Liputan6.com, Jakarta - Dua kubu Partai Golkar sepakat menggelar musyawarah nasional luar biasa (munaslub) untuk memilih ketua umum yang baru. Namun, belakangan beredar kabar adanya politik uang dalam bursa calon ketua umum (caketum) itu.
Ketua DPP Golkar hasil munas Riau, Nurdin Halid mengaku mendapatkan laporan dari seorang pengurus DPD II mengenai politik uang jelang pemilihan ketua umum dalam munaslub Partai Golkar.
Baca Juga
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Partai Golkar hasil munas Ancol Agung Laksono mengatakan meski dirinya sudah mendengar kabar tersebut, ia enggan bicara sekarang dan bahkan menyesalkan terjadinya hal itu.
Advertisement
"Saya sesalkan kalau itu (politik uang) terjadi. Harusnya jangan bagi-bagi. Makanya saya dari awal minta KPK kawal. Kami (Agung Laksono dan Aburizal Bakrie) sudah rela tak maju lagi, tapi kok begini," ungkap Agung saat dihubungi di Jakarta, Jumat (19/2/2016).
Baca Juga
Mengenai surat dukungan, Agung menjelaskan jika seharusnya itu dihilangkan karena syarat maju caketum memperoleh 30 persen di kotak suara baik ketika penjaringan maupun pemilihan.
Sedangkan Ketua DPP Partai Golkar versi Munas Bali Ahmad Doli Kurnia mengatakan jika memang ternyata berat sekali ingin menyatukan dan mengadakan munaslub.
"Politik transaksional yang kita hapuskan sudah bergulir, perlu kerja keras lagi. Bagi kami yang memutuskan KPK dan PPATK itu akan lebih kencang. Langkah yang konkret," ujar Doli.
Tak hanya persoalan politik uang, pengadaan munaslub ini, kata Doli, adalah tantangan dari panitia penyelenggara sehingga harus ada mekanisme sedemikian rupa agar meminimalisir politik uang.
"Kalau selama ini 30 persen, harus sudah mulai berubah, masuk bilik suara. Lalu tentu kita nanti pikir juga calon enggak bisa hanya beberapa orang saja. Mungkin nanti pemegang hak suara bisa mencalonkan dua atau tiga orang," papar dia.
Doli berharap panitia Munaslub nanti membuat mekanisme yang disepakati bersama dan jika ada yang melanggar didiskualifikasi dari bursa caketum Partai Golkar.
Salah satu caketum Partai Golkar Mahyudin mengaku tidak tahu soal kabar tersebut. Namun, dia meminta agar masalah ini tak dibawa ke ruang publik.
"Harusnya jadi catatan dan diselidiki. Perlu selidiki secara hukum. Kalau di Golkar kan banyak pejabat, kalau dia dikasih US$ 10.000 itu apakah masuk gratifikasi atau tidak," ucap Wakil Ketua MPR itu.