Liputan6.com, Jakarta - DPR Jumat dini hari tadi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) menjadi Undang-Undang (UU) Pilkada. Dalam UU itu, tercantum mekanisme‎ pemilihan gubernur, bupati, dan walikota oleh DPRD, tidak lagi oleh rakyat secara langsung.
Terbitnya UU ini langsung menuai kontroversi. Banyak yang menolak, ada juga yang mendukung. Mereka yang menolak mengatakan akan melawan dengan mengajukan permohonan uji materi (judicial review) UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Juga
Dijaga Ketat, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Gelar Persidangan Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol
Infografis Paslon RK-Suswono dan Dharma-Kun Tak Ajukan Gugatan Hasil Pilkada Jakarta 2024 ke MK dan Hasil Rekapitulasi Suara
Ridwan Kamil Batal Gugat Pilkada Jakarta ke MK, Golkar: Kita Kedepankan Budaya Jawa
Beberapa pihak yang menyatakan akan mengajukan judicial review adalah para buruh harian,‎ lembaga swadaya masyarakat (LSM), bupati, lembaga survei, dan anggota DPRD.
"‎Saya akan mengajukan uji meteri UU Pilkada via DPRD mewakili 17 buruh harian, lembaga survei, dan bupati serta DPRD," ujar ‎kuasa hukum pemohon, Andi Muhammad Asrun, Jumat (26/9/2014).
Meski begitu, Andi belum mau menjelaskan detail identitas pemohon uji materi yang dikuasakannya itu. Uji materi itu akan didaftarkan ke MK pada Senin 29 September 2014.‎ ‎ "Daftar ke MK hari Senin," kata dia.
Menurut Andi, UU Pilkada yang mencatumkan mekanisme pilkada melalui DPRD mengkhianati rakyat. Sebab, rakyat punya hak pi‎lih dalam memilih kepala daerah pada sebuah pesta demokrasi.
Andi menilai, pilkada‎ melalui DPRD memiliki efek sangat buruk. Yakni menyuburkan transaksi para politikus dengan calon kepala daerah yang 'ujung-ujungnya duit'.
"‎Efek paling buruk adalah menyuburkan praktik politik uang yang terukur di DPRD. Ternyata legislatif masih tetap ingin desentralisasi kekuasaan‎," kata Andi.
Advertisement
Pengesahan UU Pilkada berlangsung melalui voting dalam sidang Paripurna RUU Pilkada. Voting menghasilkan jarak suara sangat jauh antara pendukung pilkada langsung yaitu 135 suara dan 226 suara memilih pilkada melalui DPRD, dari 361 anggota DPR yang bertahan hingga dini hari mengikuti rapat paripurna.
Suara menginginkan pemilihan kepala daerah langsung datang dari Partai Golkar dengan 11 suara, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 88 suara, Partai Kebangkitan Bangsa 20 suara, Partai Hanura 10, dan Partai Demokrat 6 suara.
Sedangkan suara yang menginginkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD disumbangkan oleh Partai Golkar 73 suara, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 55 suara, Partai Amanat Nasional (PAN) 44 suara, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 32 suara, dan Partai Gerindra 22 suara.‎ Sementara Partai Demokrat, yang menyatakan mendukung pilkada langsung memilih bersikap netral dan melakukan walk out.
Padahal, dengan jumlah anggota 148 di DPR, Partai Demokrat dianggap menjadi kunci bagi kemenangan pilkada langsung. Namun, hanya 6 orang saja yang bertahan di paripurna dan memberikan suaranya. (Sun)