Pansus Ungkap Modus HPH Akali Pelindo II

Mereka menggunakan financial engineering untuk membuat saham JICT menjadi rendah.

oleh Gerardus Septian Kalis diperbarui 24 Nov 2015, 09:17 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2015, 09:17 WIB
20151022-Bongkar Muat Peti Kemas-Jakarta
Suasana bongkar muat peti kemas di JICT, Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (22/10/2015). Mendag Thomas T. Lembong memproyeksikan, kinerja ekspor hingga akhir tahun akan turun 14% dan impor turun 17% secara year on year. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pansus Pelindo II semakin mendapatkan gambaran jelas, ada pihak asing yang telah mengambil banyak keuntungan di Indonesia melalui operasional Terminal Peti Kemas Jakarta (JICT).

Tabir soal kerugian negara mulai terbuka ketika Pansus Pelindo memanggil konsultan keuangan yang dipakai Pelindo II untuk membuat valuasi dan penawaran JICT ke Hutchinson Port Holding (HPH), perusahaan asal Hong Kong. Pertama adalah Deutsche Bank (DB), yang belakangan mengaku kepada Pansus HPH adalah klien lama mereka.

Data-data yang masuk ke pansus menunjukkan adanya komponen biaya operasional. Asumsi biaya operasional, artinya harus ada sejarah operasional JICT selama 10 tahun. Dari dokumen itu pula, diketahui komponen biaya operasional JICT berkisar 55-63 persen.

"Namun di dalam valuasi oleh DB, komponen itu naik jadi 78 persen. Kenapa dinaikkan? Agar untung perusahaan menjadi rendah. Tujuan akhirnya agar nilai saham rendah, sehingga HPH membeli JICT dengan harga murah. Itu financial engineering," kata Anggota Pansus Pelindo II DPR Sukur Nababan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 23 November 2015.

Metode kedua yang digunakan DB untuk semakin merendahkan nilai JICT adalah dengan membuat debt performa, yakni seakan-akan JICT akan memiliki utang masa depan.

"Tujuannya itu agar nilai saham makin jatuh lagi. Jadi sudah dirampok di asumsi biaya operasional, dirampok lagi di debt performa. Mereka buat seolah-olah utang JICT diprediksi 30 persen di masa depan. Padahal JICT itu kalau dilihat history-nya sejak 1999 sampai 2014, dia tak punya utang. Capital Expenditure saja selalu dari uang sendiri, tak pernah ngutang" jelas Sukur.


Akibat permainan itu pula, maka HPH hanya menyetor US$ 215 juta untuk nilai saham Pemerintah di JICT sebesar 49 persen.

Belakangan, kata dia, ketika pansus memanggil pihak DB, Pelindo II baru menjadi klien mereka sejak Juli 2013. Tugas DB adalah membuat valuasi dan penawaran JICT.

"Sementara, dia (DB) mengaku HPH itu klien lama. Kenal pelindo sejak Juli 2013. Dia ditugaskan Pelindo II untuk bikin valuasi JICT untuk ditawarkan ke HPH. Berarti dia (DB) kerja buat siapa? HPH klien lama dia. Coba saja anda analisa sendiri," kata Sukur.

Salah satu komisaris Pelindo II saat valuasi DB dikeluarkan, mencium aroma tidak sedap. Lalu memanggil Financial Research Institute (FRI) untuk melakukan penghitungan ulang.

"Keluarlah hasilnya, harga US$ 215 juta itu hanya setara 25 persen nilai saham JICT, bukan 49 persen. Ngamuk lah direksi Pelindo dan FRI dipecat," ungkap Sukur.

Dia sudah membuat versi hitungan sendiri soal potensi kerugian negara bila kontrak sepihak Lino dengan HPH dilanjutkan sampai 2038.

"Potensi kerugiaan negara kalau dipakai kontrak versi DB itu lebih dari Rp 20 triliun. Kalau pakai versi data history pendapatan asli JICT sesuai audit keuangan, kerugian kita bisa Rp 30 triliun," kata Sukur. (Nil/Bob)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya