Liputan6.com, Jakarta - Kemunculan sederet merek parfum lokal membuat industri wewangian makin hidup. Geliat ini dipandang sebagai potensi untuk menyemarakkan usaha minyak atsiri lokal sebagai salah satu bahan utama parfum.
Faktanya, banyak pengusaha minyak atsiri memilih memantapkan pasar mereka di luar negeri. Java Sisters Vanilla salah satunya. Perusahaan yang memproduksi dan menjual biji, ekstrak, dan pasta vanila organik itu dirintis sejak 2019 dengan target utama adalah pasar ekspor.
Vanila dipilih lantaran peminatnya tinggi di luar negeri dan bisa diserap banyak industri, termasuk parfum dan pangan. Selain itu, lewat bisnis yang berpusat di Jawa Timur tersebut, mereka bisa membantu menyejahterakan petani, membuat lingkungan pertanian yang ramah lingkungan, serta mengembalikan kelestarian sungai di sekitar lahan pertanian.
Advertisement
Baca Juga
"Kita ada sekitar 20 petani," kata Tan Sherly Maretha, salah satu pendiri Java Sisters Vanilla, kepada Liputan6.com, Kamis, 19 Januari 2023, seraya menambahkan bahwa mereka juga bermitra dengan para petani vanila di Bali.
Sherly mengungkapkan dari sisi kualitas, produk vanilla beans-nya tak kalah. Pada 2022, mereka bahkan berhasil mengembangkan produk biji vanila berkadar vanilin tertinggi di dunia, yakni empat persen. Padahal, rata-rata kadar vanilin hanya sekitar dua persen.
"Hal tersebut membuktikan produk vanila kita tidak kalah dengan negara lain," kata Sherly. Bahkan, sejak kualitas produknya meningkat drastis, pihaknya kini tak mengikuti harga pasar global yang saat ini mengacu pada Madagaskar sebagai pemain komoditas vanila utama dunia.
Saat ini, timnya sudah bisa menyuplai lebih dari satu ton vanila per bulan dan diharapkan meningkat setiap tahunnya. Pasar utamanya sejauh ini adalah Amerika Serikat dengan sistem B2B. Lalu, bagaimana dengan potensi pasar lokal?
"Saya rasa local market memiliki potensi, ditilik dari jumlah penduduk, peningkatan kesejahteraan, concern terhadap kesehatan. Tahun 2023 ini, kita baru mau start pasar lokal, so tentu saja kita belum ada analisis terkait penerimaan buyer dari industri parfum," ia merespons.
Potensi Sangat Besar
Di sisi lain, ia mengharapkan para pemain parfum lokal lebih aktif menggali potensi bahan baku dari negeri sendiri. "Karena sebenarnya negara kita kaya akan itu," ucapnya seraya menyebut pihaknya bersedia menyesuaikan harga untuk kebutuhan lokal selama tidak merusak pasar.
Hal itu juga diamini Kepala Puslit Surfaktan dan Bioenergi IPB University Meika Syahbana Rusli. Potensi minyak atsiri lokal sebagai komponen utama produk wewangian sangat besar. Pemain lokal maupun internasional pun disebutnya sudah cukup banyak yang menggunakan minyak atsiri Indonesia, baik dalam bentuk murni maupun turunannya.
"Misalnya, minyak cengkeh, bisa diproduksi menjadi produk intermediate. Itu sudah banyak dipakai sebagai ingredient untuk fragrance, baik parfum untuk kepentingan manusia, maupun pewangi dalam produk FMCG atau yang dipakai sehari-hari seperti sabun, sampo," ia menjelaskan. Potensi minyak atsiri lain yang layak dilirik adalah dari jenis bunga-bungaan seperti mawar, melati, dan gaharu.
Ia menyebut, industri parfum umumnya membutuhkan produk turunan minyak atsiri yang sayangnya masih terbatas. Menurut dia, cengkeh yang paling berkembang di antara ratusan atau bahkan ribuan bahan baku minyak esensial. Di sisi lain, tidak ada standar yang ketat atau mutlak dari minyak atsiri, khususnya terkait produk turunannya.
"Ada sebetulnya yang namanya SNI yang dikeluarkan BSN. Saya juga komite teknis standar itu. Karena untuk kepentingan industri secara umum, bukan minyak atsiri secara khusus, cenderung range-nya luas demi mengakomodir seluruh produk untuk kepentingan ekspor. Tapi kalau sebagai ingredient, spesifikasinya harus lebih ketat lagi," ia menjelaskan.
Advertisement
Kemajuan Ada, tapi...
Menurut Meika, industri minyak atsiri lokal sebenarnya sudah mulai berkembang dibandingkan 20 tahun lalu. Tapi, fokusnya masih ke industri hulu, yakni memproduksi bahan baku minyak atsiri. Tapi, itu saja jelas tidak cukup bila produksi minyak atsiri ingin dimanfaatkan para produsen parfum lokal.
"Dalam konteks industri fragrance, secara umum saya katakan, kita belum ready atau belum banyak yang mengolah menjadi ingredient parfum atau flavor. Industri di dalam negeri belum didorong ke sana," ucap dia.
Maka itu, langkah berikutnya adalah mengarahkan agar proses lanjutannya juga dilakukan di Indonesia. Menurut Meika, ada tiga cara yang bisa dilakukan, yakni membuat produk turunannya, dimurnikan untuk menghilangkan elemen bau yang tidak disukai, atau distandarkan secara spesifik. Bila kemampuan itu dimiliki Indonesia, artinya mereka siap untuk memenuhi kebutuhan industri wewangian di Indonesia.
"Yang mengolah minyak atsiri cukup banyak di Indonesia, tapi mayoritas adalah perusahaan multinasional, seperti Firmenich, IFF, dan Mane... Mereka punya pabrik dan cabang di Indonesia, tapi expert-nya masih banyak dikerjakan di luar negeri," kata Meika.
Di sisi lain, sumber daya manusia lokal yang punya keterampilan tentang wewangian, disebut pula perfumeris atau flavoris, belum banyak. Padahal, peran mereka vital untuk meracik wewangian sesuai kepentingan industri. Kalau pun ada, biasanya mereka harus dilatih di luar negeri.
"Program studi, vokasi atau kejuruan seperti itu belum ada di Indonesia, baru nempel ke prodi tertentu... Itu karena demand-nya belum riil. Padahal, syarat dibuat sekolah kejuruan atau membuka prodi itu peminatnya harus kontinyu dari tahun ke tahun," ia menyambung.
Contoh Kasus India
Meika menyatakan Indonesia bisa meniru India dalam pengembangan industri wewangian lokalnya. Pelaku usaha lokalnya memilih segmen pasar tertentu, cenderung menengah ke bawah, untuk menggerakkan sektor industri minyak atsiri lokal. "Sekarang, masyarakat menengah ke bawah pun memerlukan fragrance, supaya tidak head to head dengan pemain besar dunia juga," ujarnya.
Dengan pendekatan tersebut, industri parfum lokalnya berkembang cukup pesat. Pelakunya banyak, jauh dari Indonesia yang mungkin hanya 10 pemain yang aktif. Mereka juga didukung oleh pemerintah lewat kebijakan yang berpihak agar niche market bisa lebih besar.
"Pemerintah perlu secara khusus dorong industri-industri flavor atau fragrance untuk segmen tertentu. Kalau pemain besar membutuhkan tingkat kemurnian yang tinggi, ada segmen pasar yang tuntutannya tidak terlalu tinggi bisa diarahkan menjadi parfum lokal," kata Meika.
"Kalau ingredient lokal tersedia lebih banyak, karena itu bisa jadi akan dapat harga lebih kompetitif sehingga bisa sasar segmen pasar lebih luas. Kalau mereka (parfum lokal) berkembang, demand lokal meningkat, processing atsiri bisa lebih banyak," sambungnya.
Advertisement