adalah ibadah utama dalam Islam yang menuntut kekhusyukan, ketenangan, dan kesucian diri. Namun, tak jarang saat sedang sholat, seseorang merasa ingin buang angin (kentut), tetapi berusaha menahannya demi menyelesaikan ibadah. Pertanyaannya, apakah menahan kentut saat sholat itu dibolehkan? Dan bagaimana pengaruhnya terhadap sah atau tidaknya sholat yang dilakukan?

Dalam Islam, wudhu merupakan syarat sah sholat. Jika kentut keluar saat sholat, maka wudhu pun batal, dan sholat harus diulang. Tapi bagaimana jika kentutnya tidak keluar, hanya ditahan sampai sholat selesai? Di sinilah pentingnya memahami hukum fiqih terkait kondisi seperti ini, karena bisa memengaruhi kualitas dan keabsahan ibadah seseorang.

Artikel ini akan membahas pandangan para ulama tentang hukum menahan kentut saat sholat, dampaknya terhadap kekhusyukan, dan bagaimana sebaiknya menyikapi situasi seperti ini. Simak penjelasannya agar kita bisa lebih tenang dan yakin dalam menjalankan ibadah harian dengan benar.

Hukum Menahan Kentut Saat Sholat

ciri kentut yang membatalkan wudhu
ciri kentut yang membatalkan wudhu ©Ilustrasi dibuat AI... Selengkapnya

Melansir laman NU Online, isu tentang menahan kentut saat sholat memang tidak dibahas secara eksplisit dalam hadis Nabi Muhammad saw. Namun, yang dapat ditemukan adalah hadis-hadis yang berkaitan dengan kondisi serupa, seperti menahan rasa lapar saat makanan telah disajikan, atau menahan buang air kecil maupun besar ketika sedang melaksanakan sholat.

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْاَخْبَثَانِ

Artinya: "Tidak ada shalat di hadapan makanan, begitu juga tidak ada shalat sedang ia menahan air kencing dan air besar (al-akhbatsani)." (H.R. Muslim)

Yang dimaksud dengan “tidak ada shalat” adalah tidak sempurna shalatnya (seseorang). Sedangkan yang maksud dengan "di hadapan makanan" adalah ketika makanan dihidangkan dan ia ingin memakannya. Begitu juga ketika menahan air kencing dan buang air besar.

Menurut Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, hadis tersebut menunjukkan bahwa shalat dalam kondisi saat makanan telah tersaji dan seseorang ingin memakannya, atau ketika sedang menahan buang air kecil maupun besar, hukumnya adalah makruh.

Makruh berarti perbuatan yang tidak berdosa jika dilakukan, namun lebih utama jika ditinggalkan. Lalu, mengapa shalat dalam keadaan seperti itu dihukumi makruh? Karena kondisi tersebut bisa mengganggu fokus dan mengurangi kekhusyukan dalam shalat. Dengan kata lain, alasan utama kemakruhan itu (illah al-hukm) adalah hilangnya kekhusyuan saat beribadah.

 

Hukum Makruh Jika Waktu Masih Longgar

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang menghilangkan unsur makruh, seperti contoh kasus di atas, dapat diberi hukum yang serupa. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi. Beliau juga menambahkan bahwa pandangan mengenai kemakruhan ini sesuai dengan pendapat para ulama dari mazhab Syafi’i maupun mazhab lainnya, selama waktu pelaksanaan sholat masih cukup luas.

وَفِي رِوَايَةٍ لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْاَخْبَثَانِ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ كَرَاهَةُ الصَّلَاةِ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ الَّذِي يُرِيدُ أَكْلُهُ لِمَا فِيهِ مِنَ اشْتِغَالِ الْقَلْبِ بِهِ وِذِهَابِ كَمَالِ الْخُشُوعِ وَكَرَاهَتِهَا مَعَ مُدَافَعَةِ الْأَخْبَثَيْنِ وَهُمَا الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَيُلْحَقُ بِهَذَا مَا كَانَ فِي مَعْنَاهُ مِمَّا يُشْغِلُ الْقَلْبَ وَيُذْهِبُ كَمَالَ الْخُشُوعِ وَهَذِهِ الْكَرَاهَةُ عِنْدَ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا وَغَيْرُهُمْ إِذَا صَلَّى كَذَلِكَ وَفِي الْوَقْتِ سَعَةٌ

Artinya: "Dalam sebuah riwayat dikatakan: ‘Tidak ada shalat di hadapan makanan, begitu juga tidak shalat sedang ia menahan air kencing dan air besar’. Dalam hadits-hadits ini mengandung kemakruhan shalat ketika makanan dihidangkan dimana orang yang sedang shalat itu ingin memakannya. Hal ini dikarenakan akan membuat hatinya kacau dan hilangnya kesempurnaan kekhusyuan. Kemakruhan ini juga ketika menahan kencing dan buang air besar. Dan di-ilhaq-kan dengan hal tersebut adalah hal sama yang mengganggu hati dan menghilangkan kesempurnaan kekhusyuan. Hukum kemakruhan ini menurut mayoritas ulama dari kalangan kami (madzhab syafii) dan lainnya. Demikian itu ketika waktu shalatnya masih longgar”. (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi, cet ke-2, 1393 H, juz, 5, h. 46)

Berdasarkan penjelasan ini, seseorang yang menahan kentut saat melaksanakan shalat tergolong melakukan perbuatan yang makruh, selama waktu shalat masih mencukupi. Artinya, jika ia membatalkan shalatnya karena ingin buang angin dan masih ada waktu untuk mengulanginya, maka hal tersebut lebih utama dilakukan.

Hal ini dikarenakan menahan kentut selama shalat dapat mengganggu konsentrasi dan mengurangi kekhusyukan dalam beribadah. Oleh karena itu, melaksanakan shalat dalam kondisi seperti itu termasuk tindakan yang makruh dilakukan.

 

Pendapat Madzhab Syafi'i

Menurut madzhab Syafi'i dan mayoritas ulama shalatnya tetap sah, namun disunnahkan untuk mengulanginya. Sedangkan menurut madzhab zhahiri shalatnya batal sebagaimana dikemukakan oleh Qadli Iyadl.

وَإِذَا صَلَّى عَلَى حَالِهِ وَفِي الْوَقْتِ سَعَةٌ فَقَدْ ارْتَكَبَ الْمَكْرُوهَ وَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ عِنْدَنَا وَعِنْدَ الْجُمْهُورِ لَكِنْ يُسْتَحَبُّ اِعَادَتُهَا وَلَا يَجِبُ وَنَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَنْ أَهْلِ الظَّاهِرِ أَنَّهَا بَاطِلَةٌ

Artinya: "Dan ketika ia melakukan shalat dalam kondisi seperti itu dan waktunya masih longgar maka sesungguhnya ia telah melakukan perkara yang dimakruhkan, sedang shalatnya menurut kami dan mayoritas ulama adalah sah akan tetapi sunnah baginya untuk mengulangi shalatnya. Sedangkan Qadli Iyadl menukil pendapat dari kalangan zhahiriyah bahwa shalatnya adalah batal." (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi, cet ke-2, 1393 H, juz, 5, h. 46)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya