Penelusuran Pansus, Pelindo II Diduga Untungkan Pihak Asing

FRI secara tegas mengungkapkan, Indonesia akan lebih untung bila menjalankan sendiri JICT daripada dipegang oleh HPH.

oleh Gerardus Septian Kalis diperbarui 19 Nov 2015, 22:07 WIB
Diterbitkan 19 Nov 2015, 22:07 WIB
 3000 Tiang Pancang New Tanjung Priok Telah Terpasang
Pemandangan tiang pancang yang telah terpasang untuk pembangunan Terminal Peti Kemas Kalibaru, di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Minggu (7/9/2014)(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pansus Pelindo II semakin mendapatkan gambaran jelas bahwa ada pihak asing telah mengambil banyak keuntungan di Indonesia melalui operasional Terminal Peti Kemas Jakarta (JICT). Anehnya aktivitas itu semuanya dibiarkan oleh direksi PT Pelindo II di bawah komando Richard Joost Lino Lino.

Kejelasan itu didapatkan setelah Pansus Pelindo memanggil sejumlah pihak pada hari ini untuk meminta keterangan. Yakni dari pihak Financial Research Institute (FRI) dan Deutsche Bank yang pernah ditugaskan membuat evaluasi JICT dan Pelindo II.

Keterangan kedua pihak itu dikaitkan oleh Pansus Pelindo II untuk menilai klaim RJ Lino bahwa JICT akan lebih menguntungkan bila dikelola asing, dalam hal ini Hutchinson Port Holding (HPH), perusahaan asal Hong Kong.

Anggota Pansus Pelindo II Daniel Johan mengatakan, pihak FRI secara tegas mengungkapkan, Indonesia akan lebih untung bila menjalankan sendiri JICT daripada dipegang oleh HPH.

Sebaliknya, Deutsche Bank yang berbasis di Belanda, menyatakan bahwa Indonesia lebih untung bila JICT tetap diberikan penguasaannya kepada HPH.

Seperti disampaikan pihak Deutsche Bank kepada Pansus, bahwa bila kontrak pengelolaan JICT dengan HPH habis pada 2019 dan lalu diperpanjang, Indonesia hanya mendapat US$ 200 juta melalui PT Pelindo II.

Tapi kalau tidak diperpanjang, Deutsche Bank menilai Indonesia harus mengembalikan ke HPH sebesar US$ 400 juta. Asumsi itu muncul karena dihitung bahwa nilai aset JICT pada 2019 adalah US$ 800 juta. 51 Persen saham JICT adalah milik HPH dan itu senilai US$ 400 juta.

"Padahal, sebenarnya, di kontrak yang diteken tahun 1999, jelas tertulis, bahwa saat putus kontrak, maka Indonesia hanya wajib mengembalikan US$ 50-60 juta. Jadi bukan US$ 400 juta dolar," kata Daniel di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (19/11/2015)

Daniel menambahkan, kalaupun logika DB diikuti, tetap saja Indonesia merugi. Praktiknya, Pelindo II hanya mendapat fee di muka US$ 200 juta. Artinya, aset hanya dinilai US$ 400 juta dan 49 persen saham Indonesia hanya dinilai US$ 200 juta.

"Kalau dianggap aset 400 juta dolar, kita kasih 49 persen, kita dapat 200 juta dolar, dari aset itu saja kita rugi. Dan bonusnya mereka mendapat hak pengelolaan yang lebih menguntungkan. Kan uang hasil pengelolaan ke dia (HPH). Kita dobel ruginya," jelas dia.

Daniel juga menegaskan, sebenarnya Direksi Pelindo II bisa menghentikan kerugian negara itu jika dia berpegang pada kontrak yang diteken dengan HPH di 1999. Dengan itu, Indonesia cuma membayar US$ 50-60 juta.

Tapi ternyata, lanjut Daniel, di kontrak itu Deutsche Bank mengklaim tidak tahu karena datanya tak diberikan oleh pihak manajemen Pelindo II.

"Bayangkan, dengan aset 800 juta dolar, kita kasih asing 50 persen saham dan kita hanya dikasih 200 juta dolar. Plus kita rugi karena uang hasil pengelolaan ke dia (asing)," pungkas Daniel. (Dms/Ans)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya