Liputan6.com, Jakarta - Lagi, polusi udara di Jakarta jadi sorotan. Sejak beberapa hari lalu melalui komentar di media sosial, warga Jakarta telah melaporkan melihat "kabut polusi" menggantung di langit Ibu Kota.
Salah satunya ditulis dokter spesialis anak Shela Putri Sundawa di Twitter-nya, 29 Mei 2023, "Seminggu ini banyak anak sakit batuk pilek. Bisa jadi murni karena infeksi, bisa jadi karena faktor udara Jakarta yang jelek banget."
Baca Juga
"Bahkan di jam 6 pagi, kabut tebal sekali. Awalnya saya kira karena dingin, tapi udara enggak dingin. Setelah cek monitor udara memang sangat tidak sehat," imbuhnya.
Advertisement
Sayangnya, rekor polusi udara itu kembali berlanjut hari ini Rabu (31/5/2023). Merujuk data IQAir per pukul 7.00 WIB, dilansir dari situs webnya, Jakarta jadi kota besar berpolusi terburuk di dunia dengan skor 170. Namun di indeks nasional, Jakarta berada di posisi ke-2 setelah Tangerang Selatan yang mencatat skor 177.
"Konsentrasi PM2.5 di Jakarta saat ini 20.4 kali nilai panduan kualitas udara tahunan WHO," catat IQAir. Dengan kadar polusi yang tinggi, mereka merekomendasikan untuk memakai masker di luar ruangan, menyalakan penyaring udara, menutup jendela untuk menghindari udara kotor dari luar, serta menghindari aktivitas olahraga luar ruang.
Dalam perkiraannya, polusi udara di Jakarta dalam kategori "Tidak Sehat" masih akan berlangsung sampai besok, Kamis, 1 Juni 2023. Sementara, pada 2--5 2023, kualitas udara Jakarta diperkirakan berada dalam kategori "Tidak Sehat bagi Kelompok Sensitif."
Tanpa Peringatan ke Warga Jakarta
Kualitas udara yang buruk di Jakarta pun membuat warganet mengeluhkan tidak adanya peringatan atas kondisi tersebut. "Dan semua ini terjadi tanpa ada warning sama sekali ke warga," komentar seorang pengguna Twitter.
Ada juga yang menyindir dengan mengatakan bahwa sejauh ini, warga Jakarta "harus mandiri" memantau kualitas udara di sekitar mereka melalui berbagai aplikasi yang memperlihatkan indeks kualitas udara secara real time. "Kita pernah menuntut pemerintah (provinsi DKI Jakarta) dan membawanya ke pengadilan, tapi kasusnya sekarang entah ke mana," cuit seorang warganet.
Komentar ini merujuk pada kasus hukum pada 2021. Gubernur DKI Jakarta saat itu, Anies Baswedan, sempat mengaku tidak akan mengajukan banding setelah pihaknya divonis bersalah terkait polusi udara Jakarta dalam pernyataan tertanggal 18 September 2021, lapor kanal News Liputan6.com.
Namun, melansir merdeka.com, mereka nyatanya mengajukan banding pasa 30 September 2021. Lima pejabat yang divonis atas kasus polusi udara di Jakarta adalah Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, serta Gubernur Provinsi DKI Jakarta.
Advertisement
Polusi Udara di Jakarta Jadi Masalah Berulang
Ya, polusi udara di Jakarta memang sudah jadi masalah berulang. Pada awal tahun 2023, petisi untuk mengembalikan kebijakan Work From Home (WFH) karena jalan di Jakarta lebih macet dan berpolusi telah ditandatangani lebih dari 18 ribu orang di laman Change.org pada 5 Januari 2023.
Petisi ini dibuat akun bernama Riwaty Sidabutar yang menargetkan tuntutan itu diteken 25 ribu orang. Ia menyertakan foto yang memperlihatkan padatnya kendaraan di jalanan Ibu Kota Jakarta pada malam hari. "Dua tahun bisa kerja dari rumah, ketika harus ke kantor lagi rasanya malah bikin tambah stress," demikian bunyi keterangan petisi tersebut.
Riwaty menuturkan bahwa jarak rumah dengan kantor kebanyakan orang tidak jauh berbeda. Ia menempuh setidaknya 20 kilometer (km) untuk menuju ke kantor yang berarti setiap hari harus menempuh 40 km pulang pergi.
Belum lagi, kata dia, jika kondisi hujan. Bisa-bisa, ia terjebak kemacetan lebih lama. Jika menggunakan sepeda motor, waktu tempuhnya memakan hingga satu jam. Selain itu, menurut dia, Work From Office (WFO) juga belum tentu membuatnya jadi lebih produktif. Bahkan, lama perjalanan justru membuat lebih lelah.
Penyebab Polusi Udara di Jakarta
"Hasil pekerjaan tidak sebagus ketika saya bekerja dari rumah. Di rumah, saya merasa lebih percaya diri, lebih aman, dan lebih nyaman," tulis Riwaty. "Oleh karena itu, saya ingin meminta agar aturan wajib WFO 100 persen dikaji kembali. Sebagai pekerja, ada baiknya jika kita juga diberikan pilihan untuk dapat kerja dari rumah," lanjut dia.
Sementara tahun lalu, Koordinator Sub Bidang Informasi Gas Rumah Kaca BMKG Alberth Nahas menyebut bahwa emisi kendaraan bermotor bukan jadi satu-satunya penyebab polusi tinggi di Jakarta. Sumber energi dan industri, kata dia, turut berkontribusi di sejumlah daerah penyangga.
"Jadi selain transportasi, biasanya dari sumber energi dan industri. Untuk wilayah seperti Jakarta, masalah utamanya berkaitan dengan transportasi, terutama kalau macet. Wilayah sekitar Jakarta, kota penyangga, itu ada kawasan industri dan pembangkit listrik. Itu merupakan bagian yang berkontribusi (pada polusi)," kata Alberth kepada wartawan dalam acara Bicara Udara Journalist Class 2022 di bilangan Jakarta Pusat, 19 Juli 2022.
Lebih lanjut, Alberth mengungkap bahwa kontribusi polusi udara pada wilayah urban ada tiga, yakni transportasi, industri, dan energi. Pasalnya, ketiga bidang tersebut mengonsumsi bahan bakar penyebab polusi. Namun, ia menuturkan bahwa pihaknya enggan menyalahkan pihak yang paling berkontribusi dalam masalah polusi udara ini karena hal tersebut bukan kewenangan BMKG.
Advertisement