Liputan6.com, Jakarta - Bantaeng menjadi salah satu kabupaten dari Provinsi Sulawesi Selatan. Letaknya berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan Kabupaten Bulukumba di sebelah utara serta berbatasan dengan Laut Flores di sebelah selatan.
Kabupaten Bantaeng memiliki luas wilayah sebesar 395,83 kilometer persegi yang terbagi ke dalam delapan kecamatan yaitu Uluere, Bantaeng, Sinoa, Bissappu, Tompobulu, Eremerasa, Gantarangkek, dan Pajukukang. Pada 2020, penduduk di kabupaten ini berjumlah 196.716 jiwa, dengan kelompok umur tertinggi berada pada umur 10-14 tahun.
Advertisement
Bantaeng dikenal pula sebagai pusat pembuatan kapal orang Bugis atau yang dikenal dengan Kapal Pinisi, dengan reputasinya selama ratusan tahun. Bahkan, kualitas kapal buatan warga setempat dipuji dalam puisi Jawa karya abad ke-14.
Wilayah ini termasuk daerah taklukan Kerajaan Majapahit ini kaya akan sejarah maritimnya. Selain itu, populasi hewan ternak terbanyak yang dimiliki kabupaten ini yaitu kambing berjumlah 28.897 ekor.
Tidak hanya itu saja, Kabupaten Bantaeng tentunya memiliki hal menarik lainnya yang masih bisa dieksplorasi. Berikut enam fakta menarik yang telah dirangkum oleh Liputan6.com dari berbagai sumber.
1. Asal-usul Nama Bantaeng
Terbentuknya Bantaeng tidak lepas dari sejarah Komunitas Onto. Dulunya, daerah Bantaeng berupa lautan seperti dituturkan salah satu generasi penerus dari Kerajaan Bantaeng, Karaeng Imran Masualle. Daerah daratannya hanya terletak di daerah Onto, Sinoa, Bisampole, Gantarang Keke, Mamampang, Katapang, dan Lawi-Lawi.
Masing-masing daerah tersebut dipimpin oleh Kare. Mereka akhirnya bersepakat untuk mengangkat satu orang sebagai pemimpin mereka. Sebelum mencapai kesepakatan, mereka bertapa di daerah Onto untuk meminta petunjuk dari Dewata (Yang Maha Kuasa). Pertapaan tersebut kini bernama Balla Tujua yang berupa rumah kecil dengan atap, dinding, dan tiang bambu.
Setelah mendapatkan wahyu, mereka diminta untuk mencari tempat pemandian yang terbuat dari bambu di daerah Onto. Bertemulah mereka dengan seorang lelaki yang sedang mandi dan mereka menyebutnya To Manurunga ri Onto. Para Kare maminta Tomanurung untuk menjadi pemimpin dan Tomanurung ri Onto menyanggupinya.
Ketika Tomanurung ri Onto memandang ke segala arah, wilayah laut berubah menjadi daratan. Selanjutnya, Para Kare dan Tomanurung ri Onto berangkat ke Gamacayya dan bernaung di bawah pohon. Tomanurung ri Onto kemudian bertanya kepada para kare apa nama pohon tersebut. Kare Bisampole mengatakan bahwa pohon tersebut bernama Pohon Taeng sembari memandangi para Kare lainnya.
Para Kare menjawab “ba” yang menurut bahasa daerah setempat berarti membenarkan. Sejak saat itu, daerah ini disebut Bantaeng dari data Ba dan Taeng.
Konon, daerah Onto merupakan daerah sakral dan perlindungan bagi keturunan raja Bantaeng ketika mendapat masalah yang besar. Namun sejak adanya kebijakan pemda yang melakukan tata ruang, wilayah sakral hanya menjadi sejarah.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
2. Makam Raja-Raja La Tenri Ruwa
Makam raja-raja La Tenri Ruwa ini merupakan kompleks pemakaman yang terletak di Kecamatan Bantaeng. Nama kompleks pemakaman ini diambil dari nama Raja Bone ke-16 La Tenri Ruwa yang makamnya juga berada di kompleks pemakaman tersebut.
La Tenri Ruwa adalah seorang Raja Bone pertama yang memeluk agama Islam setelah diajak oleh Raja Gowa ke-14, Mangerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin. Namun, keputusan Raja Bone ke-11 tidak disetujui oleh Arung Puti (anggota adat) sehingga ia diturunkan tahtanya dan meninggalkan Bone. La Tenri Ruwa kemudian menetap di Bantaeng.
Di dalam kompleks pemakaman terdapat sekitar 159 buah bangunan makam dengan beberapa tipe makam. Salah satunya makam yang menggunakan teknik susun timbun tanpa batu nisan yang berukuran 3,05 – 3,6 meter. Tipe nisan pada komplek ini yaitu tipe gada, ujung tombak, dan papan.
Uniknya, bahan baku bangunan makam pada kompleks ini terbuat dari batu karang. Ada pula yang menggunakan batu padas, batu bata, dan batu kapur yang menggunakan perekat.
3. Masjid Besar Taqwa Tompong
Masjid Besar Taqwa Tompong terletak di Jalan Bete-bete Dusun Tompong, Kecamatan Bantaeng. Masjid ini memiliki bentuk tumpang tiga pada atapnya. Bangunan intinya terdiri dari penampil dan tubuh masjid.
Pada dinding sebelah utara, selatan, dan barat terbuat dari tembok yang memiliki ventilasi udara dan roster porselen berwarna hijau. Sementara, pada dinding sebelah timur yang terdiri dari empat pilar bergaya arsitek Eropa.
Menurut sejarah, Masjid Besar Taqwa Tompong dibangun atas perintah Raja Bantaeng Karaeng Panawang pada abad ke-12. Dulunya, masjid kuno ini bermula dari sebuah Langgar yang akhirnya dijadikan tempat sebagai penyebaran agama Islam. Seorang dermawan, La Bandu turut membantu pembangunan tempat ini.
Demi perkembangan, langgar yang berdiri pada 1887 – 1913 mulai direnovasi dan ditingkatkan fungsinya menjadi masjid. Renovasi dilakukan dengan mendatangkan seorang arsitek dari Kabupaten Bone yang bernama La Pangewa.
Advertisement
4. Air Terjun Bissappu
Air Terjun Bissappu terletak di Desa Bonto Salluang, Kecamatan Bissappu, sekitar lima kilometer dari Kota Bantaeng. Di sekitar air terjun terdapat banyak pohon jati dan tempat beristirahat, salah satunya batu besar yang dapat dijadikan sebagai tempat duduk.
Air terjun Bissappu merupakan air terjun tertinggi yang berada di Kabupaten Bantaeng. Tingginya hampir mencapai 50 meter. Aliran air terjun ini terbentuk dari aliran sungai yang berada di Kecamatan Sinoa. Air Terjun Bissappu terus menerus mengeluarkan air walaupun musim kemarau tiba.
5. Kawasan Batu Ejaya
Kabupaten Banteng juga memiliki situs arkeologi salah satunya Kawasan Batu Ejaya yang terletak di Kecamatan Bissappu. Kawasan ini merupakan serangkaian batuan gunung api yang berbentuk batu besar dan bongkahan batu. Terdapat gua dengan ruang yang besar, dengan bibir gua menghadap ke padang luas.
Lokasi ini memiliki beberapa situs yang potensial seperti Situs Batu Ejaya, Bulu Saraung, Panganreang Tudea 1-4, Pettenungang, Paenre, Tinggia, dan Pangnganikang. Di kawasan Batu Ejaya tepatnya di Situs Batu Ejaya, Panganreang Tudea 2, dan Panganreang Tudea 4 inilah, dulunya hidup manusia purba yang disebut Orang Toala.
Batu Ejaya sendiri berasal dari Bahasa Makassar yang berarti batu merah. Warga sekitar menganggap kawasan ini merupakan kawasan yang sakral dan dijadikan sebagai tempat berziarah.
6. Objek Wisata Pantai
Pantai Pasir Putih Korong Batu menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Bantaeng. Pantai ini terletak di Kecamatan Pajukukang, sekitar 18 kilometer dari Kota Bantaeng.
Selain itu, terdapat Pantai Seruni yang terletak di Kecamatan Bantaeng. Pantai Seruni menyajikan pemandangan dermaga perahu pembawa barang. Ketika sore hari, dermaga kayu ini dialihfungsikan sebagai tempat nongkrong bagi anak muda sembari menunggu matahari terbenam. Pantai ini juga menjadi ikon dari Kabupaten Bantaeng. (Gabriella Ajeng Larasati)
Jadwal Libur Nasional Juli--Desember 2021
Advertisement