Manusia Jadi Penyebab Utama Kebakaran Hutan di Indonesia, Denda Pelaku Tak Cukup Tutupi Kerugian

KLHK mengungkapkan bahwa denda Rp10 miliar pada kenyataannya tidak mampu menutupi dampak kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan oleh manusia.

oleh Farel Gerald diperbarui 20 Okt 2023, 19:22 WIB
Diterbitkan 20 Okt 2023, 19:05 WIB
Liputan 6 Climate Talk: Mitigasi Karhutla di Tengah Perubahan Iklim Global, di Mana Peran Kita?
Para narasumber Climate Talk bertema "Mitigasi Karhutla di Tengah Perubahan Iklim Global, di Mana Peran Kita?" yang diadakan Jumat, 20 Oktober 2023. (dok. Tangkapan layar Zoom Climate Talk Liputan 6/Farel Gerald)

Liputan6.com, Jakarta - Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan KLHK, menyuarakan keprihatinannya mengenai kerugian besar yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Dia menegaskan bahwa denda yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab tidak mampu menutupi kerugian yang luas, melibatkan dampak pada sektor kesehatan, ekonomi, pendidikan, serta dampak finansial bagi negara.

"Ini belum bisa menutupi, karena kerugian diakibatkan oleh kebakaran lahan ini dampaknya sangat serius mulai dari dampak kesehatan, kemudian kita kehilangan biodiversitas kita, potensi jasa lingkungan, kemudian juga mendampakkan ekonomi," ungkap Rasio dalam siaran langsung program Climate Talk Liputan6.com bertema "Mitigasi Karhutla di Tengah Perubahan Iklim Global, di Mana Peran Kita?", Jumat, 20 Oktober 2023.

Rasio menekankan, sanksi pidana berupa penjara 10 tahun maksimal dan denda Rp10 miliar pada kenyataannya tidak mampu menutupi dampak kerugian yang sangat luas yang dirasakan negara. Kerugian tersebut tidak hanya bersifat finansial untuk menangani dan memulihkan daerah yang terbakar, tapi juga melibatkan dampak jangka panjang yang bisa mempengaruhi kehidupan masyarakat dan ekosistem.

"Penegakan hukum semata juga tidak cukup untuk mengatasi masalah ini, sehingga perlu adanya dorongan untuk meningkatkan kesadaran berbagai pihak terkait bahaya dan dampak karhutla," lanjutnya.

KLHK telah menyimpulkan bahwa aktivitas manusia menjadi penyebab utama karhutla. Meski fenomena alam seperti El Nino bisa memperparah kondisi, namun, banyaknya lahan gambut di Indonesia yang rentan terbakar dan niatan beberapa pihak untuk membuka lahan dengan cara murah seperti membakar menjadi permasalahan utama.

Membakar Lahan Dianggap Lebih Murah

Liputan 6 Climate Talk: Mitigasi Karhutla di Tengah Perubahan Iklim Global, di Mana Peran Kita?
Rasio Ridho Sani (kanan) selaku Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan KLHK menyampaikan bahwa sanksi pidana berupa penjara 10 tahun maksimal dan denda Rp10 miliar pada kenyataannya tidak mampu menutupi dampak kerugian yang sangat luas yang dirasakan negara. (dok. Tangkapan layar Zoom Climate Talk Liputan 6/Farel Gerald)

Pasca-kejadian besar pada 2015, pemerintah telah berupaya meningkatkan antisipasi dan pencegahan, termasuk melalui patroli dan monitoring cuaca. Dalam pantauan KLHK, terdapat 9.018 titik panas dengan total lahan terbakar mencapai 642 ribu hektare tahun ini, total lahan terbakar menurun yang signifikan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang mencapai jutaan hektare.

Dalam upaya terus menurunkan jumlah lahan terbakar tersebut, pemerintah telah mengambil langkah-langkah konkret. Mengingat ekosistem di Indonesia yang mudah terbakar, seperti hutan bakau dan lahan gambut, pemerintah memastikan perusahaan mematuhi standar pencegahan kebakaran. Perubahan perilaku menjadi salah satu kunci utama dalam pencegahan karhutla.

Menurut Rasio, karhutla seringkali diakibatkan oleh masyarakat dan korporasi dengan tujuan mendapatkan keuntungan finansial.

"Metode pembakaran dianggap lebih murah daripada menggunakan alat mekanik. Sejumlah korporasi juga enggan investasi dalam peralatan dan sumber daya manusia untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan," tuturnya.

KLHK memiliki sistem pemantauan untuk mengidentifikasi lokasi potensi titik panas dan menentukan pihak yang bertanggung jawab atas lokasi tersebut.

Kemudian Rasio menambahkan bahwa apabila ditemukan pelanggaran, KLHK tidak akan segan-segan untuk mengambil tindakan. Mulai dari penyegelan untuk memberikan efek jera sebelum langkah hukum lebih tegas diterapkan.

"Kami akan juga melakukan penegakan hukum pidana tambahan, berupa perampasan keuntungan. Kenapa harus diterapkan? Karena mereka (pelaku pembakaran lahan) ini adalah orang-orang yang ingin mendapatkan keuntungan dari tindak kejahatan ini," kata Rasio.

Strategi Mitigasi dari Australia

Liputan 6 Climate Talk: Mitigasi Karhutla di Tengah Perubahan Iklim Global, di Mana Peran Kita?
Dr Daniel Mendham (kiri) sebagai Principal Research Scientist CSIRO menyampaikan bahwa efek dari fenomena El Nino telah mengubah pola cuaca di Australia, memperparah kondisi kekeringan dan meningkatkan risiko kebakaran hutan. (dok. Tangkapan layar Zoom Climate Talk Liputan 6/Farel Gerald)

Dr Daniel Mendham, Principal Research Scientist dari CSIRO, mengakui kebenaran dari pernyataan Rasio bahwa sebagian besar penyebab kebakaran hutan dan lahan memang disebabkan oleh aktivitas manusia. Menyikapi hal ini, Dr Daniel menyebut Australia sebagai contoh. Negeri Kanguru dikenal mengalami berbagai ekstrem cuaca, mulai dari kekeringan hingga hujan lebat yang memicu banjir.

Efek dari fenomena El Nino telah mengubah pola cuaca di Australia, memperparah kondisi kekeringan dan meningkatkan risiko kebakaran hutan.

"Penambahan panas yang berkelanjutan selama tiga tahun terakhir juga telah menyebabkan pertumbuhan vegetasi yang cepat, yang jika dikombinasikan dengan suhu panas berlebih dapat meningkatkan risiko kebakaran," ujar Daniel pada kesempatan yang sama.

Selain itu, dengan menipisnya lapisan ozon, Daniel mengemukakan bahwa Australia mengalami suhu yang lebih tinggi dari biasanya. Hal ini turut memengaruhi industri pariwisata, dengan banyak wisatawan yang memilih untuk tidak mengunjungi Australia karena cuaca yang tidak ramah.

Sebagai respons terhadap kondisi tersebut, Australia telah menerapkan berbagai strategi mitigasi. Mereka berupaya mengadopsi dan mengadaptasi metode-metode baru untuk mengurangi risiko kebakaran, serta mengedukasi masyarakat tentang bahaya yang ditimbulkan.

"Australia telah mengembangkan sistem deteksi berbasis kecerdasan buatan (AI) di bagian selatan, memanfaatkan jaringan kamera untuk memantau potensi kebakaran yang mungkin terjadi," ucapnya.

Inisiatif Youth Act Kalimantan

Liputan 6 Climate Talk: Mitigasi Karhutla di Tengah Perubahan Iklim Global, di Mana Peran Kita?
Sarasi Silvester Sinura (kanan) Koordinator Youth Act Kalimantan mengaku berkeinginan kuat untuk mendorong kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan. (dok. Tangkapan layar Zoom Climate Talk Liputan 6/Farel Gerald)

Selain itu, Daniel menyakan bahwa walaupun Australia memiliki lahan gambut yang lebih sedikit dibandingkan dengan Indonesia, namun mereka siap bekerja sama untuk memulihkan dan menjaga lahan gambut. "Lahan gambut memegang peranan penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan melestarikan keanekaragaman hayati," katanya.

Sementara itu, di Indonesia, sebagai salah satu upaya mengantisipasi isu lingkungan dan karhutla, khususnya di Kalimantan, terdapat organisasi pemuda yang berkeinginan kuat untuk mendorong kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan, terutama mengenai kebakaran hutan. Dengan bantuan tim kecil yang setiap hari turun lapangan, mereka berupaya memonitor titik-titik kebakaran.

Adalah Sarasi Silvester Sinura, Koordinator Youth Act Kalimantan yang pada Agustus 2023, mereka memulai sebuah gerakan di Palangkaraya, Kalimantan Selatan, dengan tujuan untuk memfokuskan sorotan masyarakat pada masalah kebakaran hutan yang sering terjadi. Salah satu solusi yang mereka tawarkan adalah dengan menciptakan "Rumah Aman Asap".

Di sini, masyarakat dapat menemukan perlindungan dari asap dan mendapatkan udara segar. Selain itu, mereka juga aktif dalam gerakan pemulihan dengan menyediakan layanan kesehatan dan bantuan sembako bagi masyarakat yang terkena dampak karhutla.

Ada Program Plant Project

Liputan 6 Climate Talk: Mitigasi Karhutla di Tengah Perubahan Iklim Global, di Mana Peran Kita?
Sarasi mengatakan walaupun isu lingkungan saat ini mungkin tidak menjadi prioritas utama bagi masyarakat Indonesia, yang juga sedang bergulat dengan masalah ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, namun penting untuk terus mendengungkannya. (dok. Tangkapan layar Zoom Climate Talk Liputan 6/Farel Gerald)

"Media sosial memegang kunci penting dalam upaya edukasi, terutama untuk generasi muda. Melalui platform ini, tim Youth Act Kalimantan berusaha untuk meningkatkan kesadaran akan dampak buruk asap kebakaran hutan," kata Sarasi.

Ia menyebut bahwa walaupun isu lingkungan saat ini mungkin tidak menjadi prioritas utama bagi masyarakat Indonesia, yang juga sedang bergulat dengan masalah ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, namun penting untuk terus mendengungkannya. "Kurangnya ketegasan pemerintah dalam menangani karhutla, ketiadaan sistem edukasi yang melibatkan masyarakat, serta keterbatasan informasi adalah penyebab utama karhutla di Kalimantan," ujar Sarasi. 

Ia juga menyayangkan sikap sejumlah korporasi yang sering menjadi penyebab kebakaran, namun kurang bertanggung jawab dalam penanggulangannya. Namun, bukan berarti tidak ada upaya yang dilakukan.

Melalui pendekatan partisipatif, Youth Act Kalimantan melakukan berbagai kegiatan, seperti "Plant Project". Inisiatif ini menawarkan bibit tanaman gratis kepada masyarakat, dan bersama-sama menanam pohon.

Dari 10 ribu bibit yang telah mereka tanam, 70 persen dari total tersebut berhasil ditanam di lahan masyarakat. Sarasi dan timnya sering mengadakan diskusi dengan masyarakat untuk mengetahui apa yang mereka butuhkan, dan bagaimana cara terbaik membantu mereka.

INFOGRAFIS JOURNAL_ 10 Provinsi di Indonesia dengan Hutan Riskan Kebakaran
INFOGRAFIS JOURNAL_ 10 Provinsi di Indonesia dengan Hutan Riskan Kebakaran (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya