Kontroversi Fahri Hamzah, "Santri Sinting" Hingga "Petisi Buruh"

Pernyataan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah kerap menuai kontroversi. Sebut saja kata-kata 'sinting' saat mengkritisi Jokowi saat Pilpres.

oleh Rochmanuddin diperbarui 06 Jul 2015, 21:10 WIB
Diterbitkan 06 Jul 2015, 21:10 WIB
Fahri Hamzah
Fahri Hamzah (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan politisi Fahri Hamzah kerap menuai kontroversi. Pernyataan kontroversi teranyar terkait pernyataan Fahri soal ketidakhadiran anggota DPR dalam paripurna terkait calon Panglima TNI dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Dalam pernyataan tersebut, Wakil Ketua DPR  itu menyebutkan absensi anggota DPR berbeda dengan buruh. Di media sosial pun muncul kecaman dari netizen dan kaum buruh kepada Fahri.

Bahkan, laman www.change.org, seorang netizen bernama Nurhayati membuat petisi dukungan agar Fahri menarik pernyataan dan meminta maaf kepada publik, khususnya kaum buruh.

Sebelum itu, Fahri juga memantik heboh. Saat kampanye Pilpras 2014 lalu, politisi PKS ini mengomentari usulan Hari Santri Nasional yang dicetuskan dari lawan politiknya, Jokowi.

Fahri mengatakan, hal yang direncanakan Jokowi sekadar janji manis di mulut. Bahkan, dia menyebutkan kata-kata 'sinting' dalam kritiknya terhadap usulan Jokowi.

Berikut sejumlah pernyataan kontroversi Fahri.

Sebut Jokowi "Sinting"


1. Sebut Jokowi 'Sinting' dan 'Bodoh'

Lewat akun twitter pribadinya, @fahrihamzah, Kamis 27 Juni 2014, Fahri mengatakan, janji Jokowi bahwa 1 Muharam akan dijadikan sebagai Hari Santri Nasional jika terpilih menjadi presiden, tidak masuk akal. Hanya janji-janji kampanye.

"Jokowi janji 1 Muharam hari Santri. Demi dia terpilih, 360 hari akan dijanjikan ke semua orang. Sinting!" kicau Fahri.

Akibatnya, Fahri dilaporkan oleh tim kampanye Jokowi-JK ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). "Kami mendesak Fahri agar meminta maaf secara terbuka," kata ketua tim advokasi, Mixil Munir, di kantor Bawaslu, Senin, 30 Juni 2014.

Mixil juga berharap agar Bawaslu segera memanggil Fahri untuk mengklarifikasi pernyataannya tersebut.

Namun, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PKS ini akhirnya buka mulut terkait alasan berkicau 'sinting' terhadap janji Jokowi itu. Menurut dia, ucapan tersebut ia lontarkan karena seringnya Jokowi mengumbar janji.

"Saat jadi Gubernur DKI selama kampanye ada hampir 100 janji. Selama kampanye Pilpres juga hampir 100," kata Fahri dalam pesan tertulisnya di Jakarta, Selasa 1 Juli 2014.

Anggota tim sukses pemenangan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada Pilpres 2015 itu mengatakan, apa yang dia tulis dalam Twitter 27 Juni lalu, hanya sebagai pengingat untuk calon Presiden Jokowi.

"Iyalah. (Umbar janji) ini kan sudah sering diulang," tegas mantan anggota Komisi III DPR ini.

Pada Senin 1 September 2014 lalu, Fahri juga menyebut kata-kata 'bodoh' saat mengritisi kebijakan Presiden Jokowi terkait pengurangan subsidi BBM. "Katanya ada revolusi mental. Coba bikin sesuatu hebat dong. Kalau cuma cabut subsidi itu mah bukan revolusi mental," ucap Fahri di Gedung DPR, Jakarta.

"Langkah bodoh itu cabut subsidi untuk rakyat. Dikira ada ilmu, ternyata nggak ada ilmu," imbuh Fahri yang menjelang Pilpres 9 Juli 2014 pernah men-tweet ucapan 'sinting' terhadap rencana Jokowi menetapkan hari santri nasional.

Fahri pun juga 'menyerang' Jusuf Kalla atau JK. Ia melihat bila terjadi kenaikan harga BBM, JK sulit membendung emosi masyarakat seperti yang pernah dilakukannya dulu, ketika masih jadi wapres di era pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

"Yang dilupakan JK, dia tidak mendesain kenaikan BBM ini. Waktu dia naikkan BBM, posisi dia itu sebagai wapres. Dia bisa memberikan kompensasi memadai, sehingga beban masyarakat tertanggulangi. Nggak ada yang protes. Sekarang dia nggak ikut desain, yang desain Pak SBY," jelas Fahri.

Membubarkan KPK


2. Membubarkan KPK

Fahri pernah mengusung wacana pembubaran lembaga KPK. Menurut dia, dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi tidak boleh ada lembaga yang sangat kuat atau superbody. Karena, lembaga itu berpotensi tak bisa diawasi.

Usulan itu disampaikan Fahri dalam rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan fraksi dengan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan KPK di gedung Nusantara III, Jakarta, Senin 3 Oktober 2011.

Dalam kesempatan itu, Fahri juga meminta penjelasan kepada KPK terkait pemanggilan 4 pimpinan Badan Anggaran sekitar dua pekan sebelum rapat konsultasi oleh KPK.

"Saya cuma ingin menggarisbawahi, pemanggilan pimpinan Banggar itu sebagai pimpinan atau apa? Artinya KPK harus menjelaskan tujuan dan maksud pemanggilan itu," kata dia lagi.

Fahri menanyakan hal tersebut antara lain, karena KPK memanggil keempat pimpinan itu secara kolektif ke KPK. Selain itu, mengapa pula KPK tidak mengizinkan pimpinan Banggar hadir dalam pertemuan tersebut.

"Ini berarti mereka merupakan tersangka. KPK kadang suka membuat aturan sendiri, entah itu berdasar KUHAP atau apalah," kata dia.

Wacana Fahri pun menuai protes dari masyarakat luas. Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Ma'arif juga mengecam niat Fahri. Syafii mengatakan orang yang hendak membubarkan KPK adalah orang yang sedang oleng dan labil jiwanya.

Namun Fahri tak ingin berkomentar terlalu banyak terkait kecaman Buya tersebut. "Saya menghormati Pak Syafii. Tapi menurut saya, ya saya enggak enak menanggapinya," kata Fahri di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis 6 Oktober 2011.

Anggota Dewan Berbeda dengan Buruh


3. Anggota Dewan Berbeda dengan Buruh

Pernyataan kontroversi terbaru Fahri adalah terkait pernyataannya yang dinilai merendahkan kaum buruh, terkait komentar dirinya terhadap absensi anggota DPR pada 3 Juli 2015 lalu.

Dalam wawancara melalui salah satu media televisi nasional itu, Fahri mengomentari terkait banyaknya anggota Dewan yang tidak hadir dalam paripurna tersebut. Dalam komentarnya, dia mencontohkan absensi anggota Dewan dengan buruh.

"Teori kehadiran di parlemen berbeda dengan di pabrik, Kehadiran di parlemen adalah voting right, hadir untuk mengambil keputusan, bukan seperti buruh pabrik yang hadir untuk menerima gaji," ujar Fahri dalam komentarnya yang diunggah baru-baru ini.

Seorang netizen bernama Nurhayati asal Tangerang, Banten menulis pernyataan berisi protes dan membuat petisi untuk menggalang tandatangan para netizen atau kaum buruh hingga 5.000 tanda tangan.

Petisi tersebut mendesak Fahri meminta maaf dan mencabut pernyataan yang dianggap merendahkan kaum buruh itu. Petisi yang dibuat secara online sejak 3 hari lalu itu, hampir mencapai target. Hingga Senin malam jumlah tanda tangan mencapai 4.949.

Saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu malam 4 Juli 2015, Fahri menyebut pernyataan dirinya terkait absensi anggota DPR berlaku umum. Tidak bermaksud mendiskreditkan salah satu pihak, apalagi buruh.

"Saya bicara teori absensi yang berlaku universal di seluruh dunia. Bahwa perhitungan absensi bagi politisi di parlemen, murid sekolah, pegawai negeri, buruh, dan pekerja itu beda dasarnya," ujar Fahri kepada Liputan6.com, Sabtu 4 Juli 2015 malam.

Menurut Fahri, absensi untuk anggota Dewan berbeda dengan absensi di lembaga lain yang dijadikan sebagai dasar penilaian suatu hal. "Saya jelaskan bahwa absensi untuk anggota kongres atau senator atau DPR adalah dikaitkan dengan voting right (hak dalam pemungutan suara dan pengambilan keputusan)."

"Bukan dasar pengkajian seperti yang terjadi pada kelompok buruh dan pekerja. Atau sebagai dasar kelulusan naik kelas seperti di sekolah. Itu poinnya," pungkas Fahri.

Namun, Fahri Hamzah enggan menanggapi terkait desakan agar mencabut pernyataan atau meminta maaf kepada buruh. (Rmn/Yus)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya