Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Konsumen Penang (CAP) mendesak pemerintah untuk mencabut izin operasional 24 jam pada restoran-restoran untuk membatasi akses masyarakat Malaysia terhadap makan larut malam. Dalam pernyataannya, Senin, 22 April 2024, Presiden CAP Mohideen Abdul Kader mengatakan, langkah ini dapat membantu mengurangi dampak negatif dari makan larut malam di kalangan masyarakat Malaysia.
Warga Negeri Jiran, melansir Says, Kamis, 25 April 2024, tercatat memiliki tingkat obesitas tertinggi kedua di Asia Tenggara. Mohideen mengatakan, penelitian menunjukkan bahwa makan larut malam dapat menyebabkan seseorang mengonsumsi 40 persen lebih banyak makanan dari kebutuhan energi hariannya, serta menyebabkan penambahan berat badan, gangguan tidur, dan masalah pencernaan.
Ia menambahkan, obesitas merupakan faktor risiko penyakit tidak menular, seperti diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular, dan kanker. "Meski memperpendek jam operasional restoran tidak akan sepenuhnya menyelesaikan masalah obesitas di Malaysia, hal ini akan membantu mengurangi makan larut malam," sebut dia.
Advertisement
Mohideen menyambung, "Hal ini, pada gilirannya, berpotensi menumbuhkan kebiasaan makan lebih sehat dan mendorong kebiasaan tidur yang lebih baik."
Ia mengatakan, ketersediaan makanan dan minuman selama 24 jam juga dapat berdampak buruk pada kesehatan mulut. "Kemudahan akses terhadap makanan ringan dan minuman manis yang diantarkan kapan saja menimbulkan ancaman berkelanjutan terhadap enamel gigi yang sangat meningkatkan risiko gigi berlubang dan infeksi," ujar dia.
Mohideen menyambung, konsumsi makanan olahan dan makanan cepat saji yang biasa ditemukan di restoran 24 jam pun dapat menyebabkan ketidakseimbangan nutrisi. Itu akhirnya berkontribusi terhadap berbagai masalah kesehatan.
Disoroti Menteri Kesehatan Malaysia
Menteri Kesehatan Malaysia Datuk Seri Dr Dzulkefly Ahmad telah menyoroti seruan membatasi makan larut malam. Ia mengatakan, saran tersebut perlu disempurnakan untuk memenuhi kebutuhan semua pemangku kepentingan.
Dalam pernyataannya pada FMT, Dr Dzulkefly mengatakan, setiap perubahan jam operasional restoran harus mempertimbangkan kebutuhan mereka yang bergantung pada jam operasional tersebut, seperti pekerja shift. Ia mengatakan, satu dari tiga warga Malaysia memiliki tingkat literasi kesehatan yang rendah.
Karena itu, Menkes Malaysia menambahkan, menutup restoran 24 jam tidak serta merta membuat orang memilih alternatif yang lebih sehat. Dr Dzulkefly mengatakan, proposal akan disiapkan untuk ditinjau Kementerian Kesehatan dan pemerintah untuk menentukan langkah selanjutnya.
Di sisi lain, melarang operasional restoran 24 jam hanya akan merugikan perekonomian dan pariwisata Malaysia, alih-alih mengatasi masalah obesitas, kata Asosiasi Pemilik Restoran India Malaysia (Primas). Presidennya, Govindasamy Jayabalan, mengatakan bahwa seruan ini terutama akan merugikan wisatawan dan pekerja shift malam dalam mendapatkan makanan.
Advertisement
Komentar Kontra
Govindasamy berkata, "Mereka gagal memahami bahwa makanan multikultural adalah salah satu daya tarik wisatawan untuk datang ke Malaysia dan kedatangan mereka membantu meningkatkan perekonomian negara. Banyak pabrik yang beroperasi 24 jam dan orang-orang ini harus pergi ke gerai makanan 24 jam untuk makan."
Ia juga menekankan bahwa industri restoran bukanlah sektor yang "berdiri sendiri," dan banyak industri lain yang bergantung pada restoran untuk bertahan hidup, seperti pemasok daging dan makanan laut. "Setiap gangguan terhadap operasional restoran juga akan berdampak pada industri mikro, kecil, dan menengah ini," tambahnya.
Ia mendesak kelompok konsumen bekerja sama dengan pemerintah untuk mengatasi akar penyebab obesitas di negara tersebut daripada menjadikan restoran 24 jam sebagai kambing hitam. "Asupan makanan merupakan pilihan independen warga Malaysia dan wisatawan pada umumnya," sebut dia.
"(Kelompok konsumen) harus memainkan peran lebih proaktif dalam bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Malaysia) dalam mendidik masyarakat tentang penurunan berat badan dan menerapkan gaya hidup sehat," ia menambahkan.
Tingkat Obesitas di Asia Tenggara
Govindasamy juga menyebut, "Mereka tidak boleh berpikir, demi mendapat publisitas murahan, (mereka bisa) menggunakan gerai makanan 24 jam sebagai target untuk mempertahankan pendirian mereka. Warga Malaysia harus bisa membuat pilihan cerdasnya sendiri."
Ia menambahkan, Primas bersedia bekerja sama dengan kelompok konsumen dalam mencari cara menyediakan pangan sehat dan bergizi. Anggotanya pun akan "dengan senang hati" berpartisipasi dalam setiap kampanye pangan untuk menyediakan menu sehat bagi warga Malaysia, bahkan wisatawan.
Terkait obesitas, Brunei Darussalam memuncaki daftar negara dengan tingkat kelebihan berat badan tertinggi di Asia Tenggara. Ini merujuk pada data terbaru The World Factbook Central Intellange Agcie pada 2016 hingga 2024.
Brunei mencatat bahwa 28,2 persen warganya mengalami masalah kelebihan berat badan. Angka itu hampir lima kali lipat dari data Indonesia yang berada di peringkat ke-6 dengan 6,9 persen warganya mengalami masalah berat badan, dilansir dari Says, 23 Februari 2024.
Posisi ke-2 ditempati Malaysia dengan 19,7 persen. Disusul Singapura dan Thailand dengan 11,6 persen di posisi ke-3 dan ke-4. Menggenapi lima besar, ada Filipina dengan 9,3 persen. Kemudian, Myanmar, Laos, dan Kamboja dengan presentase 5,8 persen, 5,6 persen, dan 3,8 persen.
Vietnam mencatatkan persentase terendah di antara negara-negara ASEAN dengan angka 1,7 persen. Terakhir adalah Timor Leste yang berada di posisi terbawah dengan 1,1 persen.
Advertisement