Krisis Iklim dan Limbah, Biang Kerok Menurunnya Produksi Rumput Laut di Indonesia

Menurunnya produksi dan kualitas rumput laut di Indonesia membuat daya saing komoditas ini secara otomatis menurun.

oleh Asnida Riani diperbarui 28 Jan 2022, 12:02 WIB
Diterbitkan 28 Jan 2022, 12:02 WIB
WWF Indonesia
Bentangan budidaya rumput laut Sulawesi Tenggara. (dok. WWF-ID/Jibriel Firman)

Liputan6.com, Jakarta - Bertajuk "Kajian Kebutuhan Industri dalam Pengembangan Sektor Rumput Laut," Jaringan Sumber Daya bersama Yayasan WWF Indonesia menyelenggarakan diskusi multi pihak dengan perwakilan pemerintah, serta pelaku industri rumput laut, Selasa, 25 Januari 2022.

Berdasarkan rilis yang diterima Liputan6.com, Kamis, 27 Januari 2022, mereka membahas sejumlah tantangan dan solusi dalam mengembangkan produk rumpuut laut. Tidak kurang dari 40 pelaku industri rumput laut, mulai dari pembudidaya, pengepul, koperasi, asosiasi, eksportir bahan baku, hingga prosesor di wilayah Sulawesi Selatan aktif terlibat dalam diskusi hybrid tersebut.

Dialog integrasi ini terjadi atas kesadaran bersama akan penurunan produksi rumput laut akibat krisis iklim dan masalah limbah di tingkatan rantai pasok, sehingga daya saing komoditas menurun. Padahal, rumput laut adalah komoditas unggulan nasional dengan kontribusi nilai ekspor mencapai 279 juta dolar AS pada 2020, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Rumput laut juga merupakan sumber penghidupan masyarakat pesisir yang strategis karena, selain mudah dibudidayakan, modal yang dibutuhkan juga tidak terlalu besar. Namun, beberapa tahun terakhir, penurunan produksi, serta kualitas bibit rumput laut terus tercatat.

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dalam Laporan Kinerja Tahunan 2021: Triwulan 3 menyebut, produksi rumput laut menurun dari triwulan tiga tahun 2020 sebesar 7,78 juta ton jadi 7,14 juta ton pada 2021. Selain itu, hasil produksi ini juga berada di bawah target produksi sebesar 8,45 juta ton pada triwulan ketiga tahun 2021.

Di lapangan, penurunan kualitas dan produksi rumput laut cukup dirasakan para industri pengolahan dan eksportir. "Tahun ini, kami sering kekurangan bahan baku. Kekurangannya bisa sampai 70 sampai 120 ton per hari," kata Chen Xuan dari PT Biota Laut Ganggang.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Terdampak Perubahan Iklim

WWF Indonesia
Suasana diskusi antara pembudidaya dengan eksportir dan lembaga pendukung industri rumput laut, 27 Januari 2022. (dok. WWF-ID/M.A. Indira Prameswari)

Di sisi lain, pembudi daya rumput laut sangat bergantung pada kalender budi daya yang disusun berdasarkan perhitungan cuaca dan musim. Namun, cara ini tidak lagi efektif karena kondisi cuaca yang semakin tidak menentu seiring perubahan iklim.

Suhu panas ekstrem, serta curah hujan yang tinggi memengaruhi tumbuh kembang bibit dan pertumbuhan budi daya rumput laut. Hal ini berdampak pada jumlah produksi yang kian menurun dari tahun ke tahun.

Dalam diskusi ini dikemukakan pula berbagai tantangan yang dihadapi produsen rumput laut, baik dari sisi produksi maupun persyaratan dari pasar. Tiga faktor utama adalah tantangan perubahan iklim, kualitas bibit yang buruk, dan isu mikroplastik.

Mursalim, perwakilan dari Asosiasi Rumput Laut Indonesia, mengatakan bahwa saat ini masih dijumpai pelaku budi daya rumput laut yang menggunakan pelampung, serta tali bentangan berbahan plastik. Padahal, penggunaan bahan plastik jadi perhatian khusus bagi mitra–mitra bisnis internasionalnya.

Karena itu, integrasi menyeluruh pada multi-sektor sangat dibutuhkan, termasuk perbaikan budi daya, investasi pihak eksportir dan industri pada sektor budi daya, perhitungan HPP terbaik bagi seluruh pihak untuk mencapai ekuilibrium secara ekonomis, perbaikan pengelolaan limbah, serta dukungan teknologi berbasis Internet of Things (IoT) menuju smart farming.

Kebijakan yang Mendukung

WWF Indonesia
Pembudidaya rumput laut Sulawesi Tenggara. (dok. WWF-ID/M.A. Indira Prameswari)

Para pelaku usaha rumput laut juga berharap dukungan pemerintah melalui kebijakan yang mendukung produksi dengan pendampingan teknis teknologi budidaya 4.0, sertifikasi Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB), serta sentralisasi daerah budi daya rumput laut oleh pemerintah daerah.

Pendampingan ini telah banyak didukung berbagai lembaga masyarakat yang peduli terhadap keberlangsungan usaha rumput laut, salah satunya Yayasan WWF Indonesia. Asdar Marsuki, pelaku usaha rumput laut di Sulawesi Selatan mengatakan, "Persaingan usaha saat ini tidak hanya secara domestik, tapi juga dengan para pelaku usaha dari negara lain yang menjual komoditas yang sama."

"Hal ini patut jadi pertimbangan para pelaku usaha rumput laut dalam negeri. Karena itu, perlu adanya sinergi dan penguatan dalam menghadapi persaingan global," imbuhnya.

Hardi Haris, Kepala Bidang Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, menyampaikan bahwa sektor usaha rumput laut telah menyumbang 80 persen produksi perikanan budi dayadi Sulawesi Selatan. Hal ini menjadikan provinsi ini sebagai produsen rumput laut tropis terbesar di Indonesia

"Para pembudi daya harus memperhatikan sanitasi dan kualitas produksi rumput laut. Jika hal seperti itu diperhatikan, kualitas akan terjaga, serta kepercayaan pasar meningkat. Pelaku pembudi daya dengan pelaku industri juga diharapkan saling bekerja sama agar produksi terintegrasi dan berbasis kebutuhan pasar," tutur Hardi.

Infografis Indonesia Sumbang Sampah Plastik Terbesar Kedua Sejagat

Infografis Indonesia Sumbang Sampah Plastik Terbesar Kedua Sejagat
Infografis Indonesia Sumbang Sampah Plastik Terbesar Kedua Sejagat. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya