Liputan6.com, Tangerang - Sebuah pabrik kosmetik ilegal yang diduga mengandung bahan berbahaya digerebek jajaran Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri.
Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Anjan Pramuka Putra mengatakan selama satu bulan lebih pihaknya memantau operasional pabrik kosmetik milik Indra Wijaya (31), di sebuah Kompleks Pergudangan Balaraja, Tangerang, Banten.
"Satu bulan lebih kami lakukan penyelidikan terkait laporan itu, pada 19 November lalu kami lakukan penggeledahan," kata Anjan di lokasi, Banten, Kamis (26/11/2015).
Advertisement
Dijelaskan Anjan, ratusan kardus kosmetik berbahaya disita dalam penggerebekan. Diantaranya kosmetik jenis Moov, Omega, Dermovate dan Betacet-N. Semua barang bukti sudah terbungkus rapi dan siap edar.
Selain itu, sejumlah bahan baku kimia berupa borax yang dikemas di dalam sebuah plastik dengan berat perkiraan puluhan kilogram juga disita aparat.
Anjan menerangkan, ratusan kosmetik itu semuanya tidak mengantongi izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Pelaku, sambung Anjan, telah satu tahun lebih menjalankan bisnis haramnya ini. 13 karyawan dipekerjakan agar pabrik kosmetik ilegal tetap beroperasi.
"Pabrik ini sudah satu tahun berjalan, pemodalnya adalah dua warga dari Pakistan dan India yang sekarang masih kami buru," sambung jenderal bintang satu ini.
'Ekspor' ke Timur Tengah
Untuk bahan baku pembuat kosmetik, terang Anjan, pelaku menggunakan borax yang dibeli dari toko-toko kimia yang ada di Kota Tangerang. Lanjut Anjan, setelah diuji kosmetik yang diedarkan pelaku ke Negara Timur Tengah itu mengandung borax yang membahayakan kesehatan.
"Kosmetik ini dijual ke Dubai, Arab Saudi dan Afrika Selatan. Sementara bahan kimia yang digunakan ini sangat berbahaya, karena bisa menyebabkan kematian," sambung dia.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, pelaku kini harus mendekam di balik jeruji besi dan dibidik dengan Pasal 196 sub Pasal 197 Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dengan ancaman pidana selama 15 tahun dan denda Rp 1,5 miliar. (Dry/Ans)