Liputan6.com, Jakarta - Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Victor Simanjuntak mengakui, aturan tentang penggunaan cyber masih lemah di Indonesia. Sehingga banyak warga negara asing (WNA) memanfaatkan kondisi ini untuk aksi penipuan.
Contohnya kasus yang baru saja diungkap Bareskrim Polri pada Rabu 26 Agustus 2015. Sebuah rumah mewah di Komplek Sentra Duta Raya Blok E3 No 8 RT 01/03, Desa Ciwaruga, Kecamatan Parompong, Bandung Barat, Jawa Barat dijadikan tempat menjalankan kejahatan cyber oleh puluhan WNA.
"Iya kelemahan. Begitu gampangnya mereka masuk ke Indonesia. Mereka bisa melakukan di Indonesia karena kalau dia melakukan di sana (negara asalnya) sudah bisa langsung termonitor. Kalau di sini kan nggak, makanya kita membutuhkan cyber security," kata Victor di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (27/8/2015).
Berbeda dengan negara lain, sambung Victor, di Indonesia belum ada aturan yang mengatur tentang penggunaan telekomunikasi khususnya jaringan internet dalam jumlah besar.
"Artinya, jika ada orang yang menggunakan dunia maya dalam kegiatan-kegiatan tertentu, itu bisa kita monitor. Makanya kan penggunaan telekomunikasi dalam jumlah besar itu harus melaporkan diri. Sayangnya, di sini kan belum ada. Tapi kalau di Tiongkok, Taiwan, dan Hongkong itu ada," tutur Victor.
Menurut dia, masalah semacam ini tidak hanya ditangani oleh Polri. Melainkan sejumlah pihak yang berkaitan dengan telekomunikasi dan informasi.
"Jadi sebenarnya ini tidak bisa ditangani polisi saja. Ini harus komprehensif, harus ditangani Dirjen Imigrasi, telekomunikasi, kemudian Kemenlu, dan Polri," punkas Victor. (Ron/Sun)