Liputan6.com, Jakarta - Di antara kesulitan, pasti ada kemudahan. Di saat pandemi datang, kesempatan untuk mendapatkan bantuan modal pun hadir bagi Dwi Sayekti. Ibu rumah tangga sekaligus pemilik warung asal Yogyakarta itu mencuri perhatian setelah mengutarakan pengalamannya berusaha di tengah pandemi Covid-19.
"Kalau menurut saya, warung yang masih bisa bertahan dalam situasi Covid-19 yang warung sembako. Kita sediakan barang-barang yang dibutuhkan tetangga sekitar," kata Dwi di acara webinar Gotong Royong Jaga UMKM Indonesia, Selasa, 11 Agustus 2020.
Sepanjang bercerita, ia menuturkan pandemi memaksanya mengubah cara melayani konsumen yang merupakan para tetangganya. Salah satunya menyediakan jasa pesan antar kepada para pelanggan. Dengan begitu, mereka tidak perlu keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan sekaligus membuat warung Dwi tetap bisa berjalan.
Advertisement
Baca Juga
Semangatnya untuk bertahan mendatangkan peluang sebagai salah satu pengusaha UMKM. Ia terpilih menjadi mitra warung pangan dari BGR Logistic dan memperoleh bantuan sembako untuk bisa dijual kembali ke sekitarnya.
"Kemarin kita dapat bantuan dari BGR, sembako seperti beras, minyak goreng, gula. Itu barang sehari-hari yang dibutuhkan masyarakat. Dapat harga terjangkau, pengiriman cepat. Itu yang bikin warung bisa bertahan," ujarnya.
Tapi, sokongan modal belum cukup bagi Dwi. Sambil tertawa, ia pun meminta agar diberi pelatihan. "Intinya dapat support, seperti apa caranya kembangin warung. Itu ilmu yang luar biasa," tuturnya.
Faktanya, Dwi bukanlah satu-satunya yang merasa haus ilmu. Namun, akses wirausaha perempuan terhadap pelatihan dan bimbingan masihlah minim. Padahal, kebanyakan perempuan berbisnis kecil-kecilan semata karena dorongan kebutuhan, bukan karena kesempatan.
Dian O. Wulandari, Co-Founder Instellar & Womenwill Lead GBG Jakarta, menyebut situasi itu membuat terjadinya kesenjangan keterampilan berbisnis yang dimiliki antara pengusaha UMKM perempuan dibandingkan para lelaki. Sementara, jumlah perempuan pengusaha cukup signifikan.
"Hanya saja, wirausahawan perempuan itu kebanyakan levelnya di sektor mikro, informal, bahkan ultra mikro, yang jumlahnya mencapai 80 persen," kata Dian.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Pemerataan Akses
Dian menerangkan keterbatasan akses perempuan terhadap pendidikan bukan semata karena tidak ada program pelatihan yang tersedia. Tantangan utama perempuan mengembangkan diri berasal dari waktu.
Banyak perempuan yang dituntut untuk bisa multitasking alias mengerjakan banyak hal, baik di bisnis maupun rumah tangga, sehingga mereka takut tak bisa membagi waktu. Belum lagi soal psikologi dan soft skill karena perempuan banyak yang kurang berambisi mengembangkan bisnisnya sehingga usaha berjalan di tempat.
Di sisi lain, perempuan yang menjalankan bisnis setelah diberi keterampilan, pendapatannya lebih bagus dan retensi pengembalian modal pun makin kreatif. Resiliensinya juga tak kalah dari lelaki, begitu pula dengan kreativitasnya. Terbukti di masa pandemi muncul pebisnis-pebisnis rumahan baru, seperti penjual makanan online atau masker online.
Dalam situasi ini, perempuan penting memiliki support group, baik di keluarga maupun komunitas. "Sehingga bisa belajar dan berkolaborasi dengan mendukung usaha lebih baik lagi," kata Dian.
Menyadari hal itu, pemerintah diwakili Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak menyiapkan pendamping untuk membantu para perempuan pengusaha UMKM. Konsepnya adalah ibu angkat, sehingga mereka yang dilatih seakan memiliki pemandu sekaligus tempat bertanya terkait kendala yang dihadapi.
"Peran pendamping ini besar sekali, utamanya buat yang baru mulai usaha, mereka jadi ada tempat bertanya," kata Agustina Erni, Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPA.
Selain soft skill dan psikologi, pelatihan lain yang diperlukan menyangkut pelatihan keuangan. Dian mengungkapkan banyak perempuan yang tak tahu cara pengelolaan keuangan yang baik, sementara akses terhadap modal juga masih minim.
Advertisement
Pentingnya Komunitas
Peer to peer learning juga media pembelajaran yang strategis bagi perempuan. Maka, bergabung dalam komunitas menjadi penting. Itu pula yang diungkapkan Ira Noviarti, Personal Care Director PT Unilever Indonesia, Tbk, saat memaparkan berbagai program komunitas.
Pertama, program Ibu Bersinar yang dimulai sejak 2017. Tiga tahun berjalan, hampir 900 ribu ibu yang dilatih berbisnis, khususnya bisnis kuliner dan fesyen, dan kemudian bergabung dalam komunitas. Lewat komunitas tersebut, para pengusaha bisa saling mengembangkan jejaring dan terkoneksi dengan pelatihan lebih lanjut.
"Bagi ibu-ibu pemilik warung, ada warung ibu bersinar. Kita bantu mereka mentransformasi keterampilan usaha mereka agar warungnya lebih laku lagi dan buat warungnya lebih menarik," katanya.
Kedua, program pemberdayaan perempuan Saraswati yang dimulai pada 2007. Dikelola Yayasan Unilever Indonesia, target pelatihan adalah para petani kedelai hitam dan perempuan menjadi simpul penting dalam pengembangan itu. Sejauh ini sudah menjangkau lebih dari 3.000 perempuan.
"Ada tiga aspek yang digarap, yakni pengembangan diri, ekonomi, dan organisasi. Program ini masih terus lanjut.
Yang terbaru adalah Unilever untuk Indonesia. Targetnya adalah para pemilik warung kecil yang terimbas besar oleh pandemi. Total 147 ribu warung yang masuk ekosistem ini dan selama ini menjadi ujung tombak perusahaan sebesar Unilever agar produk sampai di tangan konsumen.
Terkait hal ini, Ira mengatakan, ada beberapa strategi untuk membangkitkan kembali para pengusaha warung yang tiarap. Pertama adalah memberi pemahaman agar lebih peduli terhadap keamanan dan perubahan perilaku konsumen mereka. Berikutnya adalah membagikan hand sanitizer dan masker agar mereka bisa melindungi diri sendiri di masa pandemi.
Terakhir adalah pemberian modal kerja, yaitu mengalokasikan profit hingga tiga bulan ke depan yang diterima untuk dikembalikan kepada para pengusaha warung. "Sehingga mereka bisa menjadikan penjualan mereka lebih bagus lagi," ucapnya.